12. Kebohongan

1529 Words
Ada hal yang paling menyebalkan bagi Zio selain situs plus-plus diblokir, yaitu menemui rektor universitas dimana ia menuntut ilmu. Kemarin ia mendapat surat panggilan orang tua karena sudah tiga kali ketahuan menonton video dewasa sewaktu pelajaran. Alhasil orang tuanya pun dipanggil untuk menghadap dan Zio lebih memilih Zarel untuk menghadap rektor. "Wah, ternyata sekolah di bumi banyak gadis-gadis cantik! Kalau seperti ini aku mau sekolah susulan!" Zarel tampak terkekeh dengan mata mengedar ke sekeliling. "Benar, ayah. Apalagi gadis-gadis dari jurusan tata rias, banyak yang cantik dan juga sexy." Zio ikut terkekeh, "Tapi ayah, bagaimana dengan ibu?" "Ah, kau ini. Aku hanya bercanda! Ibumu tetap menjadi yang nomor satu. Only one, two in one, three in one." ucap Zarel absurd. Tangan pria itu merangkul bahu Zio selayaknya teman biasa, bukan seperti ayah dan anak. "Ini sepatu mahalku apakah harus dilepas?" Zarel bertanya ketika mereka berdua sudah sampai di depan pintu ruang rektor. "Tidak perlu, ayah. Nanti sepatumu bisa dicuri, disini banyak maling! Termasuk aku, bedanya aku maling hati perempuan!" ujar Zio diakhiri dengan tertawa garing. "Ck, dasar kutu gorila!" "Iya, iya, p****t kudanil!" Zio membuka pintu dan di depan meja rektor, sudah ada sang rektor yang ternyata sudah menunggu kedatangan mereka. Rektor itu berdiri dan menyambut Zarel dengan sopan. "Selamat datang, sir. Silahkan duduk!" Tanpa berkata apapun, Zarel segera duduk di kursi dengan Zio yang ikut duduk di sebelahnya. Dihadapan mereka, sang rektor yang berusia sekitar 50 tahunan itu mengambil sebuah berkas dari dalam laci. "Tentunya anda sudah tahu mengapa saya memanggil anda kemari. Dilihat dari catatan dosen-dosen, anak anda Zio ini sudah sering kali terlambat masuk kelas, membolos, melawan dosen, dan tidur sewaktu pelajaran. Juga kemarin Zio tertangkap basah sedang menonton video yang tidak senonoh." "Dih, siapa suruh pelajarannya bahas masalah alat kelamin, fertilisasi, sama apalah itu. Aku kan jadi terangsang!" jawab Zio terlalu frontal. "Benar. Lagipula Zio sudah berumur 20 tahun, terus apa masalahnya?" Dan dengan santainya Zarel malah membenarkan perbuatan Zio. Mr. Ferdinand, sang rektor tampak tak bisa menyembunyikan ekspresi kagetnya. Ia kira dengan mengadukan perbuatan Zio kepada ayahnya maka pria itu akan memarahi Zio, tapi ini malah? Berdehem sekilas, Mr. Ferdinand berkata "Tapi tetap saja itu tidak boleh karena Zio menonton disaat pelajaran tengah berlangsung. Jika terus-menerus seperti itu, Zio bisa ketinggalan materi, sir." Kini Zarel malah terkekeh geli dan menyilangkan kedua kakinya, "Ah, tidak apa-apa ketinggalan materi. Zio itu anaknya sudah pintar sejak lahir, otaknya jenius plus-plus sama seperti ayahnya ini." "That's true!" Zio menyetujui ucapan Zarel dan mereka berdua pun ber-high five. Mr. Ferdinand mulai merasa tidak nyaman. Pria paruh baya yang mengenakan kacamata itu membenarkan posisi duduknya sembari melihat berkas berisi nilai harian Zio. "Tapi, sir. Catatan nilai ulangan harian dari Zio nilainya tidak ada yang lebih baik dari C. Bahkan untuk mata pelajaran wajib, Zio ada yang mendapat nilai E." "Ah, kau ini. Itu saja tidak tahu!" Zarel mengusap dagunya sekilas, "Zio itu sengaja mengalah supaya teman-temannya mendapat peringkat bagus nanti. Jadi Zio seharusnya mendapat pujian karena perilakunya yang baik dan juga tidak sombong!" "Ya, betul itu. Lagipula kalau aku mengeluarkan kemampuan otak jeniusku yang sebenarnya, nanti anak-anak pasti berbondong-bondong mau menyontek jawabanku." Senyuman yang sedari tadi terukir di wajah Mr. Ferdinand langsung luntur seketika. Pria itu mendengus kasar ketika mendengar ocehan ayah dan anak yang sama sekali tidak ada bedanya. Niatnya hanya ingin membuat Zio jera dan menyadari kesalahannya, tapi ini malah berbanding sebaliknya. Pantas saja kelakuan Zio sedikit abnormal, ternyata ayahnya perilakunya juga sama-sama abnormal. "Kalau begitu saya putuskan karena pelanggaran yang diperbuat oleh Zio, dia akan saya skors selama tiga hari!" "YES!!" Diluar dugaan, Zarel dan Zio kompak bersorak gembira. Bahkan Zio malah meminta nambah. "Hanya tiga hari, sir? Tidak satu minggu sekalian?" Mr. Ferdinand tak menjawab pertanyaan dari Zio dan malah memijit pelipisnya bingung. Seharusnya jika seorang murid mendapat skorsing, pasti dia akan merasa sedih dan menyesal. Tapi kenapa ini malah terlihat sangat gembira?! "Wohoo, kita bisa menghabiskan waktu bersama untuk menonton video xxx!" "Benar! Ayo kita nonton!" Zarel pun merangkul Zio dan akhirnya berjalan keluar dari ruangan rektor. Meninggalkan Mr. Ferdinand yang menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. -----—----------------------------------- "Ahk, sakit!" Pipi Thea menggembung dengan bibir mengerucut kesal. Tangannya terus berupaya menangkis tangan Nio yang ingin mencubit pipinya lagi. Sedari tadi kakaknya itu selalu saja mengganggunya yang sedang kesal setengah mati dengan Tiffany. "Kalau begitu senyum, jangan cemberut!" Nio terkekeh ketika berhasil mencubit kembali pipi Thea hingga gadis itu mengaduh. "Ish, Kak Nio menyebalkan!" Thea mengambil guling di dekatnya lalu memukulkan benda itu kepada Nio. Guling? Ya, ia sedang berada di kamarnya sekarang. Setelah  bertengkar dengan Tiffany tadi, ia langsung pergi ke kamar dan menumpahkan emosinya disini. Dan untungnya, Nio yang baru pulang dari universitas lewat di depan kamarnya dan langsung menghiburnya. "Tapi lebih menyebalkan Zio daripada Nio, bukan?" Thea tak menjawab dan hanya merengut karena perkataan Nio memang benar adanya. Tapi Thea tidak memusingkan hal itu. Pikirannya kini masih dikuasai oleh perasaan kesal sekaligus benci kepada Tiffany. Gara-gara perempuan itu, Gerald jadi membentaknya! "Kenapa diam?" Tanya Nio sambil menarik pelan hidung Thea yang merah akibat terlalu lama menangis. "Aw!" Thea spontan mengelus-elus hidungnya dengan mata menatap sebal kepada Nio. "Kak Nio!" Nio kembali terkekeh kecil lalu membelai rambut Thea, "Katakan, sebenarnya kenapa kau menangis?" Ekspresi Thea langsung berubah. Wajah sinis Tiffany dan suara bentakan dari Gerald langsung memenuhi pikirannya. Air mata kontan saja langsung meluncur bebas dari pelupuk matanya dan akhirnya ia pun menangis kembali. Dan Nio yang melihat hal itu langsung menarik Thea ke dalam pelukannya dengan wajah kebingungan. "Hiks.. " Thea mencengkeram erat lengan Nio dengan menumpahkan air matanya pada d**a bidang lelaki itu. Ia sama sekali tidak peduli jika kemeja kotak-kotak milik kakaknya itu menjadi basah atau bahkan terkena ingus. Toh, Nio tidak akan memarahinya. "Kenapa Thea malah menangis lagi? Nio salah bicara ya?" Mata Nio mengerjap bingung dengan tangan yang tak berhenti mengusap punggung Thea berusaha menenangkan. Thea menggelengkan kepalanya di d**a Nio. Ia mengangkat wajahnya hingga mata sembabnya dapat terlihat, menelan salivanya dengan susah payah, ia pun berkata hendak menjelaskan "Tadi Tiff--" "Thea, kakak pinjam char--Astaga! Ada adegan plus-plus!!" Zio tiba-tiba muncul dari balik pintu dan langsung membelalak terkejut saat mendapati Thea yang duduk di pangkuan Nio dan mereka berdua berpelukan. Dan Zio sekarang menyesal kenapa tidak membawa ponsel untuk mengabadikan momen ini. "Tidak! Kak Zio, kau salah paham! Ini tidak seperti yang kau pikirkan!" Thea langsung turun dari pangkuan Nio hingga membuat lelaki itu menggeram. "Ahahahahah.. Niatku hanya mau meminjam charger, tapi malah mendapat tontonan gratis!" Zio tertawa keras sembari berjalan mengambil charger dari atas nakas lalu pergi dari kamar Thea. "Aish!" Thea menepuk keningnya, Zio telah salah paham. Tapi memangnya salah jika Thea berpelukan dengan Nio? Secara Nio itukan kakaknya. Ia menghela napas berat lalu duduk di pinggir ranjang. Ia dapat merasakan pergerakan dari Nio yang turun dari ranjang lalu berjongkok di hadapannya. Lelaki itu menggenggam kedua tangannya dengan lembut, "Thea tidak perlu khawatir, Nio bisa mengurus Zio nanti. Sekarang katakan pada Nio kenapa adik kesayangan Nio ini bisa menangis seperti tadi!" Thea menggigit bibirnya, tak tahu harus menjawab apa. Matanya berpendar ke sekeliling kamar yang dominan berwarna soft pink. Pikiran Thea kalut, ia bingung harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Pikirannya berkata iya, namun hatinya berkata lain. "Thea!" Nio menarik dagu Thea agar menatapnya. Matanya sedikit berkilat tidak suka karena Thea terkesan menghindarinya. "Thea tidak apa-apa. Thea hanya sedang ada tamu bulanan, jadi Thea sedikit sensitif." Hening. Tak ada respon apapun dari Nio. Lelaki itu hanya diam dengan mata menatap lurus tepat ke dalam mata Thea. Membuat Thea merasa khawatir sekaligus was-was. Namun tak lama kemudian Nio langsung ber-oh ria dan mengangguk paham. Ia beralih memeluk Thea dan menaruh wajahnya di leher gadis itu lalu menggesek-gesekkan hidung mancungnya disana. Membuat Thea langsung bergidik geli sekaligus merasa bersalah. Thea telah membohongi Nio, tapi itu juga untuk kebaikan keluarganya. Jika ia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, pasti Nio akan memarahi Tiffany, dan Gerald pasti tidak akan terima. Ia tidak ingin kedua kakaknya itu bertengkar dan terjadi permasalahan di keluarganya. Jadi lebih baik Thea merahasiakan ini semua. "Jangan menangis. Nio tidak suka!" Ucapan Nio tidak terlalu jelas karena bibirnya yang menempel di leher Thea. Thea tersenyum dalam tangisnya. Ia menyeka air mata yang kembali mengalir lalu hendak beranjak dari pelukan Nio, tapi lelaki itu menahannya. "Mau kemana?" "Thea mau membasuh wajah, kak." jawab Thea sambil berusaha melepaskan tangan Nio yang melilit pinggangnya. Namun itu sangatlah susah bahkan Nio malah semakin mengeratkan pelukannya. "Tidak mau! Thea disini saja, menemani Nio." "Ini pakai baju Nio saja untuk mengelap air mata Thea!" Nio menyodorkan bajunya dengan wajah polos. "Ah, tidak. Nanti baju Kak Nio kotor!" tolak Thea mentah-mentah. "Thea hanya sebentar ke kamar mandi. Ya?" Nio tampak menggembungkan pipinya kesal, namun lelaki itu kemudian mengangguk dan membalas senyuman dari Thea. Thea menghela napas lega. Ia kira akan sulit membujuk kakaknya yang satu ini. Dengan segera ia pun berjalan pergi ke kamar mandi. Meninggalkan Nio yang masih tersenyum manis. Satu detik, senyuman manis masih terukir dengan indahnya. Dua detik, senyumannya mulai luntur. Tiga detik, rahangnya mulai mengeras dengan mata berkilat marah. Tangannya mengepal kuat hingga asap hitam perlahan mulai muncul dari tubuhnya. Namun sedetik kemudian Nio tertawa kecil bahkan terdengar dingin, "Thea telah berani membohongi Nio."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD