Part 2. Mengalah Tak Berarti Kalah

1087 Words
Langit menutup pintu kamar agak kencang sampai Embun terkejut ketika mendengarnya. Wajah lelaki itu kaku tak berekspresi dan tatapannya seolah ingin sekali menguliti istrinya yang sedang santai sambil membaca sebuah buku. Embun sekilas melihat sumber bunyi bising yang baru saja terjadi, kemudian kembali sibuk dengan bacaannya. Hal semacam ini sudah sering didengar dan perempuan itu sudah mulai terbiasa.  Lelaki yang sudah sah menjadi suaminya ini memang selalu berusaha untuk membuat masalah dan membuat dirinya tak betah. Itu adalah sebuah kesimpulan yang terbentuk di dalam pikiran Embun setelah mereka sudah menjalani pernikahan selama dua bulan ini. Dia tak tahu akan bertahan berapa lama menjalani semua ini, tapi dia tak akan memaksakan dirinya untuk tetap bersama dengan Langit jika memang dia sudah tak sanggup menjalankannya. “Bisakah kamu pecus sedikit dalam berperilaku? Saya rasa, kamu tidak perlu saya ajarkan lagi bagaimana caranya menghadapi tamu di rumah ini. Kamu juga seorang atasan di perusahaan, seharusnya masalah tata krama sudah tercetak di dalam kepalamu.” Ucapan Langit selalu dingin dan terasa menyakitkan terdengar di telinga Embun.  “Apa? Apa yang sudah saya lakukan terhadap tamu yang kamu maksud?” Embun menatap suaminya tanpa gentar dan itu membuat Langit merasa emosinya selalu teraduk dengan cepat. “Kalau tamu yang kamu maksud adalah perempuan berbaju merah tadi, maka saya pikir saya tidak melakukan apapun yang akan menyakitinya.” “Dia sedang berbicara baik-baik denganmu, tapi kamu sama sekali tak menanggapinya.” “Jadi, dia mengatakan itu.” Suara itu terdengar sebuah gumaman, Embun tak menatap suaminya. Perempuan itu terlihat seolah sedang berpikir. Namun, setelahnya, dia kembali menatap Langit, “saya tidak meminta kepercayaan darimu, tapi alangkah baiknya kalau kamu bisa membedakan mana yang sebenarnya dan mana yang berbohong.” “Itu artinya kamu menganggap saya bodoh?” “Apa saya mengatakan itu?” Embun mengeluarkan senyumnya sedikit dan berdiri. “Sejujurnya, saya tidak peduli dengan tuduhan yang kamu berikan kepada saya, tapi saya rasa saya sudah berlaku dengan baik kepada seorang pelakor.” Geraman terlihat di tenggorokan Langit dan tangan lelaki itu bahkan sudah terkepal. Langit tentu saja menahan diri agar tidak melakukan kekerasan kepada perempuan yang ada di depannya. Dia adalah pecinta perempuan. Menyakitinya artinya dia sudah keluar dari jalurnya. Maka mati-matian dia menahannya.  “Sebelum kita menikah, kita memang tidak memiliki hubungan apapun. Tapi bagaimanapun sekarang, suka tidak suka, saya adalah istrimu dan kamu adalah suami saya. Perlakukan kamu terhadap saya, itu sudah sangat keterlaluan.” “Saya sudah memperingatkan kamu sebelumnya kalau saya tidak akan berbaik hati kepada kamu.”  “Saya ingat. Dan bukankah selama ini saya sudah memberikan kebebasan untuk kamu melakukan apapun di rumah ini bahkan membawa perempuan-perempuan itu datang ke tempat ini. Hanya saja, jangan keterlaluan dengan meminta saya untuk memperlakukan kekasih-kekasihmu itu dengan sangat baik. Saya tidak sebaik itu. Karena kamu harus tahu, entah yang mana yang ingin saya habisi lebih dulu diantara kalian dan menyiksanya sedikit demi sedikit ketika melihat apa yang kalian lakukan di depan saya.” Sejak awal, Embun memang sudah memiliki sikap untuk selalu menghadapi kekeras kepalaan Langit terhadap kehadiran dirinya di dalam hidup lelaki itu. Karena dia tahu, bersikap diam tak membuat kehidupannya menjadi baik dan justru dia akan diinjak-injak oleh suaminya. Kehidupan menyedihkan ini bahkan tak ada yang mengetahuinya. Kedua keluarga menganggap jika mereka memiliki hubungan yang sangat baik. Baik Embun maupun Langit sama-sama menutupi kebenarannya. Sejahatnya Langit terhadap istrinya sekarang, tentu saja dia masih menjaga perasaan orang tuanya.  Embun akan menyingkir dari hadapan Langit ketika lelaki itu menarik tangan istrinya tersebut sampai berada di dalam pelukannya. Embun tahu, ini adalah batas dari keberanian suaminya melakukan ‘kekerasan’ kepadanya. Jadi, dia hanya menanggapinya dengan tenang.  “Jangan pernah macam-macam denganku. Aku bisa menghancurkan kamu sampai kamu tak bisa lagi memperbaiki kehancuran itu.” Tantangnya. “Maka lakukanlah.” Tantang Embun balik, “bukankah selama ini saya tidak pernah melarang apapun kepadamu untuk melakukan apapun?”  “Kamu terlalu sombong, Nona.” Mata Langit terlihat melotot dan rahangnya terlihat mengetat karena keberanian yang ditunjukkan oleh istrinya. Sudah lama dia menidas perempuan itu, tapi entah kenapa justru tak ada ketakutan sama sekali di dalam diri perempuan itu.  Embun melepaskan dekapan Langit dan berhasil. Alih-alih dia berlari ketakutan, tentu saja dia kembali menunjukkan keberaniannya kepada lelaki itu.  “Saya bukan orang yang akan bertekuk lutut dan memohon kepada siapapun untuk alasan apapun. Pun, dengan Anda, Suamiku.” Mereka saling menatap seolah sekarang ini mereka dikelilingi luapan api yang berkobar. Embun menunggu Langit berbicara dan menjawabnya, tapi lelaki itu hanya diam saja tanpa mengatakan apapun. Maka, Embun segera berlalu dari sana. Menuju tempat tidur, dan naik keatasnya. Menarik selimut dan mematikan lampu di atas nakas.  Jika dalam kondisi seperti ini, mungkin di dalam drama yang sering ditonton oleh Embun, mereka akan tidur di kamar terpisah. Atau meskipun mereka tidur di satu kamar tapi tidak di satu tempat. Nyatanya, mereka tak melakukan keduanya dan berlaku seperti pasangan normal lainnya. Hanya saja, jarak mereka tidur sangat jauh dengan guling yang membatasi mereka.  Mereka tak ingin diributkan oleh masalah keluarga mereka yang tiba-tiba datang dan mengetahui semuanya. Setidaknya jika keluarganya tahu kekacauan yang terjadi di kehidupan mereka, tidak untuk sekarang. Ini masih terlalu dini, lagipula Langit tidak akan dengan mudah melepaskan Embun begitu saja sebelum perempuan itu merasakan kesakitan yang luar biasa di dalam dirinya.  Langit menatap Embun yang sudah berbaring di kasurnya dengan mata memejam. Kebencian yang dirasakan di dalam hatinya begitu dalam sampai-sampai dia merasa dia sanggup menghancurkan perempuan itu dengan sekali pukulan. Berjalan menuju kamar mandi, dia perlu membersihkan tubuhnya, mengguyur kepalanya dengan air dingin agar dia bisa kembali waras karena sudah berhadapan dengan wanita gila seperti Embun.  Paginya, seperti biasa, Embun mempersiapkan makan pagi sebelum berangkat ke kantor. Anehnya, meskipun kemarahan yang dirasakan oleh Langit, dia tak pernah menolak makanan yang dimasak oleh Embun, hanya saja dia tak suka jika dia harus duduk dan makan berdua bersama dengan wanita itu. Karena itu akan menghilangkan selesa makannya. Itulah yang dia katakan waktu itu. Karena itu, Embun cukup tahu diri dan dia akan pergi sebelum suaminya turun untuk sarapan.  “Ibu harus pergi pati-pagi seperti ini setiap hari, Ibu nggak capek?” Bibi tahu bagaimana kehidupan rumah tangga majikannya dan Embun selalu meminta agar wanita paruh baya itu bisa menjaga rahasia tersebut.  “Mengalah tidak berarti kalah kan, Bi?” senyumnya terlihat tulus. Dan Bibi benar-benar merasa sangat menyayangkan kenapa Langit menyia-nyiakan wanita secantik dan sebaik Embun. Bibi menarik nafasnya seolah dia yang sedang menjalani kehidupan berat Embun. “Saya bahkan berharap Ibu akan menemukan lelaki yang lebih baik dari Bapak.”  *.*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD