Ngambek

1220 Words
Bandara Internasional Lombok terlihat ramai dengan hiruk-pikuk penumpang yang mondar-mandir. Suara pengumuman penerbangan bergantian terdengar dari speaker, bercampur dengan obrolan penumpang dan suara koper yang bergesekan dengan lantai. Di salah satu sudut ruang tunggu gate nomor 12, Bening duduk dengan postur tubuh yang kaku. Wajahnya datar, matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang memperlihatkan pesawat-pesawat yang parkir di apron. Tangannya memegang ponsel, tapi tidak melakukan apa-apa—hanya menggenggamnya erat. Galang duduk di sampingnya dengan jarak sekitar dua kursi. Dia sudah mencoba untuk duduk lebih dekat beberapa kali, tapi Bening selalu bergeser menjauh tanpa mengatakan sesuatu. Akhirnya, Galang menyerah dan hanya duduk diam sambil sesekali melirik istrinya dengan tatapan penuh penyesalan. Sejak kejadian di lelang semalam, Bening hampir tidak bicara sama sekali. Dia tidak menjawab panggilan Galang, tidak membalas pesan, bahkan saat sarapan tadi pagi di hotel, Bening hanya duduk diam sambil memainkan makanannya tanpa nafsu makan. Galang sudah mencoba menjelaskan berkali-kali—tentang siapa Genta, tentang sejarah buruk mereka, tentang alasan dia menghajar pria itu. Tapi Bening hanya mendengarkan dengan ekspresi datar, lalu pergi begitu saja tanpa memberikan respons apapun. Dan sekarang, mereka terjebak dalam penantian yang sangat panjang. "Penumpang yang terhormat, kami informasikan bahwa penerbangan GA 452 menuju Jakarta mengalami penundaan selama dua jam karena kondisi cuaca buruk. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Terima kasih atas pengertian Anda." Pengumuman itu membuat beberapa penumpang mengeluh. Ada yang langsung menghampiri petugas ground staff untuk komplain, ada yang langsung menelepon seseorang dengan nada kesal. Tapi Bening... tidak bereaksi apapun. Dia hanya terus menatap jendela dengan tatapan kosong. Galang menarik napas dalam. Ini kesempatan. Dua jam tambahan untuk bisa bicara dengan Bening. Untuk menjelaskan semuanya. Untuk meminta maaf dengan benar. Sebenarnya, Galang bisa saja menggunakan private jet keluarga Wirasatya yang selalu standby. Mereka bisa terbang kapan saja tanpa harus menunggu atau terganggu dengan delay. Tapi Galang sengaja tidak melakukannya. Dia sengaja memesan tiket pesawat komersial. Dia sengaja memilih untuk terjebak dalam penantian ini bersama Bening. Karena jika mereka naik private jet, Bening bisa dengan mudah menghindar—duduk di ujung lain kabin, memakai headphone, atau bahkan tidur di sofa untuk menghindari percakapan. Tapi di ruang tunggu bandara yang ramai ini, di antara puluhan penumpang lain yang juga menunggu, Bening tidak punya banyak pilihan selain... ada di sana. Bersamanya. Galang menggeser duduknya satu kursi lebih dekat. Bening tidak bergerak, tapi dia juga tidak bergeser menjauh seperti sebelumnya. "Bening," panggil Galang pelan. Bening tidak menjawab. Matanya masih fokus ke arah jendela. "Aku tau kamu marah. Aku tau kamu kecewa sama aku," ujar Galang dengan suara rendah namun penuh ketulusan. "Dan aku nggak minta kamu langsung memaafkan aku. Tapi tolong dengerin penjelasan aku. Sekali aja." Hening. Galang menarik napas dalam lagi, lalu mulai bercerita meski Bening tidak menatapnya. “Genta Arganta… dia bukan orang baik. Dia pebisnis yang gemar memanfaatkan orang-orang yang sedang terdesak. Membeli aset berharga dengan harga murah dari mereka yang putus asa butuh uang, lalu menjualnya kembali dengan harga selangit demi keuntungan besar. Keluargaku pernah jadi salah satu korbannya. Dulu, saat perusahaan kami sedang krisis, dia membeli beberapa properti penting dengan harga yang tidak masuk akal. Begitu perusahaan kami bangkit, aset-aset itu langsung dijual kembali dengan harga berlipat.” Galang berhenti sejenak, memastikan Bening masih mendengarkan—dan meski ekspresinya datar, Galang bisa melihat mata Bening sedikit bergerak, menandakan dia masih mendengarkan. "Dan ternyata... dia juga yang beli kalung Mama. Waktu Papa lagi kesusahan, dia manfaatin situasi itu. Dia beli kalung berharga itu dengan harga yang pasti jauh lebih murah dari nilai aslinya. Terus kemarin, dia jual lagi di lelang dengan harga yang berlipat-lipat. Dia orang yang nggak punya hati nurani." Bening masih diam. Tapi nafasnya sedikit berubah—lebih cepat, lebih pendek. "Aku tau aku salah. Aku tau aku nggak seharusnya langsung menghajar dia tanpa kasih penjelasan dulu ke kamu. Tapi waktu aku liat dia senyum dengan sombongnya, waktu aku inget dia udah manfaatin keluarga kamu yang lagi susah... aku nggak bisa nahan amarahku," ujar Galang dengan suara yang mulai bergetar. "Aku cuma pengen melindungi kamu, Bening. Aku nggak mau dia sakitin kamu lagi, meski secara nggak langsung." Hening panjang. Lalu, akhirnya... Bening bicara. "Mas tau apa yang bikin aku marah?" Suaranya pelan. Datar. Tapi terdengar sangat lelah. Galang langsung menatap Bening dengan penuh perhatian. "Apa?" Bening akhirnya menoleh menatap Galang. Matanya berkaca-kaca, tapi tidak ada air mata yang jatuh. "Bukan karena kamu pukul dia," ujar Bening pelan. "Tapi karena Mas nggak percaya sama aku." Galang mengerutkan kening, bingung. "Maksudnya?" “Aku yakin Mas masih dendam padanya karena dia telah merebut Jenna, iya kan? Dan membelaku hanyalah alasan kesekian.” Galang terdiam. Kata-kata Bening menohok tepat di jantungnya. Lalu bening melanjutkan, “Kita memang menikah kontrak. Tapi, Mas sendiri yang membuat point jika diantara kita tidak boleh ada yang selingkuh. Tapi, kalau Mas sendiri masih punya—” “Aku sudah tidak mencintainya, Bening,” sahut Galang. “Hubungan kami telah berakhir.” Bening terkekeh miris. “Tapi perasaanmu padanya belum berakhir,” jawabnya. Air mata akhirnya menetes dari mata Bening. Dia cepat-cepat menghapusnya dengan punggung tangan. Galang merasa dadanya sesak. Dia ingin memeluk Bening, ingin menghapus air matanya, tapi dia tau sekarang bukan waktu yang tepat. "Bening, maaf—," ujar Galang dengan suara serak. "Kamu bener. Aku salah. Aku egois. Aku nggak mikirin perasaan kamu." Bening menghapus air matanya lagi, kali ini dengan tisu yang dia ambil dari tas. “Seharusnya aku yang meminta maaf, Mas—aku yang salah. Pernikahan kita sejak awal memang hanya sebatas kontrak perjanjian. Seharusnya aku tidak pernah menuntut apa pun.” Bening berdiri dari tempat duduknya. “Aku janji, mulai besok aku tidak akan merepotkan Mas lagi. Sampai harus menyusul ke Lombok.” Bening melangkah pergi menuju coffee shop yang berada di ujung ruang tunggu. Langkahnya tenang, tapi hatinya berantakan. Perutnya terasa perih—lapar yang sejak pagi dia abaikan hanya karena kesal pada Galang. Sekarang, rasa itu tak bisa lagi dipungkiri. Dia memesan segelas kopi panas dan sepotong roti isi, lalu duduk di kursi dekat jendela kecil. Bandara tetap ramai, tapi di sudut itu terasa lebih sunyi. Bening menggigit rotinya perlahan, mencoba menenangkan diri. Sekarang dia sudah berjanji pada dirinya sendiri—tidak akan kesal lagi. Tidak akan berharap lebih. Tidak akan merasa sakit hati, meskipun nanti Galang memilih kembali pada mantan pacarnya. Bukankah sejak awal semuanya hanya kontrak? Ponselnya bergetar di tangan. 📩 Papa: “Kenapa membeli kalung itu dengan harga semahal itu, Nak? Papa jadi sungkan dengan suamimu.” Bening terdiam cukup lama menatap layar ponselnya. Dadanya menghangat—bukan karena kopi, melainkan oleh rasa bersalah yang menyusup perlahan. Tadi, dalam perjalanan menuju bandara, dia sempat mengirim pesan pada Papanya. Menceritakan tentang lelang. Tentang kalung Mamanya yang akhirnya kembali ke tangan mereka. Jarinya bergerak pelan membalas pesan itu. 📤 Bening: “Nanti Bening ganti, Pa. Perusahaan kan sudah mulai bangkit. Hutang-hutang juga sudah lunas. Tinggal hutang kita pada Mas Galang.” Pesan terkirim. Bening menghela napas panjang. Hutang. Kata itu kembali menegaskan posisinya. Bukan hanya hutang uang—tapi juga hutang perasaan. Tanpa disadari, seseorang berdiri tak jauh darinya. Galang. Dia tidak langsung mendekat. Hanya berdiri beberapa langkah dari meja Bening, memperhatikannya dalam diam. Melihat istrinya makan dengan pelan, membaca pesan, lalu menunduk dengan ekspresi lelah yang membuat dadanya ikut nyeri. Untuk pertama kalinya, Galang benar-benar sadar. Yang paling menyakitkan bukan kemarahan Bening. Melainkan saat Bening berhenti berharap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD