4

1432 Words
Sebuah mobil hitam melaju kencang menuju kawasan elit. Javas menulikan telinganya, menghadapi dua perempuan. Bella dengan teriakannya yang meminta menemui Kanin dan Ralin yang meminta penjelasan. Menghadapi mereka lebih sulit dari berkompromi dengan klien. Yang satu tak bisa dikerasi, yang satu butuh dikerasi tapi tak mungkin di berteriak di hadapan Bella. Dia hanya akan memberikan cinta kasih pada Bella. Rasanya lega luar biasa saat melihat pintu gerbang rumahnya. Setelah dia menghentikan mobil, segera dia menggendong Bella. Menenangkan Bella tak semudah menenangkan anak keil lain yang dibeli permen langsung diam. "Tunggulah, aku akan menjelaskan setelah menenangkan Bella." "Kenapa selalu Bella dan Bella? Kapan aku jadi prioritasmu, Javas?" teriak Ralin saat Javas pergi begitu saja meninggalkannya di mobil. Javas tetap mengabaikan Ralin karena Bella merengek lebih keras di telinganya. Dewanti, mama Javas sekaligus oma Bella mendekat mendengar teriakan Bella yang menangis memanggil Kanin. "Aku mau sama mama, Pa," seru Bella yang suaranya mulai hilang kebanyakan teriak. "Astaga, ada apa ini?" tanya Dewanti. "Bella mau mama, Oma." "Apa maksudnya ini, Jav?" "Bella, kalau Bella berhenti menangis Papa akan memanggil Miss Kanin ke sini." "Sekarang!" seru Bella. "Iya sekarang, karena itu Bella diam dan nurut." "Janji?" "Janji. Sekarang Bella berhenti nangis. Suaramu mulai hilang nanti kamu sakit. Ok?" "Tapi panggilin mama. Aku mau tinggal sama mama." "Iya tapi Bella harus nurut sama papa." Cukup lama untuk mendiamkan Bella. Dengan berbagai bujukan akhirnya Bella diam dan tertidur di kamar. Javas melepas kemejanya yang basah oleh keringat efek membujuk Bella. Selesai urusan Bella masih ada Ralin dan mamanya yang butuh penjelasa. Javas mengacak rambutnya kasar. Lelah. "Ada apa sebenarnya Jav?" "Ceritanya panjang Ma. Jav perlu menemui Ralin dulu. Jav janji akan menjelaskannya." "Ralin di sini?" tanya Dewanti dengan ekspresi kaget. "Di mobil." "Kenapa nggak disuruh masuk?" Javas hanya meraih kedua tangan Dewanti dan menepuknya. Dia lelah untuk menjelaskan. Dia ingin segera menemui Ralin. Jangan sampai Ralin marah lagi dan hubungannya berantakan. Menjalin hubungan selama tiga tahun bukan waktu yang singkat. Baginya Ralin adalah sosok yang pengertian dan sabar menghadapinya yang selalu mengutamakan Bella. Walaupun akhir-akhir ini Ralin sering mengeluhkan dia yang tak punya waktu bersama berdua tapi Ralin tetap sabar dan bertahan dengannya. Ralin juga tetap sabar dengan segala penolakan Bella yang tak pernah bisa lunak. "Ralin, ayo masuk." "Aku mau di sini saja," balas Ralin di dalam mobil. Yang berarti sudah sangat lama Ralin di sana. "Maaf ya." "Ya." "Tolong sabar sedikit lagi." "Aku harus sabar bagaimana lagi. Aku tak pernah mengeluh sebelumnya. Tapi kali ini benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa Bella menyebut perempuan itu mama sementara dia tak pernah mau denganku. Aku sayang padanya, aku perhatian padanya." Mereka terdiam. "Aku butuh penjelasan yang masuk akal. Bukan penjelasan seperti yang kamu katakan di mal tadi. Bagaiaman bisa Bella sebegitu inginnya bersama gurunya? Apa masuk akal? Bella baru sekolah seminggu." "Aku juga nggak tahu. Aku akan bertanya pada Bella." "Jadi kamu belum bertanya pada Bella? Harusnya kamu curiga, jangan-jangan gurunya itu mau berbuat jahat." "Aku sudah menanyakannya. Tapi Bella tak mau menjawabnya. Dia hanya mengatakn menyukai Miss Kanin. Aku tak bisa memaksanya." "Sekali-kali kamu perlu tegas pada Bella. Bukan semua yang dia mau kamu turuti. Itu nggak baik untuknya. Dia perlu belajar bahwa apa yang dia inginkan tak selalu bisa dia dapatkan." "Untuk apa belajar hal seperti itu kalau sebenarnya apa yang Bella mau bisa aku turuti." "Lalu kamu mau menurutinya soal Kanin? Kamu mau menikah dengan gurunya?" "Tidak. Aku sudah memikirkannya. Biarlah Bella menganggap Miss Kanin mamanya. Aku akan memperkerjakan Miss Kanin." "Maksudmu?" "Ya memperkerjakan dia sebagai mamanya Bella. AKu akan membayar berapapun." "Oh my God, Javas. Apa yang sebenarnya kamu pikirkan? Lalu aku?" "Kamu akan jadi istriku," balas Javas sembari menggenggam tangan Ralin. Perasaannya pada Ralin sejak dulu tak bisa dia abaikan begitu saja, dan kewajibannya membahagiakan Bella juga sebuah prioritas. Javas tak bisa memilih salah satu. Keduanya berarti untuknya. *** Setelah hari Sabtunya penuh drama, hari Minggu ini sepertinya akan berakhir tak jauh beda. Kanin tak menduga Bella datang ke acara ulang tahun Caca bersama Javas. Kekacauan akan segera dimulai. Kanin langsung menghindar, diam-diam dia menjauh mencari tempat sembunyi. Dia tak ingin bertemu Bella atau pun Javas hari ini. Bukan karena dia tak suka dengan Bella, tapi dia tak suka dengan Javas. "Hei, kenapa di sini?" tanya Aidan. "Ada dia." Tunjuk Kanin pada Javas. "Wow, dia luar biasa. Selalu ada waktu untuk anaknya." "Ya, sampai kencan saja kemarin dia membawa anak," balas Kanin lalu mereka terkekeh bersama. "Tapi mau sampai kapan kamu menghindarinya?" "Apa aku resign saja? Bisa beri aku pekerjaan di kantormu?" Aidan terdiam kaget, dari dulu Kanin ditawari bekerja di kantornya selalu menolak. Tapi kali ini meminta dengan santainya. "Yakin?" "Bercanda. Aku tak mau kerja di kantoran, pusingnya bisa di bawa pulang. Kalau jadi guru TK itu nggak punya beban. Pulang sekolah tinggal tidur." "Tapi sekarang sepertinya nggak bisa seperti itu lagi," ucap Aidan dengan mata mengarah kepada Javas. "Aih... kenapa dia melihat ke arah sini. Bagaimana ini?" Kanin mulai panik Javas melihatnya. "Hadapi. Tanya mau dia apa. Kalau dia macam-macam katakan padaku. Aku siap membantumu." "Bisakah kamu berpura-pura jadi suamiku?" "Maaf. Perusahaan Hi Jav adalah partner perusahaanku. Dia tahu aku masih single." "Oh my God! Kenapa dunia itu sempit." Kanin mendesah pasrah. Dia pun melangkah mendekati kerumunan di mana ada Bella dan Javas. Keributan langsung terjadi karena Bella langsung memanggil dan berlari ke arahnya. Orang pasti mengira Kanin memanglah mamanya. Untung beberapa tamu adalah wali muridnya jadi ada beberapa yang tahu keadaannya. Keadaan diperebutkan Bella dan Caca setiap saat. Tak ingin acara Caca jadi tak kondusif, Kanin memilih berpamitan lebih dahulu. Awalnya Caca tak memperbolehkannya tapi akhirnya Aidan bisa membantunya lepas dari situasi itu. "Ma, mama cantik banget hari ini," ucap Bella yang bahagia akhirnya Kanin pulang bersama. "Bella juga sangat cantik," ucap Kanin yang menggandeng tangan Bella. "Mobilku di sana," ucap Javas. Tak menjawab, Kanin hanya mengikuti arah tunjuk Javas. Masuk ke dalam mobil putih Javas dengan rasa terpaksa. "Di mana rumahmu?" tanya Javas. "Aku kost di dekat sekolah." "Kost?" "Ya," jawab Kanin, santai. "Apa itu kost Ma?" "Kost itu tempat tinggal." "Oh... Mama tinggal sama Bella aja. Jadi enak Bella punya temen di rumah. Ya, Ma, Ya?" "Miss Kanin udah punya tempat tinggal, Sayang. Lagian Bella kan punya papa di rumah." "Nggak asyik kalau papa aja. Papa sibuk kalau di rumah. Apa Bella main ke tempat mama aja ya? Bella nginep tempat mama." Kanin langsung menoleh pada Javas, berharap Javas mau membantunya menjawab. Tapi Javas malah menatapnya dengan tatapan menuduh. "Bukan aku yang mengajarinya. Kamu bisa lihat sendiri," ucap Kanin. Di dalam mobil hampir satu jam, Kanin kehabisan akal menjawab pertanyaan Bella agar Javas tak semakin menuduhnya. Ketika akhirnya mereka sampai rasanya lega luar biasa. "Kamu tinggal di sini?" "Ya, makasih tumpangannya." "Bella boleh main?" tanya Bella. Kanin melirik Javas dulu untuk menjawab. "Tanya papa aja ya?" "Boleh kok kalau sama papa. Iya kan Pa?" Harapan Kanin pudar ketika Javas mengangguk sebagai jawaban. Mau ditaruh mana Javas dan Bella di kamar kecilnya yang berukuran 5x5 m. Kanin yang bingung pun akhirnya mempersilakan Bella dan Javas masuk ke dalam kamarnya. Walaupun terasa kikuk tapi Kanin tak bisa berbuat lebih. Kanin tahu Javas terlihat tak menyukai masuk ke dalam kamarnya tapi Bella terlihat sangat senang. Apalagi melihat tumpukan boneka koleksi Kanin. Bella langsung menyerbu kumpulan bonekanya yang tertata di pojok kamar. "Silakan duduk," Kanin mempersilakan Javas duduk di sofa kecilnya. Kanin merasa beruntung karena dia baru saja merapikan kamarnya, jadi tak terlalu memalukan jika dilihat Javas. "Kamu tinggal di ruangan sempit ini?" "Ya." "Kamu nggak menawariku minum?" tanya Javas, melirik kulkas. "Aku hanya punya air putih," jawab Kanin sembari membuka kulkas. "Isi kulkasmu hanya itu?" komentar Javas. Buru-buru Kanin menutupnya. Isi kulkasnya memang hanya air putih, buah, dan yogurt. Dia menghindari minuman manis dalam kemasan demi kesehatan. Ingin sekali dia melempar Javas keluar. Melihat Javas duduk di sofa membuat kamarnya terlihat semakin sempit dan membuatnya harus mengulur kesabaran melebihi menghadapi anak kecil. Kanin mengamati Javas yang melihat dengan cermat setiap sudut kamarnya. Membuat Kanin ingin mengumpat tapi ada Bella yang sibuk bermain dengan bonekanya. Aidan tak pernah melihat kamarnya seperti tatapan laser Javas yang seolah sedang meneliti seperti detektif. "Jadi kamu pacar Aidan?" "Ya." Kanin berbohong demi harga diri. "Kasihan sekali." "Apa maksudnya?" "Aidan itu kaya dan kamu hanya tinggal di kamar seperti ini?" "Apa urusanmu?" balas Kanin yang tak lagi bersikap formil. "Heran saja. Yakin Aidan menyukaimu? Karena pria yang sedang jatuh cinta akan memberikan apapun yang wanitanya inginkan." Seketika Kanin terdiam, ucapan Javas jelas menghujam jantungnya. Dia mengulang perkataan Javas seperti mantra yang semakin melukainya. Tentu saja Aidan tak memberikan apa-apa untuknya karena dia memang hanya sebatas teman di mata Aidan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD