Eps 3

1056 Words
Pukul satu malam Una baru sampai di rumah Emil, tak ada kata sambutan, yang ada hanya tatapan malas dari Desi dengan anak mantu barunya itu. "Yuk, Sayang. Kita masuk kamar!" kata Emil sumbringah. Lelaki itu sudah begitu tak sabaran ingin merasakan malam pertamanya. --- Cahaya sinar mentari pagi dengan malu-malu memasuki dua kamar sejoli yang telah terbuai dalam gulungan asmara, setelah Emil berhasil mendapatkan keinginannya, meminta Una untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, lelaki itu tidur begitu pulas. Merangkul tubuh polos Una dalam dekapannya. Tak ada yang paling membahagiakan bagi Una, selain mengingat sikap Emil kepadanya semalam, semua kata cinta teruntai indah dari bibir lelaki itu, perlakuannya yang begitu lembut juga membuat Una berjanji akan setia selamanya pada suaminya itu. "Sayang, bangun," ucap Una yang sudah membalikkan tubuhnya menghadap Emil, seraya mengelus lembut rahang Emil. Menatap wajah tidur kekasihnya dengan perasaan damai. "Emm!" Hanya suara dengungan yang keluar dari bibir Emil, sepertinya ia masih terlena dalam mimpinya semalam. "Sayang... Sudah mau jam sepuluh!" seru Una, ia tertawa kecil melihat tingkah Emil. Tiba-tiba saja pintu kamarnya di gedor keras "Una... Bangun!" Suara nyaring Desi mengagetkan Una dan Emil. "Mama kenapa, Sayang?" tanya Emil kaget, Una hanya mengidikkan bahunya, karena ia juga tak tahu kenapa Desi marah-marah sepagi ini. "Ya udah kamu samperin Mama deh, aku masih ngantuk!" titah Emil langsung berbalik badan kearah satunya lagi. Una langsung berdiri, meski ia masih merasa perih luar biasa didaerah intinya. "Aaiiisshh... !" Gadis itu bergidik ngeri baru dipakai duduk saja, rasa sakitnya masih terasa. Una langsung masuk ke kamar mandi, Una memilih membersihkan dirinya sebelum memenuhi panggilan mama mertuanya Setelah keluar kamar mandi. Gadis itu memakai baju piyama bergambar boneka beruang di bagian dadanya. Dengan celana panjang sebagai bawahannya. Una memang belum sempat membongkar bajunya, ia hanya memilih baju yang nyaman ia gunakan. Sebelum keluar kamar, ia menyempatkan menengok Emil yang masih setia menempel pada kasur, kepalanya menggeleng. 'Mau sampai kapan Mas Emil tidur?' pikir Una. Una berusaha menutup pintu pelan, tapi kehadiran Desi membuat ia terjingket, kaget. "Enak,yah jam segini baru bangun. Berasa nyonya?!" sarkas Desi, Una menengok kiri dan kanan, apa betul kata itu ditujukan untuknya. "Iyah, Ma?!" sahut Una sopan, dengan mimik wajah penuh pertanyaan "Hah... Sudahlah, cepet cuci baju, tadi Mama udh ngrendem dua bak, kamu cuma tinggal cuci aja," titah Desi. Una kaget, biasanya di rumah ia hanya akan mencuci baju-bajunya karena Ibunya yang tak menginjinkan Una menyuci semua. Ia berjalan ke kamar mandi, matanya mendelik saat melihat tumpukkan cucian yang melihatnya saja sudah ingin membuat Una muntah. Ia mencari mesin cuci tapi ternyata tak ada, dan itu artinya ia harus menyuci manual. Una mencoba menyelesaikannya, percuma juga jika ia terus berdiri shock di sana, karena tak akan mungkin ada keajaiban yang membuat cucian tersebut bersih seketika. Sekitar lebih dari tiga jam, tapi cucian juga masih banyak yang belum ia cuci, tubuhnya begitu lelah. Ia hanya mampu menghela nafas seraya menghapus peluh disekitar pelipisnya. "Sayang... Sayang...!" panggil Emil, Una langsung mencuci tangannya demi memenuhi panggilan suaminya. "Iyah, Mas?!" "Kamu kemana, sih?" tanya Emil malas-malas khas orang baru bangun tidur. "Aku di belakang, Mas!" jawabnya sambil menunjuk kearah belakang, Emil menengok mengikuti arahan tangan Una. Dapur. 'Oh istri aku itu baru dari dapur. Apa Una habis masak?' pikirnya. "Ya udah kalau gitu siapin aku makan, aku laper!" titahnya yang langsung duduk dikursi makan yang ada didepannya. Una jadi bingung, makanan apa yang bisa ia siapkan untuk suaminya, ia sendiri bahkan belum mengisi perutnya sama sekali sejak pagi. Terlebih Una tak enak jika harus meng-geratak mencari makanan dirumah mertuanya. "Una...!" panggil Emil karena Una tak kunjung pergi. "Bentar,ya, Mas. Aku tanya Mama dulu!" Una berlari kecil kedepan, sangat tak ingin membuat Emil menunggu lama. Tapi sampainya disana, ia hanya menemui Farhanna adik iparnya. "Dek, biasanya Mama simpen bahan masakan di mana,ya?" tanya Una sopan, tapi tatapan menuduh Farhanna membuat Una diam. "Ya Ampun, Mbak. Masih pagi gini cari makan. Emang tahunya cuma makan ajahya." Perih, sakit dan keluh yang Una rasakan hinggap di rongga dadanya. Namun ia tetap mengulas senyum sambil mencoba memberikan pengertian pada Farhanna. "Bukan gitu, Dek. Tapi Mas Emil...!" "Una.. lama banget sih, kamu tuh suka,ya buat aku kelaparan!" teriak Emil dari dalam. Una semakin panik, antara ingin secepatnya memasak untuk suami tercintanya atau membela harga dirinya yang di lecehkan dengan tuduhan Farhanna "Udahlah, aku makan diluar aja," kata Emil yang sudah memakai jaketnya, Una ingin menggenggam tangan Emil, meminta untuk ikut makan, karena ia juga belum makan, terlebih mencuci membuat perutnya berontak minta di cukupi --- Jam berdetak begitu cepat, tak terasa hari semakin menjelang sore, jam tiga tapi tak ada satu pun makanan yang masuk kekerongkongannya, Una mulai menangis, entah untuk apa. Ia meraba perutnya yang terasa sakit, karena Una memang memiliki maag akut. Saat ia menyentuh kantong celananya, terdapat uang dua ribu rupiah, gadis itu tersenyum, diam-diam pergi ke warung sebelah hanya untuk membeli roti warung murahan. Ia pulang dengan binar bahagia, berharap roti itu bisa mengganjal perutnya, karena Una terlalu malu minta makan pada Desi. Perlahan ia membuka bungkus roti memakannya dengan hikmat dan nikmat, sesekali menghapus linangan air matanya, karena tiba-tiba Una menjadi begitu cengeng, sedih jauh dari Ibunya membuat gadis itu seakan rapuh. "Enaknya jajan sendiri!" Suara Farhanna mengagetkan Una, beruntung ia tidak melempar rotinya. "Udah numpang, pelit!" sarkas Farhanna yang pergi berlalu dari hadapan Una. Roti yang tadinya terasa enak sekarang bagaikan duri yang menancap di lidahnya. Tapi Una berjanji akan terus menyayangi keluarga Emil, karena itu sama saja artinya ia menghargai keluarganya sendiri. * Malam tiba, lelaki yang seharusnya menjadi tameng Una, nyatanya baru saja pulang. Langsung memeluk Una berharap malam ini, kembali bisa memuaskan hasratnya. "Mas.. Mas.. aku mau cerita!" kata Una yang masih terus dirangkul Emil, sesekali lelaki itu menciumi tengkuk Una sampai membuat gadis itu kegelian. "Apa sih?" tanya Emil malas-malas. Ia sudah memballikkan tubuh Una menghadapnya. Una membelai rahang Emil, terlihat rasa sayang yang teramat besar dari sorot matanya untuk lelaki itu. "Mas, kenapa sih kok kayaknya Farhanna gak suka sama aku?!" adu Una sedikit manja, berharap kata penghiburanlah yang ia dapatkan dari bibir Emil. "Udahlah, kamu jangan aneh-aneh di sini, suka banget sih bikin keributan!" tanggapan Emil ketus. "Bukannya aku bikin keribut, tapi emang Farhanna kayaknya gak suka sama aku!" bela Una mengekor Emil. Sebetulnya ia juga gak berharap Emil menegur Farhanna hanya pengertian lelaki itulah yang ia butuhkan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD