PART 2 - MY FIRST LOVE.

1448 Words
Rembulan masih terlihat menggantung di langit. Memancarkan sinarnya bersamaan dengan bintang. Sama-sama memberikan cahaya di tengah kegelapan malam. Seolah mengatakan pada penduduk bumi, jika mereka sudah berusaha memberikan sinar semampu mereka. Walaupun nyatanya sebanyak apapun bintang yang bertaburan yang bekerja sama dengan cahaya bulan, tak akan bisa mengalahkan sinar matahari sebagai satu-satunya pemberi cahaya terang seterang-terangnya. Mungkin itu juga yang kini yang tengah dialami sosok tubuh yang terlihat sudah memiliki raut wajah keriput di seluruh permukaan kulitnya. Sesabar-sabarnya ia menahan diri untuk tidak melihat wajah cantik yang kini ada di hadapannya, tapi saat takdir menggiringnya kemari, apa yang bisa ia lakukan? Sekalipun wajah itu hanya terlihat di sebuah layar datar televisi berukuran tiga puluh dua inci, tetap membuat matanya berkaca. “Khansa?” Lirihnya. Bersamaan dengan luruhnya air mata yang sudah ia tahan sekuat tenaga, telapak tangannya terulur meraba layar datar tersebut. Mengusapnya, seolah itu adalah wajah seseorang. Seseorang yang membuat tangisnya terdengar di ruangan ini. Awalnya hanya tetesan air mata. Tapi lama-kelamaan isak tangis itu terdengar. Isak tangis yang menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Sejam yang lalu ruangan ini ramai. Ada yang lari-larian, bermain dan melanjutkan tugas sebelum semuanya beranjak ke atas tempat tidurnya masing-masing. Kini sunyi, mungkin karena semua penghuni sebagian panti ini sudah terlelap. “Ibu belum tidur?” Sapaan seseorang membuat wajah setengah tuanya menoleh. “Ida, kamu belum tidur?” Wanita yang dipanggil Ida mendekat. Ia melihat wajah yang biasa ia hormati terlihat basah. “Ibu menangis?” Terlihat gelengan lemah, namun Ida wanita yang panggil Ibu itu berdusta. Entahlah Ida tak ingin terlalu ikut campur. “Gak, Ibu cuma ingat sama seseorang ketika Ibu melihat dia.” Ida mengikuti arah pandang wanita di hadapannya. “Wah dia kan penulis terkenal. Nanti Ida mau nonton ah filmnya.” “Kamu tahu dia?” Ida tersenyum. “Siapa yang tidak kenal dengan Khansa Talita Rahman. Dia banyak menulis di online, cetak buku, dan naskahnya yang terakhir mau di filmkan. Emang bagus sih. Ida sudah baca semua naskahnya.” Lalu mata Ida melirik pada buku yang ada di genggaman wanita yang ia panggil ibu. “Ini bukunya yang terbaru itukan? Ibu sengaja beli?” Tanpa permisi Ida meraih buku itu. “Ibu baca juga? Ida baru tahu ibu suka baca novel.” Kekehan terdengar di mulut Ida. “My First Love.” Ida mulai membaca susunan huruf yang tercetak indah di sampul depan. “Ida suka bacaan gini bu. Jadi senyum-senyum sendiri udahan bacanya. Semoga kisah Ida sama dengan yang ada di sini ya bu. Bisa ketemu sama satu lelaki dan berakhir happy ending.” “Hmmm tapi di mana Ida bertemu lelaki itu ya bu? Zaman sekarang susah membedakan mana lelaki yang tulus dan mana lelaki yang modus? Ibu bisa kasih solusi?” Wanita di depan Ida mendadak gugup. “Ah itu-itu mungkin nanti kamu ketemu kok. Kalau sudah takdir pasti gak akan kemana kan?” Ida terkikik. “Iya Ibu benar.” Lalu terdengar desahan Ida. “Semoga Ida gak ketemu lelaki berwajah manis tapi bermulut serigala dan berhati iblis ya bu.” Banyak Ida, di luar sana banyak lelaki yang seperti itu. “Eh kok Ida jadi ngelantur. Ida itu mau kasih tahu persediaan beras habis. Ya ampun kok Ida lemot ya bu. Maafkan ya bu?” “Besok saja kamu temui ibu lagi. Tapi untuk jatah sarapan pagi masih cukup kan buat anak-anak sarapan?” “Masih kok Bu, buat makan siang juga cukup. Cuma untuk makan malam kurang.” “Ya udah sehabis subuh kamu temui ibu ya. Sekarang kamu tidur kalau semua sudah beres.” “Iya Ibu juga tidur ya, jaga kesehatan.” Lalu Ida berjalan ke dalam rumah. Terbayang di benaknya selimut yang melambai-lambai untuk ia kenakan. Meninggalkan wanita yang tadi bersamanya, yang kemudian ikutan bangkit menuju kamar tidurnya. Tak lupa buku yang ia pegang tetap ia bawa. Sepertinya mulai malam ini, ia akan memiliki kebiasaan baru. Langkahnya memasuki kamar yang semula gelap. Telapak tangannya terulur mencari tombol lampu. Begitu ditekan, ruangan kamar itu menyala terang. Sekalipun sudah dimakan usia, dan wajah mulai menampakkan keriput yang terlihat, tapi ia tetap berusaha hidup sehat. Agar bisa melakukan sesuatu hal yang mungkin akan ia kenang sebelum nafasnya berakhir. Hanya itu yang selalu ia pinta pada Sang Maha Kuasa. Memberi kesempatan untuk menebus dosa-dosanya. Ia merebahkan tubuhnya. Sekali lagi melihat pada buku yang dipegangnya. Kembali mata itu berkaca. “Selamat malam Khansa. Semoga kamu selalu sehat dan bahagia, dimanapun kamu berada.” Ia biarkan buku itu ada di samping kiri. Setelah menghapus kedua sudut matanya, ia memejamkan mata. Berharap mimpi indah yang akan ia lihat kali ini. Mimpi indah yang akan mempertemukan dirinya dengan sosok wanita berwajah cantik dan manis. Sekalipun ia tahu terlalu mahal keinginannya untuk bertemu wanita itu, sekalipun ada di dalam mimpi. ** Sementara di sebuah rumah yang bisa dibilang mewah. Tampak seorang wanita yang memiliki paras cantik sedang asyik berselancar ke dunia sosial. Sesekali kedua sudut bibirnya tertarik menimbulkan senyum yang semakin menambah raut cantiknya. Saat pintu kamar mandi terkuak pun, wanita itu masih saja asyik dengan ponselnya. Rayhan Hardiningrat, tersenyum memandang istrinya Khansa Talita Rahman yang masih saja tak menyadari jika tengah ditatap dengan mata penuh cinta. “Kamu lihat apa sih?” Rayhan memeluk bahu sang istri dan memberikan kecupan disana. “Banyak yang kasih selamat karena acara kita tadi.” Wajah Khansa terlihat berseri. “Besok aku mau ketemuan sama Vina dan Fitri, boleh ya?” Rayhan tersenyum sebelum mengecup kening istrinya. Ia memandang wajah cantik istrinya. Ia bersyukur memperistri Khansa. Wanita yang ternyata telah dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Dan ia bersyukur tidak menolak keinginan mereka, sebelum memastikan jika wanita yang dipilihkan itu cocok atau tidak. “Boleh dong sayang, kenapa gak?” Lalu Rayhan meraih ponsel yang masih setia digenggam sang istri. Meletakkannya di atas meja rias. Sejak menikah, Rayhan membatasi penggunaan ponsel di dalam kamar. Kamar tempat untuk istirahat. Malam ini pengecualian, setelah acara mereka tadi. Eforia sang istri masih terlihat. “Sudah malam, sebaiknya kita tidur.” “Cuma tidurkan?” Mata Khansa mengerling. “Malam ini aku janji hanya tidur. Aku tahu kamu lelah sekali hari ini.” Wawancara exclusive di salah satu stasiun televisi swasta, berkenaan dengan buku novel istrinya yang laris manis, pasti membuat istrinya lelah. Acara pukul sembilan, tapi sejak pukul lima mereka sudah sampai di tempat. Dan kali ini Rayhan juga di undang untuk ikut diwawancarai berkenaan rumah tangga mereka. Rayhan memang mengetahui hobby sang istri. Seorang penulis novel bergenre romantis berakhir happy ending. Ia nyaris tertawa tak percaya ketika sang istri memiliki ide menulis novel tentang mereka berdua. Hingga keluarlah novel romantis berjudul My First Love. Demi Tuhan, Rayhan tidaklah seromantis pemeran pria yang ada disana, tapi Khansa berhasil mengemasnya menjadi sosok romantis. Hingga buku itu menjadi best seller di negeri ini. Jadi tidak salah jika Rayhan bangga pada sang istri bukan? Sudah cantik, pintar dan penuh keromantisan yang tidak pernah terduga. Khansa berteriak ketika tubuhnya digendong ala bridal style. Ia mengalungkan kedua lengannya di leher sang suami. “Mas Ray,” panggil Khansa ketika suaminya itu melangkah ke arah pembaringan. “Hmmm.” Hanya deheman yang Rayhan berikan. “Kamu tahu gak, aku itu bersyukur sekali punya suami seperti kamu.” “Terima kasih.” “Sudah tampan, mapan dan gak pernah kekang aku untuk melanjutkan hobby. Terima kasih ya sayang.” Dengan penuh cinta Khansa mengecup pelan pipi suaminya. Rayhan merebahkan tubuh istrinya ke atas pembaringan. Menarik selimut menutup. Tapi, Khansa justru menolak. “Aku mau tidur peluk kamu,” bisiknya. Rayhan hanya tersenyum. Ia merangkak naik ke atas kasur. Seketika saat tubuhnya berbaring, Khansa meletakkan kepalanya di dadda bidang Rayhan. Rayhan memeluk tubuh istrinya, dan mengusap puncak kepala Khansa setelah memberikan kecupan berulang kali di sana. “Mas Ray.” “Hmm” Wajah Khansa menengadah. “Kamu ingat pertemuan pertama kita?” Rayhan mengangguk sambil tersenyum pada istrinya. Tentu ia ingat ketika kedua orang tua mereka mengadakan pertemuan keluarga. Siapa yang bisa mengira, jika mereka bisa saling jatuh cinta pada akhirnya. Pertemuan pertama yang berkesan, menimbulkan pertemuan selanjutnya untuk tahap saling mengenal. Begitu terus hingga mereka akhirnya sepakat untuk menikah. Rayhan cukup beruntung, ia mendapatkan istri sepolos Khansa. Seorang wanita rumahan yang tak pernah terjamah lelaki manapun. Hanya dia satu-satunya lelaki yang pernah dekat dan berakhir menjadi suaminya. “Aku bersyukur kamu yang menjadi pendampingku, Imamku dan calon ayah anak-anak aku nantinya.” Khansa menatap suaminya dengan penuh cinta. “I love you.” Khansa membelai pipi Rayhan dengan penuh kelembutan, dan kasih sayang yang selalu ia tunjukkan ketika mereka berdua seperti ini menikmati malam-malam sebagai pasangan yang halal. “I love you too.” Rayhan mempererat pelukannya, membiarkan wanita yang ada dalam dekapnya merasakan kenyamanan yang tak terkira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD