Bab 2

1098 Words
Rey mengusap wajahnya kasar, dia merasa terlalu gegabah. Memacari gadis yang sangat jauh, sungguh dia sangat frustasi saat ini. Dia yang memulai, dia sendiri yang kebingungan. Diarra sangat jauh, berulang kali Rey memutar otak bagaimana bisa menemui Diarra secara langsung. Hanya dari foto Diarra, dia tertarik dan terburu-buru menyatakan cinta. Dia tidak menyangka jika Diarra akan menerima cintanyanya. Rey membasuh wajahnya dengan air pancuran di kampus, toilet lelaki sekarang sepi. Menatap wajahnya di pantulan cermin, dia merasa tidak tampan, tidak kaya dan juga masa depannya masih tidak jelas. Setahun yang lalu ayahnya mengalami kebangkrutan, keluarganya menjual rumah dan pindah ke Medan. Semenjak itu Rey harus kuliah sambil kerja. Sudah dua semester ini dia jalani, nilai IPKnya tidak bisa mencari 3,5 sehingga beasiswa yang dia ajukan harus dicabut. Dia bingung bagaimana dengan masa depannya, rasanya suram, tidak ada harapan. Dia baru saja mengajukan cuti kuliah, dalam hatinya risau tentang hubungannya dengan Diarra. Usia Rey dua tahun lebih muda, sedangkan Diarra sudah bekerja. Tiba-tiba dia merasa tidak percaya diri, dia juga tidak memiliki apapun. Rey merogoh sakunya, mencari kontak Diarra dan menelfonnya. “Hai, lagi dimana?” ucap Rey dengan suara baritonnya. Mendengar suara Rey membuat Diarra tersenyum. Hatinya menghangat, semua yang ada dalam diri Rey, Diarra sangat suka. Kejujuran, perhatian, semuanya yang ada dalam diri Rey. “Lagi di rumah, aku bolos ngantor hari ini. Desainnya aku kerjain di rumah.” “Oh gitu ... sorry kalau ganggu, aku mau cerita sesuatu sama kamu, tapi aku harap kamu enggak marah ya sayang,” ucap Rey di telepon. Panggilan sayang membuat Diarra bersemu merah, ini pertama kalinya Diarra merasa benar-benar berpacaran, berbeda dengan Rey, dia telah memiliki mantan kekasih sebanyak tumpukan kardus. Diarra tau akan hal itu, tetapi entah kenapa hatinya menuntun menerima lelaki itu. Hidupnya serasa berwarna dengan Rey. “Ada apa? Cerita aja, aku enggak akan marah kok.” Diarra menarik nafasnya, mencoba menguatkan diri, takut jika Rey mengatakan dia akan memacari gadis lain atau muak dengannya yang selalu menempel dengan Rey. Diarra belum pernah berpacaran, dia tidak pernah menerapkan strategi ‘tarik ulur’. Bagi Diarra, hal itu hanyalah membuang waktu. “Jadi ... aku mau cabut kuliah,” ucap Rey tiba-tiba. Deg. Diarra tak tau harus menjawab apa, masalahnya orang tua Diarra mengharuskan memiliki kekasih yang juga sarjana, sama dengannya. Tetapi Diarra bukan gadis yang menyerah akan sesuatu, dia penyabar, mencoba untuk menerima Rey apa adanya, apapun keputusan Rey, dia hargai. Bagaimanapun juga dia tidak bisa mengatur hidup Rey, biar Rey yang menentukan jalan suksesnya sendiri. “Oh, iya ... kenapa sayang?” tanya Diarra. “Aku capek kerja sambil kuliah, rasanya enggak kuat, aku mau ikut SECABA aja tahun depan.” Diarra tersenyum mendengarnya, setidaknya Rey tidak menyerah akan hidupnya. Dia masih memiliki cita-cita untuk menjadi orang besar. Jarak yang jauh hanya bisa membuat Diarra mensupport Rey dengan memberi semangat, tidak ada yang lain. “Semangat ya sayang, apapun yang kamu mau pasti aku dukung selagi itu hal yang baik.” “Makasih sayang, kamu yakin masih mau melanjutkan hubungan ini sama aku?” tanya Rey. Kini dia telah duduk di kursi panjang lorong kampus. Sepi, tidak ada siapapun karena hari mulai gelap. Sengaja Rey mau berlama-lama di sini, menikmati kesendiriannya saat di hari terakhir di kampus. “Iya enggak papa, jalani aja Mas ... selama kamu enggak kuliah, kamu mau kerja aja?” “Iya.” Telepon singkat itu membuat Diarra menghela nafasnya, dia tersenyum setelah mendengar suara Rey. Ada sedikit kecewa mendengar bahwa Rey berhenti kuliah, entah kenapa Diarra hanya takut hubungannya tidak direstui, dia takut jika hubungan ini hanya dianggap main-main dengan Rey. Padahal Rey juga sudah tau jika orang tua Diarra memiliki standar mantu yang tinggi. Diarra mencoba menepis perasaan negatifnya, kembali fokus kepada pekerjaannya. Ibu Diarra—Dewina sedang memperhatikan putrinya dari depan pintu. Rasanya ada yang aneh dengan Diarra, akhir-akhir ini dia sering mengangkat telepon di kamar mandi. Sempat Dewina mendengar suara aneh di sana, iya anehnya anaknya menggunakan kata ‘sayang’. Dewina menjadi curiga apakah putrinya telah memiliki kekasih. “Diarra, kamu ngobrol sama siapa di kamar mandi?” tanya Dewina sembari mengetuk pintu kamar mandi. Diarra terkejut ibunya mendengar obrolannya, seketika dia panik. “Apa Ma? Engga itu,” ucap Diarra gelagapan. Dia lalu membuka pintu kamar mandi, mencoba senetral mungkin menatap ibunya. “Yasudah, kalau gitu Mama mau ke butik, kamu mau ikut apa enggak?” tanya Dewina. “Enggak deh Ma, aku di rumah aja. Nanti bawain aku burger ya Ma,” pinta Diarra. Dewina mengangguk, Diarra menarik tangan Dewina, mencium punggung tangannya lalu pipi ibunya. “Hati-hati Ma!” Diarra menghembuskan nafas, beruntung ibunya tidak terlalu curiga dengannya. Bisa gawat kalau dia ketahuan punya pacar. Dewina pergi diantar oleh supir, keluarga Diarra memang kaya raya, ayahnya seorang pengusaha, sedangkan ibunya desainer baju kelas atas. Wajar jika seharusnya Diarra selektif memilih pasangan hidup. Diarra menatap jam dinding, sudah pukul sebelas siang, biasanya Leon—kakaknya akan menelfon, benar saja ada panggilan masuk dari Leon. “Dek, kirimin sekarang, laper.” Diarra menghela nafas, setiap hari selalu begini, Leon meminta diantarkan makanan siang dari rumah. Padahal kantornya cukup dekat, kenapa tidak mengambilnya sendiri. “Iya.” Diarra mengambil kotak makan, mengambil sebagian makanan rumah. Tetapi ternyata pembantunya sudah menyiapkan makanan untuk Leon. “Ini aja neng, bibi udah siapin.” Diarra tersenyum senang melihat pembantunya, bibi ternyata sudah hafal dengan kebiasaan Leon. Kakaknya adalah orang yang hemat, benar-benar hemat, jauh lebih hemat dari siapapun di dunia ini. Hemat, bukan pelit. “Makasih Bi, Diarra ke kantor Bang Leon dulu.” Diarra mengambil jaketnya dan menuju kantor Leon, hanya lima belas menit. Studio Manga, kakaknya Leon membuka studio manga, bekerja sama dengan platform komik, Diarra tanpa sengaja menabrak salah seorang saat melewati pintu depan tempat kerja kakaknya. “Eh maaf,” ucap Diarra. Dia membantu lelaki di hadapannya membereskan kertas yang berserakan. “Oh iya enggak papa. Saya duluan, terima kasih.” Diarra mengangguk tersenyum, namun seketika dia terpaku saat menatap wajahnya. “Diarra?” “Rehan? Rehando?” tanya Diarra mengulangi. Rehan, lelaki itu dulu pernah merayu Diarra mati-matian lalu meninggalkan Diarra saat Diarra mengatakan suka kepadanya. Kini dia muncul kembali di hadapan Diarra. “Ngapain di sini?” tanya Diarra dengan ketus. Tatapannya berubah menjadi tajam. “Ini kantor aku, aku kerja di sini, kamu ngapain di sini?” Diarra tak menjawab, dia langsung berbalik, membawa bekal untuk kakaknya dan langsung naik ke atas. Rehan hanya bisa menghela nafasnya, tidak mengejar Diarra, wajar saja gadis itu marah kepadanya, dia tidak pernah menjawab perasaan Diarra yang tak terbalaskan selama empat tahun lebih. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD