3

1119 Words
Terdengar helaan nafas kencang ditelinganya sendiri. Mungkin terlalu kencang sehingga Erwin terkekeh dan mengeluarkan kalimat-kalimat yang berhasil membuat Adam  mengusap tengkuknya karena merasa kesal dengan sindiran yang diberikan oleh sahabat yang sudah seperti saudara kandungnya. "Kau tidak tahu bagaimana rasanya menjadi calon ayah. Jantungmu terus berdebar-debar setiap hari. Takut jika calon anakmu akan menyusahkan ibunya dan meminta lahir tanpa melihat tempat dan waktu." Ada jeda sejenak sebelum Erwin melanjutkan. "Rasanya percuma aku menjelaskannya. Kau tidak akan mengerti. Sebaiknya kau segera menikah. Aku rasa kau lebih cepat mengerti perasaanku saat ini daripada mendengar penjelasanku." Mendengar ucapan Erwin berhasil membuat Adam mengepal erat kedua tangannya dan ingin rasanya melayangkan tinjunya pada wajah calon ayah itu. Tapi sepertinya ia harus mengurungkan niatnya, karena Erwin tidak ada di hadapannya. Pria itu sedang mengambil cuti dan memilih terus bersama istrinya yang bisa melahirkan kapan saja daripada berkutat dengan berkas-berkas yang sekarang berada di hadapannya. "Aku rasa aku tidak membutuhkannya. Aku mengerti perasaanmu. Maka dari itu aku menerima untuk mengambil alih pekerjaanmu," jawab Adam. "Tidak, tidak, tidak. Kau tidak mengerti, Dam. Perasaan ini membuatmu merasa jika jantungmu sedang tergantung di dalam dadamu dengan sehelai benang tipis, juga..." "Sebaiknya aku kembali bekerja," potong Adam cepat. "Sepertinya menjadi calon ayah membuat otakmu sedikit tergeser." Suara tawa Erwin membahana di telinga Adam. "Baiklah, baiklah. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Di sisi lain aku juga tidak ingin terlihat seperti seorang kekasih yang sedang mengecek kekasihnya karena takut selingkuh," ledeknya. Adam mendengus dan setelah memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan diantara mereka, laki-laki berambut hitam pekat itu memilih untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Seperti biasa Adam selalu menjadi penghuni terakhir di kantornya. Setelah mematikan laptopnya ia pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju mobilnya. Dalam keheningan pandangan mata Adam fokus pada jalanan di depannya. Tampak jelas di dalam matanya jika ibukota memang tidak pernah tertidur. Meski malam makin telah larut, namun jalan raya semakin ramai. Teringat ingin membeli sikat gigi baru dan beberapa peralatan yang kira-kira dibutuhkannya di apartemen, Adam memutuskan untuk mampir sejenak ke Citywalk. Selesai berbelanja, dengan kantung plastik ditangannya Adam berjalan di tengah keramaian sambil sesekali melirik kafe-kafe yang tetap dipenuhi oleh para pengunjung yang masih tampak betah berdiam di dalam gedung ini. Hingga sesosok perempuan yang duduk seorang diri di salah satu meja dengan secangkir kopi berhasil menarik perhatiannya. Tanpa ragu, Adam langsung memutuskan untuk menghampiri perempuan itu dengan senyum tipis di bibirnya. *** Entah sudah berapa lama Samantha duduk seorang diri di kafe ini diiringi helaan nafas yang menemaninya. Ingatannya akan kejadian di rumah tante Inge terus berputar di dalam kepalanya bak kaset rusak. Kedua mata Samantha membesar ketika dugaannya menjadi kenyataan. Tubuhnya menegang, jantungnya berdebar dua kali kebih cepat, juga untuk beberapa detik tanpa disadarinya Samantha menahan nafasnya. Laki-laki itu, bagaimana bisa ia berada disini? Bukankah seharusnya ia berada di Malaysia? Berbagai pertanyaan mulai memenuhi benaknya, namun Samantha tahu semuanya sia-sia. Yang ada rasa penasaran di dalam pikirannya semakin liar. Tidak! Ia tidak boleh memedulikan laki-laki ini. Lagipula jika tahu laki-laki itu ada di sini, Samantha tak sudi menginjakkan kakinya di tempat ini. Tepatnya berada dalam satu ruangan dengan laki-laki di hadapannya ini. Dari balik bulu matanya, sosok laki-laki itu berdiri tegak tak jauh dari tempatnya saat ini. Senyum itu, senyum mengejek yang sangat dibenci Samantha terukir jelas di bibirnya. Meski begitu harus diakuinya jika guratan ketampanan masih tampak jelas di wajahnya. Dilihat dari rahang tegasnya yang masih terpatri, bibir tipisnya yang selalu memberikan senyum mengejeknya, hidungnya yang tegak dan alisnya yang lebat. Tapi sekarang bukanlah kekaguman yang dimiliki oleh Samantha. Melainkan kebencian sekaligus rasa jijik. "Samantha Collins, lama tidak bertemu denganmu," sapanya ramah. Dan tanpa memedulikan tatapan tajam dari Samantha, dengan santainya ia mengambil duduk di sofa single yang berada di seberangnya. Ditempatnya Samantha masih terdiam, tidak berniat membalas sapaan laki-laki itu. Toh diantara mereka sudah tidak ada hubungan apapun. "Masih tidak ingin berbicara denganku?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat. Samantha mengepalkan kedua tangannya yang berada diatas pangkuannya erat-erat. Masih berusaha mengontrol emosinya untuk tidak menampar pipi laki-laki ini. Dan untunglah tante Inge datang tepat waktu. "Maaf lama membuatmu menunggu lama, Sam," kata tante Inge. Setelah berhasil mengontrol emosinya, Samantha bangkit dari duduknya dan langsung menghampiri tante Inge. "Nggak apa-apa, Tan." "Tenang saja, Bun. Ada aku yang dari tadi menemaninya. Jadi Sam tidak merasa bosan," imbuh laki-laki bertubuh tegap itu. Samantha terdiam mendengar penuturan laki-laki itu disusul senyum kaku yang keluar di bibirnya. "Benarkah itu Alex? Apakah itu artinya kalian sudah baikan?" "Yup!" jawab laki-laki itu dibarengi Samanthan yang menjawab, "Tidak!" Ditempatnya tante Inge mengulum senyum. "Tante benar-benar berharap kalian bisa kembali bersama." "Tenang saja, Bun. Aku yakin..." "Sebaiknya aku segera pulang Tan, pasti Mami menunggu kue-nya," potong Samantha cepat lalu tanpa memedulikan tatapan mata Alex yang terus menatapnya, ia pamit undur diri dan langsung melangkah keluar. Sayang Alex meminta izin mengantarkan Samantha menuju mobilnya. Tanpa memedulikan laki-laki itu Samantha melangkah cepat-cepat. Berharap segera menjauh dari Alex. Namun ketika ia hendak masuk ke dalam mobilnya, tanpa disadarinya Alex mengikuti langkahnya dan berbisik tepat ditelinganya. "Aku pastikan kau akan kembali ke dalam pelukanku. Lagipula bukankah first love never dies?" Tubuh Samantha menegang. Ia mematung untuk beberapa detik sebelum akhirnya membalikkan tubuhnya dan mengangkat dagunya sehingga untuk saat ini tatapannya langsung bertemu dengan milik Alex. "Benarkah? Namun sepertinya itu hanya pendapatmu saja. Atau itu adalah harapanmu selama ini?" Sebelah sudut bibir Samantha tertarik ke atas. "Sayangnya aku bukan lagi milikmu. Karena sejak awal aku bukanlah milikmu, Alexander." Sekali lagi Samantha menarik nafas panjang dan membuangnya. Kemunculan Alex yang tiba-tiba juga ucapannya berhasil membuat pikiran Samantha dipenuhi olehnya. Rasanya ia ingin mengulang waktu dan menolak permintaan maminya sehingga dia tidak perlu bertemu dengan Alex. Lagi, Samantha mengela nafasnya. "Sepertinya menarik nafas dalam-dalam sudah menjadi salah satu dari hobimu, ya?" Tiba-tiba sebuah suara menyentak Samantha, membuat dirinya sedikit mengelus d**a. Heran, kenapa sih laki-laki yang dikenalnya suka berbicara tiba-tiba seperti ini!? gerutunya dalam hati. "Kau mengagetkanku Adam Verdian," keluh Samantha. Senyum tipis tanpa rasa bersalah terlihat jelas dibibirnya. "Boleh aku bergabung?" "Silahkan," sahut Samantha singkat lalu memilih meminun kopinya yang sudah mendingin. "Apa yang ada di dalam pikiranmu sampai-sampai seorang perempuan sepertimu duduk seorang diri di salah satu kafe malam-malam seperti ini?" tanya Adam to the point. Samantha memandang Adam dengan pandangan tidak percaya. "Sejak kapan kamu jadi tuan ingin tahu?" "Sejak kamu duduk di sini seorang diri." Samantha mendengus. "Bukan urusanmu." "Sudah menjadi urusanku sejak aku duduk di sini." Mendengar jawaban yang diberikan Adam, alhasil Samantha memutar kedua bola matanya. "Mencampuri urusan orang lain bukan ide bagus." Adam mengangguk setuju dengan senyum yang masih terukir di bibirnya. "Tapi jika aku bisa membantumu, why not?" "Kalau begitu, apa kamu percaya dengan yang namanya cinta pertama?" Entah mengapa, ketika Samantha mengeluarkan pertanyaannya, ia dapat melihat senyum di bibir Adam memudar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD