Eps 10

1055 Words
Jantung Keen tiba-tiba berpacu lebih cepat, hatinya sesak. Buru-buru ia turun, mengecek ponselnya yang ternyata sangat banyak panggilan yang tak terjawab tertera di layarnya. Sebuah notifikasi chat membuat gemuruh takut menjalar sampai kakinya. Chat yang di kirimkan Malik, Omnya. Keen, yang ikhlas. Ayah kamu udah gak ada. Bunyi pesan Malik. Sesaat ia hilang, seakan tak bisa mencerna arti kata -gak ada-.Keen bahkan masih berharap jika ayahnya hanya pergi biasa, bukan pergi selamanya. "Keen... Lo gakpapa, kan?" tanya Leo menepuk bahu Keen. "Gue pulang,yah. Kayaknya bokap gue ngambek deh. Makanya kirimin chat iseng kayak gini. Biasa bokap gue manja! hehehe..." sahut Keen hampir gila. Meski otaknya menolak, tapi jauh di relung hatinya mengerti yang terjadi sebenarnya. Sebuah firasat kuat, yang entah tak satupun manusia mengerti. Butuh waktu setengah hari untuk Keen pulang, sampai di rumah, keadaan begitu sepi, senyum harap mengembang di bibirnya. 'Tuhkan... pasti gak ada apa-apa' bathinnya bicara. Ia langsung masuk ke kamar ayahnya, Keen harus kecewa karena di sana hanya ada ibunya sedang menangis seraya memeluk foto suaminya. "Ma... Ayah mana, Ma?" tanyanya sambil melirik ke sekitar, memang rumahnya jauh lebih sunyi dan mencekam, Keen merasakaan perubahan itu seolah rumah ini telah kehilangan nyawanya untuk bahagia. Tapi ia tak ingin berasumsi buruk. "Ayah mana, Ma!" Kembali pemuda itu mengulang pertanyaannya, ia terjongkok tepat di paha Tika, Ibunya. Tika bereaksi, ia memeluk Kepala Keen masuk ke dalam dekapannya. "Keen... Keen...!" lirih Tika histeris, Keen semakin hilang arah, jiwanya melayang bebas. Airmatanya tumpah mendengar tangis pilu wanita yang sangat ia cintai. Tangannya juga melingkar ke pinggul Ibunya, memeluknya erat. "Gak bener kan, Ma. Ayah gak kenapa-napa, kan. Ma?!" tanya Keen penuh harap. Tika tak bisa menjawab, bibirnya keluh, tapi kepalanya mengangguk samar. Spontan Keen melepaskan pelukkannya ia terduduk di lantai yang dingin, sedingin reaksinya. Masih lekat di telinganya, ketika ayahnya meminta ia pulang, dan dengan angkuhnya ia menolak permintaan beliau. Yang nyatanya adalah permintaan sederhana di akhir hayat ayahnya itu. Seketika ia marah dengan dirinya sendiri, membenci sosoknya, ingin pergi tapi jelas saja tak mungkin. "Ayah kamu udah dima-kamin tadi pagi!" Suara Tika serak serta terbata-bata. "Apa?" Bahkan Keen tak punya kesempatan menatap wajah ayahnya untuk terakhir kalinya. "Makamin, Ma. Kenapa Ma?!" tanyanya gusar "Keen... Ayah kamu udah gak ada, Ayah udah dipanggil sama yang maha kuasa!" jawab Tika sedikit keras... Wanita itu tahu Keen mengerti, tapi reaksi bodohnya membuat Tika takut. "Gak mungkin, Ma. Ayah gak kenapa-napa kok, kemarin Ayah bilang mau nunggu aku pulang" sahut Keen meyakinkan, entah ia tengah meyakinkan siapa. "Nak, Ayah kamu emang udah gak ada, Ayah kamu meninggal kemarin malam, tepat sehabis isya. Setelah Ayah kamu telepon kamu, tiba-tiba dia ngerasa sesak nafas, dan belum sampai rumah sakit. Ayah udah dinyatakan meninggal!" ucap Tika menangkup wajah anak laki-lakinya. Ia merasa butuh menjelaskan ke Keen. Meski rasanya begitu sakit mengulang kenangan itu. "Ayah bohong, Ma. Ayah bilang mau nunggu aku. Ayah bilang mau lihat aku jadi seorang Dokter...!" sahut Keen sambil menggeleng. "Cukup Keen, jangan terus nyakitin diri kamu sendiri. Terima kenyatan Ayah kamu udah meninggal!" bentak Tika sangat emosional. "Gak... gak mau!" sahut pemuda tujuh belas tahun itu. Ia lari keluar rumahnya, langkahnya kalap. Seakan mencari jawaban atas kegelisahan hatinya. Keen POV. Mendengar berita itu membuat tubuhku membeku, Serasa terjatuh dari tebing yang curam. Tidak mengalami patah tulang, tapi hati ini hancur tak berimbang. Aku yakin, aku baik-baik saja. Tapi perasaan hati ini penuh luka dan cedera. Apa ini? bagaimana bisa aku menanggung semua, rasa rindu serta rasa bersalah yang tercampur aduk jadi satu. Menangis? seandainya lautan airmataku dapat mengembalikan waktu satu detik saja, maka aku pastikan aku akan melakukannya. Tapi aku sadar hal itu tak akan pernah terjadi. Hidup juga di penuhi dengan hal-hal yang hanya bisa diterima, tanpa bisa dirubahnya bukan? Keen POV end. --- Telah lewat satu bulan semenjak ketuk palu yang membuat Una merasa hancur, bahkan sampai detik ini wanita itu masih mencoba mencari tahu tentang Emil lewat sosial medianya. Terlihat sekitar tiga hari yang lalu lelaki itu tengah posting kegiatannya bersama teman-teman bandnya di luar kota, Una jadi tahu jika Emil baik-baik saja. Terlebih foto terakhir yang membuat matanya memanas menahan tangis. Foto dimana Emil tengah memeluk mesra Siska dibawah pantulan sunset. Una hanya menghapus airmatanya pelan, meski sakit tapi matanya masih terus menatap seolah tak ingin berpindah haluan. Masih jelas terkenang, bagaimana tangan itu juga pernah merangkulnya. Saat pipinya bersandar didada Emil bersimpuh menenangkan rasa. Memang sebongkah hati tak bisa begitu cepat berpaling, tempat singgahnya lelaki itu. Rasanya dulu hatinya begitu kecil dan murni sampai Emil datang menawarkan cinta dan luka secara bersaman tanpa pernah memberi kesempatan Una memilihnya. Riwayat pesan mereka terdahulu, masih terus wanita itu baca. Mulai dari awal percakapan sampai akhir, begitu terus berulang hingga sampai ia mulai memahami, ia harus rela melepaskan. Menyadari jika harapan membina keluarga yang bahagia, hanyalah tinggal harapan. --- #Skip 5 tahun kemudian. Bad days lead us to good days. Seperti itulah, tak akan mengerti bahagia, tanpa memahami kesedihan. Kenangan buruk mengajarkan kita arti hidup, sedang memahaminya membuat kita tahu arti bersyukur. Kini Una mulai menata dirinya terlihat dari luar. Jika ia gadis yang tangguh dengan segala kesibukkannya menjadi asisten dosen. Tapi jika dilihat lebih dalam. Hatinya rapuh, ia bahkan mengalami L-Word phobia. Adalah rasa takut dalam diri sendiri karena pengalaman masa lalu atau kekhawatiran yang berlebihan tentang cinta terhadap pasangan. Wanita itu masih sangat trauma kembali dikhianati, dibuang lalu dilupakan begitu saja. Meski berkali-kali Romi meminta Una untuk memeriksakan mentalnya tetap saja Una mengelak, ia masih merasa dirinya baik-baik saja. "Mbak, aku khawatir banget sama Una. Ini udah lewat lima tahun sejak perceraian, tapi Una belum juga dapet pengganti Emil!" resah Romi. Ia bahkan mengusap wajahnya kasar. "Mbak juga gak tahu, Rom!" sahut Utami datar, ia sama putus asanya dengan Romi. Sangat ingin wanita itu membahagiakan gadis kecilnya menariknya keluar dari kubangan penyesalan. Tapi semua akan percuma, karena Una sendirilah yang tak ingin bangun dari "tidurnya". "Apa mungkin aku jodohkan Una dengan teman-temanku, Mbak?!" Ide Romi begitu saja. Apapun caranya. Ia hanya ingin kenangan buruk itu cepat berlalu dari pikiran Una. "Tapi Rom...!" desah Utami, takut seandainya lelaki yang dikenalkan Romi berakhir sama, menyakiti hati Una kembali. "Kita gak ada pilihan, Mbak. Aku pernah denger satu-satunya obat patah hati yaitu dengan jatuh cinta kembali. Aku mau Una segera melupakan lelaki itu, Una gak pantes Mbak terus meratapi cowok tidak berguna itu!" tekan Romi. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD