Chapter 3 : Klan Taira

1002 Words
Tarikan napas Vilas sudah tak karuan lagi, tetapi karena saking kencangnya dia berlari, Harimau Api sepertinya sudah kehilangan jejak mereka berdua. Karel menghadap ke belakang, merasa aneh kalau hewan sebesar itu seketika akan menghilang begitu saja tanpa sebab. Namun, mengabaikan hal tidak penting itu, ia diturunkan oleh Vilas di atas tanah lapang yang sepertinya merupakan padang rumput berbatu. Begitu banyak batu berjejer, mulai dari kecil hingga besar tampak jelas di penglihatan. Karel masih memasang wajah datar, tak tertarik sekalipun disuguhkan pemandangan indah ini. Pikirannya masih membandingkan padang rumput ini dengan halaman mansionnya yang jelas indah dengan berbagai bunga. Wajar saja, karena halaman mansionnya adalah sebuah taman dengan perawatan teratur.  Perlahan Vilas berjalan menuju antara dua buah batu, Karel masih penasaran di mana sebenarnya letak Klan Taira yang dimaksud oleh Vilas. Tampaknya ia sudah tidak tahan dengan rasa penasaran itu, lalu bertanya, “Sebenarnya di mana Klan Taira itu berada?” “Ssstt!” Vilas mengisyaratkan Karel untuk tutup mulut dengan cara meletakkan jari telunjuk di bibir. “Untuk bertahan di antah-berantah ini, Klan kecil seperti kami memiliki cara khusus. Kau mungkin tidak akan membayangkan hal ini.” Mengikuti isyarat lambaian tangan dari Vilas, Karel lantas berjalan mengekor di belakang pria itu. Langkah kaki Karel yang kecil membuat Vilas berhenti sesaat kemudian meraih tangan anak ini. Ingin dia mengeluh, tetapi tetap sadar kalau Karel masihlah seorang anak kecil. Mulut Vilas mengucapkan sesuatu yang tidak bisa didengar oleh telinga Karel. Dengan cermat Karel mencoba memahami perkataan Vilas, tetapi tak bisa melakukannya. Vilas segera menggambar sesuatu di udara, lalu mereka segera berjalan kembali. Dalam sekejap mata pemandangan berubah, kini mereka berada tepat di depan sebuah gerbang besar. Vilas pun langsung membawa Karel untuk memasuki gerbang. Akan tetapi, beberapa prajurit lantas menghalangi jalan mereka karena harus melakukan pemeriksaan. Cara seperti ini mereka lakukan agar lebih mudah mengetahui apakah ada seorang penyusup atau tidak, karena akan berbahaya jikalau memang ada penyusup. Walaupun, kawasan perumahan ini sebenarnya kecil dan hanya dikelilingi oleh pagar kayu. Karel masih mengamati sekitar, sementara Vilas tengah mengobrol dengan salah satu penjaga berseragam biru. Arah pembicaraan mereka seketika berubah kepada Karel. Meskipun pada dasarnya Karel tak mau tahu dengan alur pembicaraan mereka.  “Vilas, dari mana kau memunggut anak ini? Jangan-jangan kau menjalin hubungan terlarang di luar sana.” Penjaga bertubuh kekar dengan rambut pirang tadi mundur beberapa langkah. “Mana mungkin!” Segera Vilas membantah sebelum rumor menyebar. “Haha, aku hanya bercanda.” Penjaga tadi lalu mengalihkan pandangan ke arah penjaga lainnya. “Biar aku tangani mereka. Kalian kembalilah ke pos.” “Baik, Ketua!” Serentak para penjaga tadi kembali ke pos mereka. Sebelum membiarkan Vilas pergi, penjaga itu memulai obrolan kecil lagi sembari mengarahkan pandangan pada Karel yang sejak tadi memerhatikan. “Siapa anak ini?” “Dia Karel. Aku menemukannya di dalam gua dalam keadaan tidak berdaya. Karena merasa kasihan, aku membawanya ke sini untuk menjadi muridku.” Lirikan mata penjaga itu kian tajam menatap Karel, tetapi Karel hanya memasang wajah datar. “Kau yakin kalau dia tidak sedang memata-matai?” “Kalau memang terjadi sesuatu, aku akan bertanggung jawab secara penuh. Percayalah kata-kataku ini, Lorenz ....” Penjaga bernama Lorenz lantas menghela napas. “Baiklah, kau akan mengawasinya sepanjang waktu. Jangan sampai dia menjadi pembawa petaka, atau kami akan bertindak serius.” “Jadi selama ini kalian tidak serius?” Vilas mencoba meledek, tetapi ini bukan waktu yang tepat. “Kami akan menangani masalah dengan serius.” Lorenz pun pergi meninggalkan Karel bersama Vilas. “Ayo!” ajak Vilas sembari menarik tangan kanan Karel dengan lembut. *** Mereka akhirnya tiba di depan sebuah rumah sederhana, Karel berhenti sejenak sembari mengamati, sementara Vilas masuk terlebih dahulu ke dalam. Vilas menoleh sesaat, kemudian Karel mendekati pria itu tanpa berbicara apa-apa. “Aku akan memperkenalkanmu pada seseorang,” kata Vilas sambil terus berjalan menuju pintu belakang rumah. “Siapa?” Karel hendak bertanya, tetapi Vilas tidak merespon. Ketika pintu terbuka, tampak sebuah halaman rumah di depan sana. Namun, bukan itu yang menjadi perhatian pertama sekarang. Tepat di halaman itu, seorang anak perempuan berambut hitam tengah berlatih mengayunkan pedang. Anak perempuan itu terus saja berlatih sebelum akhirnya menyadari kehadiran Vilas di sini. “Oh, Guru! Sejak kapan Guru di sana?” Vilas tersenyum dengan lembut pada anak perempuan yang tingginya sama dengan Karel itu. “Selly, aku membawakan seorang teman untukmu.” “Siapa dia?” Kali ini anak perempuan yang disebut Selly itu mendekati Karel sambil membawa pedang kayu di tangan. “Ha ... halo ....” Karel berusaha tersenyum pada gadis itu. “Namaku Karel.” “Salam kenal, Karel. Aku selly.” Dengan lembut Selly menjabat tangan kanan Karel. “Berteman baiklah dengannya, Selly. Aku akan pergi melapor.” Segera setelah berkata demikian, Vilas pergi meninggalkan Karel dan Selly. Karel menjadi sedikit bingung, apa yang sebaiknya ia lakukan sekarang? Sementara itu, Selly melepaskan jabat tangan lalu kembali ke halaman untuk berlatih. Sekarang Karel hanya sendirian memerhatikan Selly di depan sana. Ini membuat Karel merasa bosan, hanya diam berdiri melihat seorang gadis berlatih tanpa mengacuhkan sekitar. Karel seolah-oleh diabaikan olehnya setelah Vilas pergi keluar. “He ... hei!” Karel melambaikan tangan kepada gadis itu. Selly memalingkan pandangannya sesaat. “Ada apa? Kalau kau butuh sesuatu, cari saja sendiri.” Sifat Selly langsung berubah drastis dari lembut menjadi dingin. Saat itu, Karel lantas mengurungkan niat untuk memanggil Selly lalu bergegas masuk ke dalam. Di ruang tengah, terdapat kursi panjang dan meja, di situlah Karel duduk menunggu kedatangan Vilas. Sendirian di tengah kesunyian ini lagi-lagi membuatnya mengingat tentang insiden kebakaran kala itu. Ia sungguh tak mau mengingatnya, tetapi situasi selalu memojokkannya. Sudah berapa lama kiranya Karel duduk sendirian, tiba-tiba saja seseorang menyodorkan segelas air padanya. “Minumlah, kalau tidak aku akan dimarahi oleh guru.” Tak mau menjawab, Karel lantas mengambil gelas tersebut lalu memandanginya. Warna rambutnya telah berubah dari yang dulu, sebenarnya kenapa ia ada di sini sekarang? Karel pun meminum habis air putih di dalam gelasnya lalu meletakkan gelasnya ke atas meja. Untuk saat ini, ia masih belum bisa merelakan takdir merebut semua kebahagiannya. Namun, di sisi lain ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. “Dari mana asalmu? Kenapa guru membawamu kemari?” Pertanyaan beruntun itu dilontarkan oleh Selly kepada Karel. “Dia memungutku ....” Hanya itu jawaban Karel. Tak ada jawaban lainnya. Sebelum Selly lanjut bertanya, Vilas datang dan melihat mereka berdua tengah mengobrol. Dia tersenyum sesaat lalu berlalu menuju belakang. “Aku kembali.” Karel tak bereaksi apa pun. Ia hanya bergeming tanpa ada niat untuk menjawab ataupun pergi dari tempat duduknya. “Jarang sekali Guru memberi salam seperti itu saat pulang,” gumam Selly, “biasanya kan langsung masuk seperti seorang pencuri.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD