PART 4 - ARSEL OLIVER JARVIS.

1802 Words
Khansa masih sibuk dengan laptopnya, sama seperti Rayhan, suaminya. Mereka berdua masih ada di ruang kerja Rayhan. Sedang malam terus saja bergulir. Setelah makan malam, Khansa dan suaminya pasti menghabiskan waktu di ruangan ini, dengan ditemani dua cangkir teh manis hangat dan setoples cemilan. Ruangan kantor kecil yang berukuran tiga kali empat, yang ada di dalam rumah milik Rayhan, menjadi tempat keduanya saat menekuni pekerjaan masing-masing. Mereka sama menatap layar berbentuk kotak dengan ukuran empat belas inchi tersebut, sama fokus hingga ruangan itu terdengar sunyi dari luar. Hanya bedanya, laptop Khansa berisi huruf dan laptop Rayhan berisi angka. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tapi mereka masih sibuk dengan masing-masing pekerjaan yang mereka geluti di ruang kerja Rayhan. Begitulah kegiatan mereka sebelum pergi ke kamar tidur. Hingga terdengar suara Rayhan yang berdehem. Menandakan ia sudah menghentikan pekerjaannya. Khansa melirik sebentar ke arah sang suami. Terlihat Rayhan memang sudah menutup laptopnya. "Kamu sudah selesai?" tanya Khansa menoleh pada suaminya. Terlihat Rayhan merenggangkan kedua tangannya ke udara. Pegal juga sejak tadi tubuhnya, matanya pun sudah mulai mengantuk. "Urus pekerjaan gak akan pernah selesai, besok aku lanjutkan di kantor. Kamu gak lupa sama janji kita malam ini kan?" Rayhan bangkit dari kursi dan mendekat ke arah istrinya. Memeluk Khansa dari belakang. "Aku kangen banget." Melabuhkan kecupan di pipi sang istri. "Kamu ganti sabun mandi?" Rayhan menghidu bahu Khansa. Melabuhkan kecupan di telinga kanan Khansa, membuat istrinya terkekeh geli. "Stop Mas Ray." "Kamu harum." Rahyan menyibak sebagian rambut istrinya, meletakkan kepalanya di bahu sang istri. "Hmm, kamu suka gak aroma sabunnya? Aku ganti sabun sih, biar kamu gak bosen." Khansa menatap mata suaminya. "Apapun yang kamu pakai dan kenakan aku pasti suka kok. Yuk, tutup laptopnya." Seakan mengerti kemauan suaminya, Khansa menurut. Ia tahu masih ada tugas lagi yang harus ia laksanakan malam ini sebelum mimpi menjemput. Melihat istrinya sudah mematikan laptop, Rayhan mengulurkan tangannya. Begitu Khansa menyambutnya, Rayhan membawanya dalam dekapan. Mereka melangkah ke arah kamar dengan saling berpelukan. "Bagaimana hari ini ketemu sahabat?" Rayhan lupa belum bertanya kegiatan istrinya hari ini. Ia tipe suami yang harus selalu tahu kegiatan istrinya. Khansa melingkarkan tangannya memeluk pinggang Rayhan. "Happy, kita ngobrol ngalur ngidul." Mata Khansa menerawang, mengenang pertemuan dengan para sahabatnya. "Aku cubit anaknya Fitri, habis lucu, gemesin banget tahu gak Mas." Bola mata indah yang sangat Rayhan sukai itu mengerjap. "Aku juga belai perut Vina. Yah, barangkali aku bisa langsung ketularan hamil juga," harap Khansa. Ia memang sudah ingin merasakan seperti apa hamil, mengidam dan menjadi seorang ibu dari buah cintanya bersama sang suami. Rayhan menutup pintu kamar dengan tangan kanan, sementara tangan kiri masih merangkul sang istri. "Kita pasti akan seperti mereka, kamu bisa hamil dan kita akan memiliki anak-anak yang lucu nantinya." "Aku sudah gak sabar Mas. Ingin segera menimang baby," rengek Khansa tiba-tiba layaknya anak kecil menginginkan mainan. Membuat Rayhan gemas melihatnya, dan terkekeh geli. "Segera sayang, jika kita terus berusaha dengan maximal, kita pasti bisa." Rayhan mendudukkan tubuhnya di atas pembaringan. Memandang wanita yang teramat ia cintai dengan sepenuh hati. Merangkum wajah cantik itu dengan kedua tangannya. Wanita yang ia harapkan menjadi teman hidupnya hingga menutup mata. "Kalau dia perempuan, wajahnya pasti cantik sepertimu," puji Rayhan, dan dia tidak berdusta. Istrinya ini selain cantik, pintar, berwawasan luar, juga tampak menggemaskan sekali. Siapapun pasti mengakui Khansa cantik. Dan ia bersyukur wanita ini menjadi istrinya. "Kalau dia laki-laki ...." "Pasti ganteng kaya papahnya." Khansa memotong ucapan Rayha. Rayhan memeluk perut Khansa melabuhkan kecupan dari luar pakaian, sementara Khansa mengusap rambut suaminya. Mencium puncak kepala suaminya. Beribu kata syukur ia ucapkan karena memiliki suami seperti Rayhan yang begitu mencintai dirinya. "Cepat hadir ya sayang. Mama kamu sudah gak sabar. Papa harap setelah malam ini kamu beneran hadir." "Iya papa, papa usahanya yang keras dong, biar aku hadir." Khansa menjawab dengan suara mirip anak kecil. Rayhan terkekeh. Lalu keduanya terdiam, sama saling menatap dengan penuh cinta. Entah siapa yang memulai duluan, yang jelas malam ini kembali mereka memadu kasih, saling menunjukkan jika mereka saling mencintai satu sama lain. Berharap Tuhan segera mengabulkan keinginan mereka untuk memiliki penerus dan mengisi kekosongan rumah mereka. Entah laki-laki atau perempuan. Rayhan dan Khansa tak pernah memilih. Yang jelas mereka hanya ingin kebahagiaan mereka lengkap dengan kehadiran si jabang bayi. Malam terus merayap melantunkan nada indah bagi sepasang manusia yang sama-sama saling mencintai dalam tiga tahun terakhir ini. Sama saling setia dan yakin jika selamanya mereka akan hidup selalu berdampingan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Hingga tak terasa kegiatan mereka atas dasar cinta pun usai dengan di akhiri senyuman penuh kepuasan, baik dari Rayhan ataupun dari Khansa. Seperti biasa, Rayhan selalu melabuhkan kecupan di kening sang istri sebelum lelap menjemput. "Terima kasih sayang. Love you," bisik Rayhan. "Hmmm." Khansa hanya bergumam. Ia selalu mudah tertidur jika sudah dalam keadaan lelah. Dan baru saja, rasa lelah itu ia dapatkan dari sang suami tercinta. Sebagai bukti baktinya pada sang suami. Rayhan membiarkan Khansa tertidur dalam kelelahannya, mendekap tubuh Khansa dalam dekapan hangatnya. Hingga keduanya sama tertidur dengan napas teratur. Siapa sangka hanya karena perjodohan yang dilalui Rayhan dan Khansa, keduanya bisa sama jatuh cinta pada pandangan pertama. Jika waktu yang sekarang menunjukkan pukul sebelas, adalah waktu tidur Khansa dan Rayhan, tidak bagi seorang lelaki dengan penampilan tubuh tinggi tegap dan d**a bidang, dengan sedikit rambut yang seperti malas untuk ia cukur rapi. Ia keluar dari sebuah mobil sport yang begitu saja berhenti di sebuah rumah mewah. Langkahnya mantap memasuki sebuah rumah yang hampir setahun sudah tidak pernah ia injak lagi. Bukan karena tak ingin tinggal di sana. Tapi semenjak Ayahnya menikah lagi dan membawa keluarga barunya ke sana, ia sudah tidak merasakan kenyamanan. Selama ini ia berusaha bertahan, tapi saat ada kesempatan untuk ke luar dari zona memuakkan, ia tak lagi ambil langkah lambat. Segera hengkang dari rumah yang ia tempati sejak lahir. Terlebih dari seorang wanita bertubuh tinggi dan mengenakan pakaian yang terlihat sexy dan menerawang yang membuka pintu utama. Wanita itu terlihat shock karena kehadirannya yang tiada rencana. "Arsel." Wajah shock itu seketika terlihat riang dan bahagia. Jelas, ia sangat menantikan kedatangan lelaki tampan ini yang kini masih menatapnya dengan rasa jengah luar biasa. Ia sudah mendekat dan akan memeluk, ketika tangan kekar itu menahannya. Tangan milik seorang lelaki bernama Arsel Oliver Jarvis. "Jangan sentuh aku!" desis Arsel dengan kesal. Ia melihat raut wajah tak suka ketika wanita itu tak bisa mendekatinya. "Aku mau memeluk kakak aku sendiri, apa itu salah?" tanya wanita itu dengan tatapan menggoda. Yah, ia suka sekali menggoda lelaki tampan ini. Sayang, balasan yang teramat dingin yang sering ia dapatkan atas rasa yang ia miliki sejak pertama kali menginjak rumah megah ini. Mendengar itu, Arsel menghempaskan kedua lengan wanita yang berstatus adik tirinya ini. Wanita yang bernama lengkap Deby Mariska. "Oh kasarnya dirimu kakak tercinta," bisik Deby pelan dengan senyum mengundang. Sayang berapa sensual dan menggiurkan pun tubuh Deby, tidak mempan bagi Arsel. Lalu Arsel masuk ke dalam rumah begitu saja, tak lupa dengan menabrak tubuh Deby, hingga gadis itu meringis. Tak lama Arsel mendengar suara yang dibuat merdu. "Hallo beb." Arsel mendengus kesal. Pasti gadis itu keluar hanya untuk mengangkat telepon dari kekasihnya. Berganti kekasih layaknya berganti kaos kaki. Langkah Arsel terus memasuki rumah megah itu. Rumah yang memiliki dua lantai dengan tangga yang melingkar elegan. Rumah yang dari catnya memakai warna kuning gading dan interior yang memperlihatkan jika pemilik rumah ini bukan orang yang sembarangan. Yah, siapapun tahu siapa Johan Oliver Jarvis. Salah satu dari jejeran pengusaha di negri ini, yang memiliki bisnis tak ternilai harganya. Hanya mereka tidak tahu jika Johan memiliki seorang putra yang enggan pulang dan melanjutkan bisnisnya. Arsel dengan segala pemberontakannya lebih memilih bisnisnya sendiri. Ternyata kehadiran putra satu-satunya keluarga ini sudah diketahui oleh si pemilik rumah. Sepasang manusia yang sebenarnya sangat enggan Arsel sapa kini menatap ke arahnya. Terlebih wanita yang ada di samping seorang lelaki yang ia panggil dengan sebutan Papa itu. Yah, sepasang manusia yang kini menatap Arsel itu adalah sepasang suami istri bernama Johan Oliver Jarvis dan Naya Mariska. Johan adalah ayah kandung dari Arsel. Sedang Naya adalah ibu tiri Arsel. Ibu kandung Arsel sendiri sudah meninggal dunia sepuluh tahun yang lalu. "Papa kira kamu sudah lupa pulang." Johan menyapa putra kesayangannya itu dengan senyum ramah. Tak peduli sekalipun tak mendapat balasan yang ramah. "Duduklah." Ia masih menyapa dengan lembut. Menghindari pertengkaran yang kerap terjadi di antara mereka. "Aku gak bisa lama, ada apa Papa menyuruhku kemari." Arsel menatap sekilas pada istri Papanya, sebelum menatap kembali pada Papanya. "Jarvis Corporation membutuhkan seorang pemimpin." Arsel mendengus. "Aku gak berminat." "Hanya kamu putra Papa, Sel. Gak ada lagi yang bisa meneruskan selain kamu." Arsel bangkit dari duduknya. Oke, jika tujuan ia dipanggil hanya untuk ini, sepertinya sudah basi. "Pikirkan lagi Sel." Johan menatap wajah putranya dengan penuh permohonan. "Aku sudah berulang kali berkata, aku tidak berminat." Arsel melangkah menuju keluar ruangan. Jangan bilang ia anak durhaka, ia sudah mau masuk ke rumah ini saja sudah bersyukur. Semua ia lakukan demi Papanya. Tapi kalau untuk melanjutkan bisnis sang Papa, dia keberatan. Dia akan tunjukkan jika ia mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Ia akan buktikan jika bukan harta kekayaan yang membuat dia membangkang selama ini pada Papa-nya. "Mau sampai kapan kamu bergelut di dunia malam? Apakah kamu tidak pernah memikirkan untuk membangun sebuah rumah tangga?" Langkah kakinya berhenti. Memang berhenti, tetapi bukan untuk membalik badan. Melainkan untuk mengeratkan genggaman telapak tangannya. Ucapan Johan menyentuh sisi sensitif dalam hatinya. "Aku tidak akan menyakiti hati wanita manapun dengan sebuah pernikahan." Setelah itu ia melangkah pergi. Membuat Johan kembali mengusap pelipisnya. Kembali ia gagal merayu anaknya. Harusnya Johan sadar, putranya terlalu keras kepala. Arsel tidak akan pernah mau berdamai dengan masa lalunya. Ingatannya ketika Mamanya meninggal masih jelas terekam. Ia membenci kelakuan Papanya yang tidak perlu menunggu lama, bahkan saat tanah di pemakaman Mamanya masih basah, Papanya memilih menikah lagi dengan mantan kekasihnya. Dan bagusnya secara otomatis ia menjadi kakak seorang wanita genit bernama Deby. Ia tak menyukai langkah cepat Papanya dalam menikah. Ia menganggap Papanya telah melupakan begitu saja jasa Mamanya selama ini. Demi Tuhan, jika dalam waktu singkat tempat Mamanya di hati Papanya sudah tergantikan, jangan bilang Papanya selingkuh ketika Mamanya sakit-sakitan. Ketika keluar rumah, kembali ia berpapasan dengan Deby yang baru saja selesai menerima telepon. Kembali Arsel melihat senyuman menggoda yang di alamatkan pada dirinya. "Kamu gak menginap, kakak?" tanya Deby dengan suara dibuat sesensual mungkin. Ia bahkan tidak mempedulikan wajah ketus Arsel. Ia ingin sekali mendekat, tapi tak jadi ketika hunusan tajam terarah padanya. "Aku berharap Kakak sehat terus dan gak terkena stroke karena selalu emosi." Sindiran dari Deby tak Arsel pedulikan. Dengusan kesal terdengar sebagai jawaban atas perkataan Deby. "Bye-bye kakak ganteng, muachhh!" Bakti dan cinta dapat terhapus karena wujud yang tidak lagi bisa ditatap.Cinta ternyata hanya ada pada makhluk yang bernyawa, karena saat ia kembali ke pangkuan sang pencipta, mereka yang ditinggalkan akan mudah melupakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD