Perdebatan Sengit

1335 Words
Pak Gio dan Opa Alvin masih bersitegang dan belum ada tanda-tanda akan berakhir dalam waktu dekat. Ini sudah pukul 12 malam, seharusnya salah satunya mengalah dalam mengambil keputusan, nyatanya dua-duanya tetap kekeuh mempertahankan egonya. Pak Gio tak memberikan izin pada putrinya menginap karena besok bukan akhir pekan. Sementara Opa Alvin ingin cucunya menginap dan bersedia mengantar ke kampus esok hari. Mereka merasa memiliki hak untuk membawa Naura. Hingga selalu memperdebatkan masalah yang itu-itu saja. Kalau bukan soal menginap ya— mengajak liburan gadis itu. Sebagai seorang Ayah, Pak Gio sangatlah posesif. Tidak mudah memberi izin pada putrinya menginap maupun pergi meskipun dengan Opa-nya sendiri. “Kamu ini sama orang tua membantah terus,” omel Opa Alvin. “Sekali-kali ngalah dong. Lagian tiap hari sudah tinggal sama Kakak,” lanjutnya lagi. Masih dengan wajah menahan kesal. Sementara Pak Gio tidak peduli dengan omelan dari Papinya. Malah asik memakan nasi kucing dan gorengan yang ada di depannya. Naura dan Dimas sejak tadi hanya menjadi pendengar setia. Lebih memilih cari aman ketimbang menjadi sasaran kemarahan dua orang tua di depan mereka. “Pokoknya malam ini Kakak akan menginap di rumah Opa,” putus Pak Alvin. “Gak boleh! Sesuai kesepakatan, Kakak hanya boleh menginap di akhir pekan, itupun jika aku tidak mengajaknya berlibur,” sahut Pak Gio. Opa Alvin bersungut-sungut mendengar jawaban menyebalkan dari putranya. Minggu kemarin cucunya dibawa pergi hingga beliau harus membatalkan rencana berlibur ke villa. “Jadi, Naura bobo dimana malam ini? Bunda tanya nih—” ucap Naura. “Rumah Papa.” “Rumah Opa.” Pak Gio dan Opa Alvin saling pandang dan melempar tatapan tajam setelah menjawab pertanyaan Naura. Kemudian keduanya pun mendengkus bersamaan. “Tuh ‘kan— gak bakal selesai sampai besok,” bisik Naura pada Dimas. “Kalau begitu kamu saja yang putuskan mau pulang kemana. Terus minta maaf dan berilah alasan yang masuk akal. Aku sudah ngantuk dan badanku lelah. Pengen cepat pulang ke kosan.” Dimas selalu bijaksana dan tak gegabah dalam mengambil keputusan. Sebelum menyela perdebatan antara Papa dan Opa-nya, Naura berdehem cukup keras lebih dulu, hingga keduanya terdiam dan menatap ke arah gadis itu. Naura meringis— saking gugupnya sampai tak sadar mengaduk wedang uwuh sampai berbunyi nyaring. Keputusan yang akan diambilnya pasti membuat kecewa Opa-nya. Tapi apa boleh buat. Besok jadwal kuliahnya sangat padat. Dan, semua buku-bukunya ada di rumah kedua orang tuanya. “Kakak mau menginap di rumah Opa ‘kan?” Opa Alvin tersenyum lebar. Yakin sekali jika sang cucu akan memilihnya. Gelengan kepala Naura membuat senyum Pak Gio terbit. Lalu beliau mengangkat sebelah alisnya saat kedua matanya bertatapan dengan Papinya. “Kita pulang sekarang,” ajak Pak Gio. “Bunda pasti sudah menunggu dengan perasaan cemas.” “Kamu pikir Mami tidak seperti itu. Bahkan beliau sudah merindukan cucunya. Tapi— kerinduannya harus diperpanjang karena sikap posesif putranya,” sindir Opa Alvin. “Sepertinya Papi melewatkan sesuatu. Mami dan Siva sering makan siang juga belanja bersama. Keduanya bahkan selalu mengajak Naura. Itu berarti kerinduan yang Papi katakan tadi berkadar 2 percent saja,” ungkap Gio dengan senyum penuh kemenangan. Naura menepuk keningnya. Baik Papi maupun Opa-nya masih belum ada yang mengalah. Sedangkan Dimas telah menguap berkali-kali. Matanya pun mulai berair. “Ai— kamu ikut mobil Papa saja ya. Jangan naik motor dalam keadaan mengantuk!” “Jika, Kakak memilih pulang ke rumah Papa setidaknya biarkan Dimas menemani Opa ngobrol hingga dini hari. Lagipula kami masih harus membicarakan mengenai kerjasama pembuatan kebun sayur.” “Kasihan Dimas, Opa— lihat tuh, matanya sudah memerah. Dari tadi nguap terus karena sudah mengantuk.” Opa Alvin tidak membiarkan Dimas pulang. Malam ini beliau akan kesepian jika pulang ke rumah. Karena Oma Sarah sedang berada di luar kota bersama teman-temannya menghadiri acara amal. “Biar aku yang menemani Opa. Kamu pulanglah segera. Besok ada kelas pagi, jangan sampai telat datang ke kampus.” Naura langsung menurut dengan Dimas. Malam ini— biasanya dia selalu menjadi pembangkang setiap kali disuruh pulang dari toko cat. *** Opa Alvin memesan wedang ronde setelah anak dan cucunya pamit pulang. Beliau menjelaskan alasan menahan Dimas agar tak pulang lebih dulu. Dia pun mengerti. Lalu memutuskan untuk menemani Opa Alvin hingga bosan berada di emperan malioboro. “Gimana skripsinya?” “Masih jalan ditempat Opa. Kebetulan saya dapat dosen pembimbing yang sangat sibuk jadi sulit untuk ditemui.” “Apa itu menjadi alasan kamu pindah kosan?” “Salah satunya itu. Namun ada alasan yang lain.” “Bolehkah Opa tahu alasan utama yang membuat kamu pindah kosan yang jaraknya jauh dari toko cat?” Dimas mendongak ke atas. Malam ini langit malam bertaburan bintang dan bulan bersinar dengan terang. Meskipun begitu angin tetap berhembus kencang. Bagi orang yang tak memakai pakaian panjang dan tebal pasti akan menggigil. “Naura sering terlambat masuk kelas karena terjebak macet. Bebal sekali gadis itu jika diberi tahu,” terang ambigu Dimas. Opa Alvin langsung paham maksud dari perkataan lelaki muda nan tampan di depannya. “Kamu mengorbankan diri demi kenyamanan Naura?” “Kurang lebih seperti itu Opa. Mau gimana lagi? Naura pasti akan main ke kosan saat menunggu jam kuliah siang dimulai. Jarak kos lama dengan kampus membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit jika tidak macet. Kasihan jika dia harus bolak-balik menembus kemacetan.” “Secinta itukah kamu dengan cucu Opa?” Opa Alvin tipe yang selalu blak-blakan ketika bicara. Hampir mirip dengan Pak Gio. Bedanya Pak Gio tak pernah menanyakan perasaan Dimas pada Naura. “Sepertinya belum saatnya kami membicarakan perihal asmara. Masih banyak cita-cita yang harus diraih, juga umur masih terlalu kecil,” jawab Dimas. “Alasan yang kamu gunakan terlalu aman. Padahal Opa ingin mendapatkan jawaban yang lebih menantang lagi.” Opa Alvin terkekeh pelan, lalu menyeruput wedang ronde, hingga membuat tubuhnya terasa hangat. Jawaban yang keluar dari mulut Dimas memang benar adanya. Kedua alasan itu menjadi faktor terpenting dalam kehidupannya. Lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang layak adalah tujuan Dimas. Toko cat miliknya sudah berkembang dengan baik dan keuntungan setiap tahunnya meningkat. Pundi-pundi yang telah dihasilkannya dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan juga memenuhi tabungannya. Hingga tabungan milik kedua orang tuanya masih banyak dan tidak dipakai lagi. “Apa kamu masih sering mengusir Naura?” Opa Alvin sungguh penasaran dengan perasaan Dimas. Memiliki kesempatan untuk bertanya dengan leluasa tak mungkin dilewatkan begitu saja. “Saya kesal jika ada pelanggan yang sengaja bertanya padanya. Padahal tujuannya bukan membeli cat melainkan mendekati Naura.” Opa Alvin mengangguk-anggukkan kepala. Beliau kini tahu bagaimana perasaan Dimas pada cucunya. Dan hatinya langsung terasa lega. “Bukankah klien Naura sering menggodanya. Ada juga yang sengaja memesan lukisan beberapa kali hanya untuk mendekatinya.” “Soal pekerjaan saya tidak akan ikut campur. Pasti Naura mampu membedakan klien yang membutuhkan lukisannya dan klien yang sengaja ingin dekat dengannya.” “Yakin sekali— lalu bagaimana dengan Astar?” “Bukan sebuah masalah yang besar. Lelaki seperti itu sangat mudah untuk disingkirkan. Kalau dia tidak mengganggu lebih dulu, saya juga tak akan membuat perhitungan dengannya.” “Lawanmu bukan hanya Astar melainkan kedua orang tuanya juga.” "Saya tidak akan menyerah begitu saja." “Minumlah dan habiskan— setelah itu, Opa akan mengantarmu pulang ke kosan. Motor mu akan dibawa oleh anak buah Opa.” Opa Alvin sengaja menjadi kompor. Sayang sekali Dimas memiliki pengendalian diri yang sangat baik. Karena sudah mengantuk Dimas menurut perintah Opa Alvin. Ketimbang celaka di jalan akibat mengantuk, lebih baik dia menumpang mobil mewah. Toh— motornya juga akan diantar sampai kosan. Isi mangkok wedang ronde yang ada di depannya tinggal sedikit. Uapnya telah menghilang pertanda isinya telah dingin. Sesuai perintah Opa Alvin, Dimas bergegas menghabiskannya. Dengan sekali tenggak wedang ronde ludes tak tersisa. Kini mulutnya penuh sampai tidak bisa menjawab pertanyaan Opa Alvin. Hingga beliau bertanya lagi dan Dimas langsung tersedak ronde tak belum dikunyah-nya. “Uhuk … uhuk,” Dimas terbatuk sambil menepuk-nepuk dadanya. Opa Alvin menepuk-nepuk punggung Dimas. Bukannya merasa bersalah justru tertawa lebar. “Jawab saja yang jujur malah tersedak begini. Kamu ini unik sekali, Nak—”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD