Penolakan terhalus

1330 Words
Menikahlah dengan Khiya... dia gadis baik, berikan kenangan indah sebelum malaikat maut melamar ya." Farel menatap lekat ibunya. "Farel akan melakukan apa yang ibu inginkan." *** “Maafkan aku.” Wajah Farel seketika mendung. Khiya diam mematung, menatap dengan seksama Farel. Suaminya itu sangat pandai menyembunyikan raut sedih di balik senyum lebarnya tadi, selama akad dan resepsi berlangsung, bodohnya Khiya baru menyadari hal itu. Dan malam ini, sepertinya pertahan Farel runtuh. Berlama-lama Khiya mencoba menghentikan segala hipotesis yang bertebaran di kepalanya. Khiya mencoba mencari secercah kebahagiaan di wajah Farel. Tapi tidak ada. Secuil pun tidak Khiya temukan. Khiya harus mengerti satu hal ini. Hanya dia yang bahagia dalam arti yang Khiya pahami. Hanya Khiya. Farel—pria itu juga bahagia dalam artian berbeda. Ia tidak bahagia lantaran mendapatkan teman hidup melainkan bahagia karena merasa lega telah menunaikan tugasnya sebagai manusia. Mengasihani orang macam Khiya. Tugasnya telah selesai. "Aku tidak bisa mencintaimu, sekarang atau mungkin selamanya." Farel menghela nafas panjang. "Tapi aku juga tidak ingin melukai mu....," tatapan mata keduanya kembali beradu. Sorot iba mendominasi di sana. Tatapan Khiya mendadak sendu, ia tahu pria di hadapanya ini sedang dalam dilema. “Jangan meminta maaf, ini semua bukan salah siapa pun. Takdir yang diciptakan untukku memang seperti ini." Farel menatap makin dalam mata Khiya. Dapat Farel rasakan dengan jelas pancaran sendu dari balik mata teduh istrinya, seharusnya di malam pertama suami dan istri akan menghabiskan waktu bersama memberi cinta dan kebahagian, tetapi apa yang Farel lakukan ia malah mematahkan hati rapuh istrinya. "Maafkan aku....” Hanya kata itu yang lagi-lagi mampu terucap daru mulut Farel. "Jika ini memang takdirnya. Aku ikhlas. “ Susah payah Khiya menelan semua kekecewaannya. Farel tersenyum lembut, tidak sepenuhnya lembut. Ia hanya berusaha menghibur hati Khiya dan menenangkan hatinya sendiri. Hatinya berkali-kali mengutuk dirinya yang seperti orang jahat sekarang. "Kamu bisa tidur di situ, aku akan pindah di kamar sebelah. Jika kamu membutuhkan sesuatu jangan sungkan membangunkan ku." Akhirnya kalimat itu mampu Farel katakan. Ia melangkah keluar kamar. "Dan jangan lupa minum obat. " Farel berbalik, namun tidak untuk kembali. Khiya mengangguk dan tersenyum mengiringi kepergian Farel. Hatinya pedih. Namun sebisa mungkin ia tersenyum. Malam ini mungkin akan menjadi malam yang panjang baginya. Dan mungkin kegelapan akan menjadi suasana favoritnya sekali lagi. ***** “Lo udah nikah? “Mata Aliya membulat sempurna. Ekspresi wajah Aliya membuat Khiya ingin tertawa, tapi ia mencoba menahan tawanya. Khiya mengangguk, membenarkan. Wajah Aliya menyalak, namun terlihat makin lucu menurut kacamata Khiya. “Astagfirullah, kapan? di mana? Lo nyomot suami di mana? Ya Allah Khiya, gue tahu Lo jomblo tapi—“ “Apa sih Yak? “potong Khiya cepat, sebelum sahabatnya ini semakin ngawur dalam pra-duganya. “Aku nikah minggu kemarin. Dan Farel bukan pria comotan.” “Serius Lo? Farel bukan om-om kan? Dia bukan pria dengan kepala plontos, perut buncit, dan kumis tebal yang... ih gue merinding bayanginya,” kata Aliya plus dengan wajah ngeri dan tubuh yang bergidik. Khiya menggeleng-geleng, ternyata dugaannya salah. Isi kepala Aliya lebih kacaw dari yang Khiya duga. “Ayo jujur sama gue!” desak Aliya. Khiya terkekeh atas desakkan yang sahabatnya itu lontarkan. “Gak, Yak. Dia baik dan.... “ “Dan tampan? “ “Sholeh.” “Tampan juga gak? “desak Aliya lagi. Khiya mengangguk pelan. “ Jadi beneran nih Lo udah nikah? “ tanya Aliya lagi. “Iya, Yak. Ini fotonya.” Khiya mengeluarkan ponselnya. Menujukan foto pernikahannya dan Farel yang sengaja Khiya jadikan wallpaper. “Wah.. wah.. Parah lo, Khy.... “ Aliya geleng-geleng. Matanya masih fokus dengan layar ponsel di tangan Khiya. “Rejeki nomplok....” “Udah, udah. Jangan liatin suami orang. Dosa.” Khiya langsung menarik ponselnya, membuat mata Aliya kehilangan objeknya. Gadis itu ingin protes namun ia teringat hal lebih penting dari protes. “Meski suami Lo termasuk jajaran cogan.... hem, tapi tetap aja, gue marah sama Lo! Lo nikah dan Lo gak kabari gue! Gue marah tahu!“ Aliya membuang muka. Biasanya Khiya hanya perlu membujuk Aliya untuk menyelesaikan aksi ngambeknya itu. “Dua es alpukat...” tawar Khiya. Aliya sempat melirik namun hal ini rupanya belum ‘menggiurkan' bagi Aliya—si pencinta berat buah berbiji besar itu. “Jangan coba bujuk gue,” desisnya, tajam. Khiya memutar otaknya. “Dua es alpukat plus..... “ Khiya sengaja menggantung kalimatnya, membuat Aliya menunggu dalam ketidaksabaran. “Plus... semua action figure. Semua termasuk rare item.” “Ha? serius Lo, Khy? “ tanya Aliya tidak percaya. Pasalnya semua itu Khiya dapatkan dengan sangat sulit. Sangat sulit. Aliya ingat benar semasa SMA, Khiya bahkan harus menabung untuk mendapatkan itu semua. Khiya mengangguk, mantap. Mengidap penyakit lupus dan sudah menikah, entah kenapa membuat Khiya merasa lebih ingin menikmati hidupnya sendiri. Ia sudah berhenti dari semua hal yang mampu menyita waktunya. “Serius. Asal kamu gak marah lagi.” “Hem... gue marah tahu... karena gue...udahlah, gue kesel kalo ingat Lo nikah tapi gak kasih tahu gue. Gue kan sahabat Lo! Dan Lo bilang gue udah kayak keluarga Lo. Keluarga satu-satunya yang Lo punya. Lo lupa? Masa giliran nikah, Lo gak kasih tahu gue sih!” protes Aliya. “Tega Lo, Kya.” Sorot mata Aliya menyalak. “Iya... iya, maaf. Insyallah gak gitu lagi, janji.” Khiya menjulurkan jari kelingking. Aliya membalas uluran jari Khiya. Menautkan jari kelingking mereka menjadi bersatu. “Hem. Awas ya Lo di ulang lagi.” “Iya.” “Terus... “Aliya menatap Khiya dengan senyum yang sudah Khiya pahami. “Oke. Pesan aja dua jus alpukat,” kata Khiya membuat Aliya tersenyum lebar. Gadis itu kini sibuk memanggil pelayan dan memesan minum favoritnya itu. Khiya tersenyum melihat tingkat sahabatnya itu. Setidaknya saat bersama Aliya, Khiya merasa normal kembali. Setelah dua minggu tidak bertemu Aliya, Khiya akhirnya kembali bisa menikmati hari bersama Aliya, di kedai favorit mereka. “Lo masih utang satu cerita sama gue. Lo harus ceritain gimana pernikahan itu terjadi? “ Pertanyaan Aliya membuat Khiya terdiam sejenak. Tangannya malah sibuk memainkan sedotan di gelas. “ Semua terjadi begitu cepat.... bertemu lalu menikah. Hanya itu.” "Jadi lo di jodohi? " Khiya kembali terdiam sejenak. “Takdir yang telah menjodohkan.” “Maksud Lo? Ayo dong, gak usah segala bahasa sastra Lo keluarin !” “Farel menawarkan tangannya karena... “ “Karena Lo menderita penyakit lupus? “sambung Aliya. Khiya mengangguk pelan. “ Kenapa Lo setuju! Bukannya Lo gak suka dikasihani? “ “Takdir. Mungkin itu yang namanya takdir.” "Gile lo. OMG, gue gak abis pikir sama Lo, Kya," kata Aliya histeris. Khiya terkekeh pelan, Aliya memang tidak ingin repot-repot menelan basa-basi demi menjaga perasaan Khiya. Dan itu hal yang Khiya suka dari sahabatnya ini. Jujur apa adanya. " Apa karena Lo cinta sama dia? " "Mungkin,” jawab Khiya ambigu. "Dan dia? " Khiya membisu, Aliya mulai mencari jawabannya sendiri. "Biar gue tebak. Dia gak cinta sama Lo? Dan dia terpaksa nikah sama Lo?" Khiya mengangguk pelan. “Tapi dia baik, Yak." "BAIK KATA LO! OMG. KENAPA KISAH LO KAYAK NOVEL- NOVEL PICISAN YANG GUE BACA SIH, KYA!! "teriak Aliya seolah menyadarkan Khiya. Khiya menghela nafas. Setidaknya cerita di novel akan mengambarkan hal yang jelas. Ada perasaan yang di perjuangankan baik cinta atau benci sekalipun. Semua itu akan menghasil interaksi keduanya. Setidaknya itu lebih baik, ketimbang interaksi semu Khiya dan Farel dalam menjalani biduk rumah tangga. "Biar Gue tebak kisah cinta Lo. Awalnya dia benci samo Lo, kasar sama Lo, jahat sama Lo, lalu lama-lama dia cinta sama Lo. Dia mulai punya rasa sama Lo. " Diam-diam, Khiya mengaamiini perkataan Aliya. Khiya harap Farel membencinya ketimbang mengasihaninya. Khiya rasa ini menyakitkan. "Terus kalian akan hidup bahagia." Kata Aliya, menerawang jauh. Senyum terukir di wajah gadis berjilbab biru modis itu. Khiya tersenyum tipis. Terhadap khayalan yang terlalu melambung tinggi. “Kayaknya gak gitu deh Yak, kisah cinta ini gak pernah hidup atau pun mati. Semua akan terus seperti ini. Flat....Semu." “Tidak ada rasa benci di antara kami, dia baik. Hanya saja dia tidak bisa menujukan jalan menuju cintanya. Saat ijab kabul berkumandang sepertinya dia telah menutup semua jalan menuju hatinya, termasuk jalan untuk ku.” "Maksud lo? Gue gak paham, serius!” protes Aliya. “Otak gue gak secermelang otak Lo. Jadi pliss deh, jangan terlalu banyak kata yang bikin otak gue harus kerja ekstra. Gue udah puyeng sama segala hiruk pikuk skripsi. Jadi plis....kita ngomong selayaknya gadis normal. Oke? “ Khiya tersenyum. “Oke. Kamu gak ngerti di bagian mananya? “ “SEMUANYA. Gue gak paham. “ “Farel gak benci aku. Ataupun cinta. Farel hanya iba. KISAH SELESAI.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD