PART 12 - JANJI BERTEMU.

1997 Words
Rayhan menghembuskan napas. Tak tega juga mendengar pembahasan tentang anak kembali dibuka di hadapan sang istri. Siapa yang tidak ingin memiliki buah hati? Tapi jika itu yang selalu disinggung kedua orangtuanya dihadapan sang istri tentu membuat Rayhan jadi serba salah. "Ma, kami belum mau program bayi tabung. Lagipula usia pernikahan kami masih tergolong baru. Kami akan menunggu sampai Tuhan kasih dengan cara yang biasa, ya kan sayang." Melihat senyum suaminya, Khansa mengangguk. Itulah mengapa ia tak henti bersyukur bersuamikan Rayhan. Karena suaminya ini selalu mengerti akan apapun yang terjadi pada dirinya, termasuk membela di depan kedua orang tuanya. "Lagipula Khansa sedang sibuk juga dengan naskahnya yang baru, siapa tahu booming lagi kayak kemarin." "Oh ya? Kak Khansa buat naskah baru lagi?" Rika, adik Rayhan terlihat bersemangat. Mau tak mau Khansa mengangguk. Rayhan memang pintar mengalihkan pembicaraan. Kalau mendengar pekerjaan Khansa, Rika lah yang paling bersemangat. "Eh Ma, kemarin tuh teman-teman aku semua senang banget ketemu kak Khansa. Aku jadi bangga deh punya kakak ipar orang terkenal gitu. Ikutan terkenal juga he he he." "Memang kali ini naskahnya tentang apaan kak?" Rika kembali bertanya. Ia terlihat antusias sekali. Khansa menatap ke semua orang yang ada di ruangan ini. "Tentang wanita malam." "Maksudnya?" Kini Mama mertuanya yang bertanya. "Ya, aku mau angkat cerita tentang kehidupan salah satu wanita malam. Aku mau mengulas dan mengupas tuntas mengapa sampai ada wanita yang terjun ke dunia malam." "Wow keren. Kok bisa sih Kak cari ide kayak gitu?" Rita memperbaiki duduknya, memfokuskan pada kakak iparnya. Ia sering kali heran bagaimana cara kakak iparnya ini memiliki ide sehebat ini. "Ya, tiba-tiba saja ide datang pas itu lho Mas, ingat gak aku ketemuan sama teman-teman aku belum lama ini?" Khansa menatap suaminya. Rayhan mengangguk. "Di sana aku melihat pertengkaran suami istri, kayaknya si suami itu selingkuh deh. Makanya saat kejadian itu ramai banget. Disitulah ide itu muncul." "Idih, Kakak hebat amat sih. Cuma lihat orang berantem langsung jadi naskah." "Terus kamu sudah nulisnya?"Dena ikutan tertarik. Hilang sudah pembahasan tentang cucu. Ia memang tidak suka baca novel, tapi bangga juga saat kisah cinta putranya masuk dalam film layar lebar. Pujian banyak Dena terima dari temannya yang kalangan sosialita. Dan ia terharu sekali saat diajak nonton tayangan perdana bersama anak dan menantunya. Dia berdiri disamping Khansa dan semua tahu jika wanita yang tengah menjadi sorotan kamera adalah menantunya. "Belum banyak sih Ma, kan aku mau ketemu nara sumber dulu, mau aku wawancarai gitu. Biar lebih full tulisannya." Semua menganggguk. "Ih amit-amit ya, jangan sampai keturunan Mama terjerat wanita malam gitu." Dena bergidik. "Mama tuh paling jijik sama wanita kayak gitu. Rendah banget. Awas ya kamu Ray, jangan sampai macam-macam di luaran! Sudah punya istri jangan coba-coba selingkuh!" ancam Dena pada putranya. "Ya ampun Mama, Mas Ray mana mungkin sih. Orang pacar aja dulu belum punya. Tahu-tahu nikah sama Kak Khansa." Rika membela sang kakak. "Eh sembarangan ya," protes Rayhan. "Lah iya, memang kakak punya niat mau dekat dengan wanita malam? Gak kan? Mama aneh-aneh aja ih," ketus Rika. "Bukan apa Rika, kita ini keturunan baik-baik. Bibit bebet bobot keluarga kita jelas. Kalau gak jelas, gak mungkin Mama memilih Khansa menjadi menantu Mama. Karena Mama yakin Khansa anak dan dari keluarga baik-baik." "Nah kamu ini yang harus hati-hati, jangan asal bergaul apalagi pacaran. Di luar sana itu, tidak semua orang baik. Mama tuh ngeri, anak Mama cuma dua. Makanya Mama membatasi kamu bergaul. Mama ingin kamu contoh masmu, yang selalu nurut apa kata Mama. Perjodohan itu gak selamanya tidak baik. Yang penting kalian berasal dari keluarga baik dan keturunan baik-baik, pasti semua beres." Rika mendengus. Kenapa bahas perjodohan sih? Rika salah satu orang yang masih menolak perjodohan yang direncanakan kedua orangtuanya. "Tapi kan harus cinta juga Ma. Ya kali aku main dijodohkan saja. Cinta saja tidak." Dena menghembuskan napas. "Cinta-cinta!" "Lihat Masmu dulu sama Khansa, mereka dulu pake cinta-cinta gak, pas ketemu? Buktinya rumah tangga mereka akur dan bahagia." Sepertinya Dena tidak mau kalah dengan putrinya. Rika seketika menoleh pada kakak iparnya. "Kak Khansa kok mau sih menikah dengan Mas Ray? Kalian kan dijodohkan? Apa langsung klik gitu? Cocok?" Ditanya begitu, Khansa saling tatap dengan Rayhan dengan bibir tersenyum. "Kami begitu ketemu sudah klik kok. Ya kan Mas?" Rayhan tidak menjawab, tapi merengkuh istrinya dengan mesra. "Yup betul. Mas langsung jatuh cinta pada pandangan pertama." Mendengar penuturan suaminya, Khansa mengulum senyum. Rayhan tidak pernah malu menunjukkan rasa cintanya dihadapan siapapun. "Ih so sweet banget sih. Aku juga mau kalau begitu." Rika bertepuk tangan dengan wajah memelas. Sementara Rayhan hanya memutar bola matanya jengah. "Ya sudah, jadi kamu mau ya kalau besok-besok Mama jodohkan." "Ih Mama, nanti saja ah. Aku belum mau nikah!" Pembicaraan di d******i Rika dan Dena pada akhirnya. Sementara Papa Rayhan hanya geleng kepala. Sepanjang perjalanan pulang dari rumah mertuanya, Khansa banyak berdiam diri. Hingga mereka naik ke atas pembaringan. "Maafkan Mama ya," bisik Rayhan pada istrinya. Memeluk pinggang Khansa dari belakang dan mengecup puncak kepalanya. Khansa berusaha melupakan ucapan ibu mertuanya. Entah, ia semakin tidak nyaman jika ditanya mengenai kehamilan yang tidak kunjung datang. Entah jika usia pernikahan mereka sampai puluhan tahun, apakah mereka akan tetap bersama? Siapa tahu ibu mertuanya tidak sabar dan memaksa Rayhan untuk menikah lagi. Astaga! Sejak tadi pikiran Khansa mengembara tak tentu arah. "Gak apa Mas. Mama berhak kok memberi solusi begitu. Mungkin karena sudah sangat memiliki cucu." Khansa membalik badan dan menatap suaminya. Berusaha menunjukkan jika ia baik-baik saja. Tapi Khansa lupa, jika suaminya bisa membaca raut wajah Khansa sejak meninggalkan rumah kedua orangtuanya. Ia membelai pipi sang istri. "Percayalah, kita pasti akan diberi jika sudah tiba waktunya nanti." Anggukan kepala diberikan Khansa sebelum menyerahkan diri pada pelukan suaminya. Memejamkan mata sambil terus berharap semoga Tuhan berkenan memberikan satu nyawa di dalam rahimnya. ** Seorang wanita cantik duduk dengan penampilan elegan. Pakaian dan semua perhiasan yang dipakai menandakan ia wanita kelas atas, atau hanya berusaha agar terlihat seperti itu? Karena aslinya ia berasal dari keluarga sederhana yang sama sekali jauh dari kata mewah. Tapi demi hari ini, demi bertemu seorang wanita yang membuatnya teramat sangat iri luar biasa. Ia berusaha tampil elegan. Mengapa? Karena wanita itu sudah memiliki sendok emas sejak dia lahir. Tidak seperti dirinya, yang harus mengalami kegetiran dalam hidup. Mendendam pada takdir pun percuma, ia hanya harus menjalankan semuanya bukan? Menyesalipun tak akan merubah semua nasibnya. Ibarat dia sudah jatuh tercebur ke dalam sumur yang berminyak, tubuhnya sudah pasti licin. Mau dicuci dengan sabun paling wangi pun kulitnya pernah merasakan licinnya minyak. Ia hanya harus menutup kulitnya dengan pakaian indah, agar tidak ada orang yang mengenali dirinya, orang dari masa lalunya. Ia harus menghindar agar orang terdekatnya, agar mereka tidak terkena aroma minyak yang bisa membuat muntah walau hanya dengan menghirupnya. "Khansa Talita Rahma," bisiknya sambil menatap ponsel. Tampak wajah wanita cantik dengan lelaki yang pasti pasangannya. "Aku tak pernah bermimpi akan bertemu denganmu. Wanita yang teramat beruntung. Tapi kamu yang ternyata menghampiriku." Senyum misterius tersemat di sudut bibirnya. Matanya kian lekat menatap wajah yang memiliki kecantikan dari lahir yang diyakini tak memerlukan uluran tangan salon kecantikan manapun. "Apa yang sebenarnya kamu mau tahu Khansa?" Kini ia tahu apa kelebihan wanita bernama Khansa itu. Dalam keadaan normal pun, ia tak akan bisa bersaing dengannya. Kekehan pelan keluar dari bibirnya yang sexy. Kekehan syarat kesakitan yang ia pendam selama ini. "Yakin kamu mau tahu tentang hidup aku? Yakin kamu akan angkat aku dalam buku terbarumu?" Senyum yang semula tampak, perlahan pudar. Kilatan masa lalu yang menyakitkan kian terasa di dalam dadanya. "Kita lihat nanti Khansa. Apa yang akan terjadi, jika kamu tahu tentang aku." Tatapan mata wanita yang tak lain adalah Meisya menyipit. Debaran dalam dadanya semakin bertalu. Semoga ia sanggup bertemu wanita itu. Jari lentiknya yang dicat merah menyala, meraih gelas berkaki di meja, dan menyeruputnya pelan. Merasakan bagaimana cairan itu masuk ke dalam tenggorokannya. Ia sudah mengubur rasa sakit hatinya. Ia sudah tak lagi memiliki mimpi dalam meraih bahagia di hidupnya. Entah apa maksud Tuhan membuat drama hidupnya seperti ini, tapi Meisya yakin akan ada rencana yang sudah Tuhan susun untuk takdirnya. Jadi, ia hanya mengikuti semua takdirnya di dunia ini bukan? "Meisya?" Suara seseorang yang ia kenal menyapanya. ** Terkadang Arsel kesal, jika Papanya selalu mengatakan jika dunia malam identik dengan mata selalu terbuka saat orang-orang normal tidur. Jika itu benar, tentunya saat orang-orang normal yang Papanya katakan berkerja dengan normal itu memulai tugasnya, Arsel pasti tidur! Nyatanya saat ini, ia tengah berjalan memasuki sebuah hotel demi bertemu seseorang yang akan bekerja sama untuk membuka diskotik kembali. Boro-boro ia bebas tidur, saat pagi pulang jam empat ke rumah, ia hanya tidur beberapa jam dan sudah bangun lagi untuk membuat janji. Tidak semua pekerjaan dunia malam harus dilakukan selalu malam. Diskotik dan klub yang ia miliki sudah membuat rekening di dalam tabungannya membengkak fantastik. Arsel paling malas disebut membuka usaha haram. Hey, dia hanya menyediakan tempat untuk orang-orang yang lelah dalam menjalani hidup. Ia tidak membuka usaha yang bergerak dibidang perzinahan. Memang hanya tempatnya saja yang bisa orang melakukan perbuatan dosa? Bekerja di perusahaan bonafide pun, jika karyawannya itu korupsi, apakah tidak dosa juga! Dosa dan dosa, semua tergantung manusia itu sendiri. Dan ia tidak mau pusing dengan dosa mereka. Arsel tidak memaksa orang untuk menyukai bidang bisnis yang ia jalani. Ia berusaha menjalin hubungan dengan siapapun dan dari kalangan manapun, termasuk hubungan baik dengan wanita yang kini tengah duduk sendiri di restoran yang akan ia datangi. Melirik jam, masih ada waktu tiga puluh menit lagi untuk bertemu orang yang ia tuju. Sepertinya ia akan menyapa saja dulu temannya ini. Meisya yang duduk sambil menyesap minuman, mendongakkan kepala. Mata mereka bertemu dan senyum tercipta. Senyum yang biasa ketika bertemu di klub milik Arsel. "Kamu tumben di sini?" tanya Arsel, yang dijawab Meisya dengan kekehan. Lelaki itu duduk di depan Meisya tanpa izin. "Gak terbalik Sel, kamu yang tumben di sini? Gak tidur kamu? Atau mau aku temani?" goda Meisya yang tak patah semangat mendekati Arsel. Arsel berdecak, wanita ini selalu saja meledeknya. Tapi ia tak marah, justru menganggap Meisya sebagai sahabat yang sama memiliki pekerjaan malam dengan beda spesialis. Mereka berdua saling menghargai pekerjaan masing-masing, disaat orang lain memandang rendah pekerjaan mereka. "Aku ada pertemuan dengan kawan." Arsel melirik lagi jam tangannya. "Hmmm jangan bilang kamu buka klub lagi." "Betul." "Ya ampun Sel-Sel. Enak banget nanti yang jadi istri kamu. Sudah ganteng, tajir pula." "Ngeledek kamu? Mana ada yang mau punya mantu kayak aku gini." "Nah itu, Sel! Kenapa kita gak nikah aja sekalian, kita partner yang ok lho." Melihat seringai Arsel membuat Meisya mau tak mau terbahak. Jika orang lain memandang seperti itu, Meisya pasti tersinggung, tapi tidak dengan Arsel. "Serius, kamu ngapain di sini? Masa nyari pelanggan di sini? Siapa yang lagi kamu incer? Pejabat atau pengusaha muda?" Kini gantian Arsel bertanya dengan penuh selidik. Pasalnya, Meisya sering cerita pernah dibooking orang-orang penting, tapi dia merahasiakan nama mereka. Meisya hanya memutar bola matanya. "Rahasia." Arsel menyeringai tak terima. Bisa-bisanya dia serius ditanggapi begitu. Tak lama ponsel Meisya berbunyi. "Hallo." Arsel mendengarkan dengan teliti, walau percuma dia tidak mendengar apa-apa. "Oke, kita ketemu di sana." Meisya bangkit diiringi tatapan penasaran dari Arsel. "Kamu mau kemana?" "Mau wawancara." Mata Meisya berkedip satu. "Kamu mau ikut?" Melihat Arsel bergidik, Meisya terbahak. "Arsel, aku serius. Ada seorang wanita yang kabarnya penulis gitu, mau kupas tuntas kisah aku," terang Meisya. Mata Arsel menyipit tak percaya. "Masih gak percaya juga? Astaga! Kamu bisa datang ke kamar 4105. Wawancaraku di sana, dan barangkali kamu mau kenalan ama penulisnya? Aku yakin kamu akan suka dan mungkin jatuh cinta begitu melihat wajahnya. Karena dia secantik bidadari." Arsel menggeleng. Memang ada wanita yang bisa menggugah rasa dalam hatinya selama ini? Tidak, tidak ada! Kecuali wanita yang beberapa minggu lalu bertemu di klub malamnya. "Oke Arsel, see you next time. Ingat, kamar 4105. Aku kasih free kalau kamu datang ke sana. Aku di sana lama kok, maksudku, wawancaranya sih sebentar, tapi aku bisa kok luangkan waktu khusus untuk kamu." Ketika melihat Arsel hanya terdiam, Meisya mendekat. "Aku yakin kamu pasti ketagihan merasakan pelayanan aku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD