1. POV NERZHA

1419 Words
Musim berganti, hujan kembali datang membawa kesejukan. Rintik-rintik berjatuhan membasahi jalanan. Aroma ini sangat khas dan aku suka, kuhirup panjang sensasi ini untuk melegakan pernafasanku. Kenikmatan duniawi yang tak boleh dilewatkan begitu saja. Sembari memejamkan mata kuhirup dalam-dalam udara segar pagi ini yang bercampur aroma hujan. Dadaku rasanya plong. "Aaaaa...." teriakku saat membuka mata dengan mendorong pria yang tiba-tiba sepayung denganku entah muncul dari mana. Tapi dia langsung menarikku hingga kami saling menempel satu sama lain menghilangkan jarak hingga aroma maskulinnya tercium indera penciumanku. "Apa yang kau lakukan, hah? Dasar m***m!" teriakku setelah sadar dari keterbuaianku oleh wangi parfumnya. "Aku cuma mau nebeng payungmu, jadi berhentilah berteriak, Nona. Aku bahkan tak tertarik dengan badan model papan seluncur begini." Apa katanya? Papan seluncur? Sudah nebeng masih pula menghinaku, kurang ajar. Tak tahukah dia cara menyenangkan hati perempuan? Kata-katanya itu masuk dalam list yang tak boleh dikatakan pada lawan jenis. "Kalau gitu lepas!" teriakku lagi cukup kencang dengan berusaha melepas pelukannya tapi dia semakin erat memelukku. Entah apa yang orang lihat padaku dari balik payung. "Aku akan lepas kalau kamu janji nggak akan lari." Janji? Dia pikir aku anak-anak yang masih percaya janji-janji. Di sini harusnya aku yang berkuasa bukan dia, akulah si pemilik payung. Tapi kenapa harus aku yang berjanji padanya, menyebalkan. "Baiklah. Ok, cepat lepas! Aku bisa sesak nafas," seruku daripada orang lain menganggap kami sedang berbuat m***m. "Janji dulu!" "Astaga aku kan udah bilang ok, ya udah lepas." Pria itu melepas pelukannya dan sedikit menunduk mensejajarkan wajahnya denganku. Cukup lama dia menatap mataku, jangan pikir aku akan grogi dan terpesona, yang ada aku heran kenapa dia bengong begitu menatapku. "Apa?" seruku mengagetkannya. "Boleh aku nebeng sampai sana?" dia menunjuk sebuah gedung yang tak asing buatku setelah berdehem. "Apa aku bisa menolak?" tanyaku balik dengan mata melotot lebar. Pria itu tersenyum mengusap kepalaku seolah aku kucing kecil yang suka dielus-elus kepalanya minta dimanja. "Mobilku mogok dan aku harus cepat-cepat sampai gedung itu," ucapnya lagi-lagi menunjuk gedung tempatku bekerja. "Kamu bekerja di sana?" tanyaku. "Ya, ini hari ketigaku kerja." "Oh, di bagian apa?" tanyaku lagi reflek padahal nggak penting juga. "Kamu tertarik padaku ya?" tanyanya balik. Aku pun mencibir, tingkat kepedean pria di sampingku benar-benar merusak mood pagiku yang indah. Kami pun diam berjalan beriringan sampai kantor, cipratan kecil hujan yang jatuh ke tanah membasahi sepatuku. Tapi itu bukan masalah karena aku suka hujan. Aku tak perlu berebut jalanan dengan pejalan kaki lain karena hujan, mereka lebih memilih memakai mobil pribadi atau taksi saat hujan. "Thank you, Nona kecil." "Hmm...." balasku tanpa melihatnya dan berlalu menuju pojok lobi meletakkan payung cantikku yang kudapat dari beli sabun cuci. Termasuk beruntung aku saat membelinya, nggak semua pembeli mendapatkan payung berwarna pink ini. Kutatap wajahku di dinding lift, memang mukaku nggak ada yang berubahkah sampai masih dianggap anak kecil? Terima kasih Tuhan memberiku badan kecil dan muka awet muda, tapi tetap saja aku kesal tak bisa mensyukuri nikmat Tuhan yang satu ini sepenuhnya. Berkat baby face-ku ini, para junior dan anak magang kadang memandangku remeh saat baru bertemu. Padahal aku itu kan karyawan senior yang berkompeten. Umurku juga tak lagi muda, 26 tahun. Bahkan teman-temanku sudah dipanggil Mommy diumur yang sama denganku. "Tumben berangkat siang," ucap Hena saat aku masuk ke ruangan. "Yah, ada sedikit gangguan tadi. Hari ini kita nggak banyak kerjaan kan?" tanyaku meletakkan b****g ke kursi empukku. "Tentu, nanti malam kita merayakan kesuksesan proyek kita yang kemarin. Kamu ikut kan?" "Lihat nanti, aku sedikit malas. Pengen sekali-kali pulang cepet dan tidur panjang setelah berminggu-minggu kita begadang." "Eh, ayolah ikut." Aku menaikan bahuku seolah berkata lihat saja nanti. Aku juga masih bingung, mau ikut tapi badan rasanya lelah ingin cepat-cepat bertemu kasur padahal aku baru saja sampai di kantor. Semua ini gara-gara proyek besar yang baru kutangani dan membutuhkan ekstra waktu dan tenaga. Membuat kulit di sekitar mataku mulai berkerut dan memperlihatkan kantung mata yang sangat indah. "Nerzha, ada panggilan dari line satu." "Ok mas!" jawabku lalu mengangkat telpon di meja seberang. Maklum telponku rusak dari kemarin sore tapi belum juga dibenerin, lamban benar teknisinya. Mau protes juga malas, nanti dibilang perawan tua jadi sukanya marah-marah. Walaupun nggak semua perawan tua begitu dan nggak ada yang salah dengan perawan tua. Kenapa aku jadi membahas soal perawan tua. "Halo," sapaku manis tapi kening sedikit berkerut heran karena ada panggilan dari line satu di mana itu panggilan dari bagian direksi. Untuk apa bagian direksi mencariku yang hanya karyawan rendahan. "Mba Nerzha, saya Laras sekretaris bapak Eldio." "Iya mba, ada yang bisa dibantu?" "Dimohon ke sini sekarang juga, Pak Eldio memintamu menemuinya." "Pak Eldio?" beoku yang tak tahu siapa itu Eldio. Orang pentingkah? "Iya dirut kita yang baru mba Nerzha." "Ohhh.... Ok mba Laras, siap." Seketika kurapikan penampilanku, jangan sampai aku diusir bahkan dipecat karena pakaian dan dandanan lihat pyang berantakan. Ku;akaianku masih sedikit basah kecipratan air, tapi tak apalah. Untung celanaku hitam jadi nggak terlalu kentara. "Ada apa?" tanya Hena berbisik dari balik kubikelnya. "Dipanggil bos besar, entahlah. Eh, by the way sejak kapan dirut kita ganti? Apa ada pengumumannya? Apa ada pelepasan Pak Herman sebelumnya? Kok aku nggak tahu ya?" tanyaku sambil menyisir rambutku. Majalah cosmopolitan tiba-tiba mendarat manis di bahuku. "Apa sketsa-sketsa itu sudah menimbunmu sampai tak dengar dirut kita ganti, huh?" Aku melongo bingung, memang kapan ganti? Aku benar-benar ketinggalan info penting tapi nggak penting juga sih. Toh nggak ada bedanya aku tahu atau nggak, aku tetap nggak berinteraksi langsung dengan sang direktur utama perusahan kecuali ada rapat besar yang orang-orang sepertiku diikutsertakan atau saat ada pesta di ulang tahun perusahaan. Itu pun hanya bisa lihat dari jauh saat si bos sedang pidato penyambutan. Selebihnya nggak tahu kalau aku nggak kepo dan aku nggak akan pernah kepo kecuali kepo ada kenaikan gaji karyawan. Jadi tau atu nggak nggak ngaruh dalam hidupku. Sampai di lantai di mana ruangan direksi berjejer, dadaku jadi berdebar lebih cepat. Ini deg-degan karena mau ketemu bos atau kenapa ya, tanganku jadi dingin rasanya. Ini pertama kalinya aku harus bernteraksi dengan orang penting. Biasanya aku hanya ada di balik kubikel mengerjakan sketsa-sketsaku. Di sana aku langsung disambut Laras yang tersenyum lebar di balik mejanya. Aku dipersilahkan masuk ruangan yang sangat luas, sama luasnya dengan ruang divisiku. Baru kali ini aku masuk ke dalam sini, takjub dengan desain interiornya yang simple tapi terlihat mahal dan terkesan manly dengan warna hitam dan abu mendominasi. Perpaduan warna yang sangat pas dan lukisan abstrak dengan warna mencolok di dinding semakin menambah kesan mahal. "Pagi Pak, saya Nerzha dari divisi produksi," ucapku sesampainya di depan meja sang direktur utama yang masih menundukkan wajahnya menatap layar ponsel. Sikap bos yang sangat sopan. Memmintaku datang tapi dia sibuk dengan ponselnya. "Ah ya, silahkan du-- duk," ucapnya terbata di ujung kalimat saat mata kami bertemu. Mungkin dia kaget, sama sepertiku yang kaget. Aku bukan kaget lebih tebatnya, tapi syok melihat kenyataan siapa bos yang sedang memandang ke arahku. "Silahkan duduk," ucapnya lagi yang sudah berekspresi datar. Sementara aku pasti berwajah pucat pasi. "Ah iya Pak, terima kasih." Ternyata rasa berdebarku sejak tadi bukan karena mau ketemu jodoh atau dapat durian runtuh, tapi karena mau dipecat. Mati sudah kamu Nerzha! Ini semua karena mulut besarmu yang tak bisa ditahan Rasanya tenggorokan mendadak kering, mau nelen ludah aja kesusahan. Nggak nyangka pria ngeselin tadi pagi berwajah serius begini bikin keder. Perasaan tadi pagi aku sudah berdoa sebelum melangkah ke luar apartemen tapi kenapa masih pagi udah sial begini. "Maaf Pak, soal tadi pagi. Bapak nggak berniat mecat saya kan?" tanyaku blak-blakan demi masa depan. "Saya minta kamu ke sini untuk mendesain rumah saya yang baru, soal tadi pagi terima kasih sudah meneriaki saya.” Makin nggak punya muka aku saat ini. Semakin kutundukkan wajah takut sekaligus malu. Tak menyangka pria m***m tadi pagi itu bosku. Nggak sepenuhnya m***m sih kalau diingat-ingat, aku merasa menyesal sekarang. "Jadi bagaimana, bersedia? Proyekmu sudah selesai minggu ini kan?" "Iya Pak, saya bersedia." Nggak mungkin juga kutolak, yang ada aku dipecat beneran detik ini. Semoga nasib sialku nggak berkepanjangan setelah ini. Sudah cukup lama aku hidup tenang tanpa kata sial di hariku. "Baiklah, silahkan kembali ke ruanganmu nanti siang ikutlah denganku untuk lihat rumahnya." "Baik Pak, permisi. Terima kasih." Rasanya seperti ada yang lepas dari dadaku saat ke luar ruangan itu, antara lega dan masih nggak enak hati. Mengingat sikap barbarku tadi pagi sungguh aku menyesal tapi itu juga bukan sepenuhnya salahku. Suruh siapa dia tiba-tiba menyusup di payungku dan memelukku. Siapa yang nggak akan berpikiran buruk jika tahu-tahu ada pria m***m. Aku harus mengerjakan ini sebaik mungkin biar nggak dipecat sia-sia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD