Hukuman

1870 Words
Hari-hari berikutnya Alex tidak lagi menginap, tapi dia tetap mengunjungiku. Mama yang menjagaku setiap malam dan itu membuat aku nyaman. Setiap hari mama dan perawat membantu aku duduk di kursi roda. Seperti sekarang ini. Setelah perawat pergi mama menyibak gorden putih sehingga aku bisa melihat langit sore. Berbaring seharian membuat tubuhku remuk. Dokter bilang kalau perkembanganku sangat pesat dan dia yakin selama tiga sampai empat minggu aku akan sembuh. Bisa berjalan normal dan melakukan aktivitas lagi. Itu kabar baik yang aku dapatkan dari rentetan kabar buruk hari ini. Aku rindu bekerja di kantor saat menatap gedung-gedung pencakar langit. Selama 6 bulan meja kerjaku tak tersentuh. Mungkin saja mejaku sudah berdebu atau ditempati orang lain. Aku akan menata hidupku dari awal lagi, tanpa bayang masa lalu. Aku berpikir semalaman, mungkin Tuhan memiliki cara lain supaya aku hidup lebih baik ke depannya. Aku mulai menerima keadaanku saat ini. “Kamu ngelamunin apa?” Mama berdiri di belakang kursi rodaku. Kedua tangannya mengusap bahuku dengan lembut. Aku suka sekali saat ia memperlakukan aku seperti gadis kecilnya lagi. “Aku mau kerja, Ma,” jawabku. “Kalau sudah sembuh kamu boleh kerja, tapi sekarang fokus sama pemulihan dulu. Mama nggak mau kamu sakit.” Mama mengusap kepalaku, tapi tidak lama karena ada orang yang masuk. Kami menoleh mendapati Alex di ambang pintu. Buket bunga yang cukup besar dibawanya. Ia berjalan mendekatiku lalu menyapa mama. “Mama sudah makan?” tanya Alex membuat aku mendelik. “Dia bukan mama kamu,” sanggahku. Pandanganku tertuju pada buket cantik berisi boneka dan hiasan pita warna-warni. “Aku gak butuh bunga.” Alex terdiam lalu mengulas senyumnya. “Bunga ini bukan buat kamu, tapi untuk mama.” Alex memberikan bunga itu pada mama. Lihatlah wajah mama seketika bahagia. “Terima kasih mama sudah menjaga Ana,” kata Alex lagi seakan menjaga aku adalah kewajibannya. Aku merasa dipermainkan. Alex pasti sengaja membuat aku kesal. Pria itu masih sama menyebalkan seperti dulu. Aku membencinya. Alexander Vergel, aku masih mengingat nama lengkapmu. “Terima kasih, bunganya cantik sekali.” Mama menatapku, tapi kupalingkan wajah ke jendela. Aku harus mengusir Alex setelah mama pergi. Sebisa mungkin tidak bertemu lagi. “Ana tolong bawa bunga ini dulu. Mama mau bicara dengan Alex sebentar.” Mama meletakkan bunga itu di pangkuanku lalu membawa Alex ke luar ruang inap. Setelah pintu tertutup perhatianku jatuh pada bunga mawar merah. Aku tidak bisa berbohong kalau buket itu sangat cantik. Kucium wanginya dan memainkan boneka beruang kecil yang memegang tulisan ‘I Love You’. “Ana, bunga ini untuk mama bukan buat kamu,” ucapku untuk mengingatkan diri. Kuabaikan lagi bunga itu, tapi tidak terlalu lama karena sejujurnya aku menyukainya. Aku suka dengan bunga mawar yang banyak. Aku tidak tahu mengapa bunga itu membuat aku bahagia. “Kenapa Pak Alex jenguk aku terus? Apa dia masih suka sama aku?” Pertanyaan konyol yang membuat aku sadar kalau sejak dulu sampai saat ini aku masih mengharap cintanya. Selemah itukah aku karena mencintainya. Aku harus meneguhkan hati untuk melupakan Alex. Selamanya. Mama kembali tanpa Alex, entah ke mana pria itu pergi. Mata mama juga sembab, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mama tiba-tiba memelukku lalu mengusap-usap punggungku dengan lembut. Aku mulai takut kalau ada sesuatu yang buruk terjadi padaku atau keluargaku. “Mama.” Aku memanggilnya. Mama mengusap air matanya lalu berusaha tersenyum meski aku tahu sulit untuk melakukannya. “Sebentar lagi kamu pulang,” ucapnya. Aku bernapas lega karena mama menangis bukan karena sedih, melainkan bahagia akan kabar kepulanganku. Aku sendiri sudah bosan melihat kamar rumah sakit yang mewah ini. Aku lebih suka melihat kamarku sendiri. “Aku tahu itu. Dokter pasti mengizinkan aku pulang lebih cepat.” Mama mengangguk lalu mendorong kursi rodaku ke tempat tidur. Ia berjongkok lalu mengusap keningku berkali-kali. Aku belum sempat berkaca bagaimana wajahku setelah kecelakaan. Apa aku masih cantik, atau justru banyak luka di wajah. “Apa ini sakit?” tanya Mama. Aku menggeleng. Aku merasa tubuhku sehat walau ada luka lecet di tangan dan kaki. Dokter juga bilang jahitan di kaki dan tanganku sudah menutup. Ada luka lecet yang mulai menghitam di siku dan lutut. Selain itu aku tidak tahu lagi di mana letak luka lainnya. “Apa kening aku membiru?” tanyaku. Mama mengangguk. “Ada luka sobek dekat alis kamu. Ada memar juga, tapi kata dokter akan segera hilang,” jelasnya. Aku beruntung belum melihat wajahku pasca siuman. Mama mulai menyuapiku makanan. Selama enam bulan aku berbaring di atas tempat tidur itu sungguh luar biasa. Semalas apa pun aku kalau disuruh tidur seharian juga tidak sanggup. “Alex harus pergi. Katanya ada urusan mendadak. Dia titip salam buat kamu, katanya nanti malam dia mau telepon kamu,” kata mama sambil berbisik, “Mau video call.” Mama mengedipkan matanya menggodaku. Kalau saja Alex bersikap baik tiga tahun yang lalu mungkin perasaanku akan melayang tinggi, tapi itu tidak terjadi. Alex melakukan kesalahan fatal. Aku langsung bad mood. Alex belum menyerah juga ternyata. Aku harus membuat peringatan yang jelas untuknya. Nanti malam, aku akan menunggu video call dari pria itu. Lebih cepat lebih baik, karena aku tidak mau diganggu lagi. Malam hari yang kutunggu tiba, ponselku belum berdering sedikit pun. Aku berusaha sabar, mungkin saja Alex sedang lembur atau ada urusan mendadak seperti sakit perut? Atau mencukur kumisnya yang mulai tumbuh. Ah, aku teringat lagi akan penampilannya tadi sore. Alex terlihat berantakan, kumis tipisnya belum dicukur ditambah rambutnya mulai panjang. Pria itu perlu gunting dan sisir untuk merapikan rambutnya jika tidak mau ke salon. Dulu dia sangat rapi dan bersih, tapi sekarang seperti tidak terurus. Meski ada kumis yang tumubuh entah mengapa ia tetap tampan. Aku segera menggeleng, mengenyahkan pikiran tentang pria itu. Bisa-bisanya aku masih memuji Alex di saat seperti ini. Aku coba tenang menonton televisi layar lebar. Acara taklshow, stand up komedi sampai podcast Youtube sudah kutonton sampai selesai, tapi Alex belum menghubungiku. “Pasti ketemu cewek-cewek.” Aku semakin jengkel, rasanya ingin marah. Aku berusaha menahan emosi saat papa dan mama kembali ke ruang inap. Mereka membawakan makanan kesukaanku. Mama bilang aku suka pizza dan makanan Italia, tapi aku sudah lupa bagaimana rasanya. “Kamu nunggu lama, ya, sayang?” tanya papa. Jasnya kini sudah tanggal, ditambah dasi merah bercorak hitamnya sudah dilonggarkan. Papa terlihat lelah, aku kasihan padanya. Aku harus segera sembuh kemudian membantu papa di perusahaan. Sebagai anak satu-satunya itulah tugasku. “Tidak. Kalian bawa pizza?” tanyaku. Mama dengan senang hati memperlihatkan sebuah kotak berukuran kecil. Aku tahu ini mini pizza. “Mama sengaja nggak beli banyak soalnya masih takut. Kalau kamu sudah sembuh total mama bakalan beliin yang banyak,” ucapnya. Aku menganguk, tidak yakin juga bisa menghabiskan sekotak pizza ini. “Alex sudah telepon kamu?” tanya mama. Aku menggeleng, mulutku penuh dengan makanan. Benar saja aku suka pizza kalau rasanya seenak ini. Aku ralat ucapanku yang tadi mengatakan tidak sanggup menghabiskan sekotak pizza. Aku bisa nambah. Mama dan papa saling bertatapan. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan yang jelas wajah mereka terlihat tidak baik-baik saja. “Papa akan menemui Alex sekarang,” katanya. Aku mengernyitkan dahi. Susah payah kutelan sisa makanan di mulut. “Papa kenapa ketemu Alex malam-malam?” tanyaku. Papa sudah akan pergi lalu ia menatapku. “Ada yang ingin papa tanyakan. Papa berangkat dulu.” Aku merasa ada yang aneh dengan papa. Tidak bisanya ia suka bertamu malam-malam kecuali mendapat undangan. Mama pun tidak melarang dan bertanya-tanya. Apa yang dilakukan Alex pada keluargaku selama aku koma? “Mama dan papa gak merencanakan perjodohan buat aku dan Alex,’kan?” tanyaku. Mama hanya tersenyum sembari mengangkat kedua bahunya. Mereka bermain rahasian denganku. “Mama sih tidak ada masalah punya mantu seperi Alex, tergantung kamu saja” jawab mama. Malam itu Alex tidak menghubungiku sama sekali. Aku menyesal begadang hanya menunggu pesan atau telepon darinya. Saat tidur bayang wajahnya selalu hadir. Aku sampai terusik karenanya. Saat pagi menjelag Aku baru bisa memejamkan mata sejenak sebelum mama membangunkan aku. Mama menyisir rambutku yang masih panjang. Sedikit kusut, tapi masih bisa disisir. “Mama kayak lagi ngasuh anak kecil,” ucapnya. “Tapi mama senangkan kalau aku manja sama mama?” Mama langsung mencuil hidung lalu mengikat rambutku. Hari ini dokter mengizinkan aku pulang dengan syarat aku harus istirahat dan terapi yang teratur, tidak lupa minum obat. Kakiku masih sulit digerakan walau jari-jariku sudah lebih luwes bergerak. Pintu ruang inap dibuka. Alex datang membawa bunga. Lagi. Aku yakin kali ini bunga untuk aku. Sebagai hukuman aku akan menolaknya, kalau bisa membuang bunga itu lalu memarahi Alex yang tidak tepat janji. Aku rasa itu ide yang baik sehingga Alex menyerah. “Pagi, Ma.” Alex memeluk mama seperti biasa jika ia berkunjung. Namun, yang membuatku semakin kesal adalah dia memberikan bunga itu untuk mama. Aku kaget, tapi berusaha tetap tenang. Hatiku rasanya panas. Apa dia sengaja membuat aku jengkel. “Pak Alex suka, ya, sama mama?” Tatapanku menajam, tapi Alex tidak bereaksi. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. “Kamu cemburu?” tanya Alex tanpa basa-basi. Aku ingin menjawab. Aku memilih diam karena takut salah bicara yang berakhir membuat Alex besar kepala. “Kenapa diam? Kamu mau bunganya?” tanya Alex. Dia pikir aku akan mengemis untuk sebuket bunga? Aku tidak akan melakukan itu. Alex meraih tanganku lalu meletakkan bunganya di telapak tangan. Aku segera menarik tanganku yang membuat buket itu hampir jatuh. Beruntung Alex sigap memegangnya. “Ana!” Mama memperingatiku dengan tatapannya yang tajam dan gelengan kepala. Aku hanya diam tidak berani menatapnya. Mama kalau marah bisa berhari-hari. “Nak, Alex mama titip Ana sebentar, ya.” Alex mengangguk. Saat mama akan pergi aku menahan tangannya. “Mama jangan tinggalkan aku sama dia,” gumamku. Alex berdiri lalu melepaskan genggaman tanganku pada mama. “Mama pergi saja biar saya yang jaga Ana.” Mama akhirnya meninggalkan aku berdua dengan Alex. Setelah pintu tertutup Alex mengambil kursi roda yang ada di pojok ruangan. Ketika dia akan menggendongku, aku segera menolak. “Pak Alex mau nyulik saya?” Alex tidak menjawab. Tanpa persetujuan dia menggedong aku ke kursi roda. Ingin aku berteriak kesal padanya, tapi saat melihat mata itu membuat aku terdiam. Mata hitam yang aku sukai dari dulu, tapi kini terlihat redup. Kumis tipisnya juga sudah menghilang. Alex terlihat lebih dewasa dari tiga tahun yang lalu. “Saya ganteng, ya?” Rasa percaya dirinya pun tidak berubah. Kupalingkan wajah ke sebuah meja di mana ada vas bunga besar. Alex sepertinya tahu aku tidak akan menjawab pertanyaan itu. “Saya mau ngajak kamu pulang.” Aku mendongkak menatap Alex yang mendorong kursi rodaku keluar kamar. “Gak mau! Saya mau pulang sama mama. Berhenti gak atau saya teriak!” ancamku, tapi tidak mempan. Alex terus mendorong kursi rodaku sampai parkir mobilnya. Aku harap mama atau papa datang menghentikan Alex. Kugenggam erat pegangan yang ada di sisi kanan dan kiri kursi roda. Alex membuka pintu mobil lalu bersiap menggendongku. “Ana lepas,” katanya meminta aku melepas genggaman pada kursi roda. “Gak mau.” Aku terus memberontak. Aku tidak ingin dia mengatur hidupku. Sudah cukup dulu aku dipermainkan dengan mudah, dimanfaatkan dan akhirnya ditinggal. Aku harus menjadi wanita yang lebih tergar dari tiga tahun yang lalu. Ana yang sekarang berbeda dengan yang dulu. “Kamu lepas atau saya beri hukuman?” Hukuman?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD