Tercyiduk Bos Besar

1093 Words
Amel mematut dirinya di cermin. Setelah memastikan penampilannya oke, gadis yang sudah nggak lagi perawan itu keluar dari kamar Hang. Ia harus segera berangkat ke kantor agar tidak terlambat absen. Urusan pekerjaan tetap Amel prioritaskan. Toh dia nggak mau menuntut apa-apa ke Hang soal kejadian mereka semalam. "Kamu mau ke mana?" tanya Hang yang berpapasan dengan Amel ketika hendak kembali ke kamar. "Kantor dong Pak. Nanti saya kena SP kalau telat Pak." Hang menggelengkan kepala. Melihat kesantaian Amel, Hang sampai tidak habis pikir dimana letak otak sekertarisnya. Wanita itu habis kehilangan mahkota berharga, tapi bertingkah normal seolah yang hilang hanya permen kaki harga seribuan. Astaga! Pilihan untuk menikahi Amel rasa-rasanya hal paling tepat bagi Hang. Semua fans gila miliknya pasti akan mundur teratur, merasa terkoyak harg diri mereka jika harus bersaing dengan Amel. "Ck! Nanti bareng saya. Balik ke kamar! Siapin pakaian sama bantuin saya mandi." Toeng.. Toeng!! Amel menganga dengan mulut terbuka. Mencoba mencari tafsir paling tepat dari ucapan Hang barusan. "Bantuin Bapak mandi itu yang kaya gimana Pak?! tanya Amel dengan nada kesal nggak bisa santai. Otaknya telanjur memikirkan yang 'iya-iya,' dari kalimat ambigu Hang. "Ya gitu! Mandi!" "Bapak!" bentak Amel. Dia sudah bodo amat dengan status Hang sebagai bosnya. "Bapak jangan macem-macem ya! Kejadian semalem lupain aja. Kita bergerak new normal. Kembali ke Bos sama sekertaris biasa!" Hang mendengus. Dengan amat percaya diri lelaki yang harusnya sudah bergelambir di beberapa bagian tubuh itu membuka kaos, memamerkan pahatan-pahatan hasil kerja keras beberapa tahun di tempat fitnes. "Yakin nggak mau ikut saya mandi? Saya bisa bikin kamu jerit-jerit kaya semalam lagi loh." ujar Hang usil siapa tahu mendapat rejeki di pagi hari setelah berpening ria karena kelakuan dua putrinya. "Papaaaahh!" Hang berlari cepat setelah mendengar suara teriakkan Rara. Anaknya itu memang selalu bisa menggagalkan kesenangan Hang dalam menggaet para wanita muda. 'Mampus nggak lo diteriakkin anak sendiri. Nggak ada otak sih jadi duda!,' batin Amel kesal lalu kembali memasang wajah setenang mungkin menyambut General Manajernya yang berjalan penuh amarah sehabis memarahi sang papah. "Kamu mau kemana udah rapi gini Mel?" tanya Rara yang berhasil menormalkan amarah. Dia tidak mungkin menjadikan Amel sasaran karena tahu jelas siapa yang salah dalam kasus affair sang papah. "Ke kantor Bu Rara." Seperti Hang, Rara pun dibuat shock dengan jawaban Amel. Bibirnya ikut terbuka, sama persis dengan respon Hang tadi. "Kamu beneran Amel kan ya?" todong Rara seolah belum yakin jika perempuan di hadapannya adalah Amelia Agata. "Seratus persen Amelia Agata Bu. Kenapa ya Bu?" Rara menggelengkan kepala. "Nggak usah ke kantor! Rapat direksi dipindah ke rumah." setelah mengatakan informasi seputar rapat, Rara bergegas pergi menghindari Amel. Ia harus menyampaikan serangkaian aduan mengenai calon mamah tirinya yang unik pada sang Oma. "Ini keluarga kenapa sih?! Di kantor perasaan nggak gini deh." gerutu Amel menilai perbedaan kelakuan dua bosnya. "Ah! Bodo amat lah! Gue mau minta sarapan ke Mbok Darsinah deh! Laper!" ujarnya bermonolog lalu berniat melangkahkan kaki ke dapur rumah Hang. "Mbak Amel.. Mbak Amel di suruh ke rumah Oma!" Amel mengehela nafas. Ada saja halangan sedari tadi mau menghindar saja. Memasang senyum andalan, Amel membalikkan tubuh. "Hai Resti. Selamat pagi." sapanya yang di balas dengusan oleh anak bungsu Hang. "Mbak nggak usah senyum-senyum!" sentak Resti, "Mbak pasti mau baik-baikin Resti biar Mbak aku terima kan jadi Mamah tiri." 'Heh?! Samolekom ya' ahli kubur! Ni bocah ngemeng apa yak?', julid Amel dalam hati. Amel merasa otaknya menyusut karena tak paham dengan omongan Resti. "Mbak kasih apa papah sampai mau nikahin Mbak Amel?" "Lah! Ini apaan Res? Papah kamu mau nikah lagi? Mbak kok nggak tahu?" kali ini dengan kepolosan tingkat surga, Amel bertanya, membuat Resti geram ingin menggaruk sekertaris sang papah yang biasa ia andalkan untuk mengerjarkan tugas sekolahnya. "Mbak jangan pura-pura deh! Kata Papah, Mbak mau jadi mama tiri Resti. Resti nggak mau ya, punya mama tiri cupu kaya Mbak!" setelah mengatakan penolakkannya, Resti berlalu begitu sajan menghadirkan tanda tanya semakin besar di otak Amel. Tak ingin larut, Amel mencoba mencari kejelasan pada si penyebar hoaks. Dengan langkah lebar ia kembali masuk ke dalam kamar Hang. Brakkk!! "Bapak! Astaga!" Amel memekik lalu segera membalikkan tubuh ketika mendapati Hang dengan tubuh telanjang lelaki itu. "Bapak kalau ganti baju dikunci kenapa pintunya Pak!" amuk Amel dengan wajah memerah karena malu. "Kamar-kamar saya! Kenapa jadi kamu ngatur! Masuk terus tutup pintunya!" perintah Hang. Entah apa yang ada di otak Amel sampai ia melakukan perintah Hang. Setelah menutup tanpa mengunci pintu, Amel berdiri dengan kepala tertunduk. Jari-jarinya saling mengait satu sama lain. "Bapak.. Pakai baju dulu." ujar Amel dengan suara super pelan, namun masih bisa di dengar oleh Hang. "Kenapa, Hem?" Hang berjalan bak model untuk mendekati Amel, 'kamu takut khilaf terus minta yang kaya semalem ya?" tanyanya dengan nada menggoda Amel. Hang terpana saat melihat kepala Amel mengangguk lemah. Astaga! Hang seperti tengah melihat jelmaan sang istri yang telah tiada. Kepolosan Amel saat ini sama persis dengan 'Kirana,' istri Hang yang telah berpulang. "Kenapa malu-malu gini Mel?" bisik Hang ditelinga Amel, "biasanya juga malu-maluin kamu." Amel tentu saja langsung sadar setelah mendengar sindiran Hang. Dengan gerakkan cepat ia mendorong tubuh Hang agar mejauh. "Bapak! Saya mau minta resign aja! Mana pesangon saya!" tagih Amel dengan menjulurkan tangan kanan meminta haknya pada Hang. "Ngaco kamu!" kata Hang membalikkan tubuh untuk mengambil pakaian ke lemari. "Saya beneran. Saya mau menghilang aja dari kota ini. Mau melanjutkan hidup baru!" kata Amel mantap setelah mendapatkan hidayah dadakkan untuk membuat tenang hidupnya. "Nggak bisa!" tolak Hang. "Loh! Kok Bapak ngatur saya?! Saya punya hak ya untuk mengundurkan diri dari perusahaan!" kekeuh Amel. "Saya juga punya hak untuk menolak pengunduran diri kamu. Saya bosnya di sini! Kamu harus nurut saya!" bentak Hang membalikkan tubuh. Laki-laki itu tidak jadi membuka pintu lemari demi memilih untuk berhadapan dengan Amel. "Kamu diem-diem aja. Saya mau jadiin kamu istri saya. Mau di tanggungjawabin nggak sih kamu!" gemas Hang pada sosok Amel yang memang suka sekali memancing amarah. Amel melipat ke dua tangan di depan d**a. "Saya nggak mau!" sengitnya sambil menatap Hang. "Saya nggak butuh ditanggung Pak. Oh Iya! Kalau Bapak nggak pengen saya keluar, Bapak harus bersikap biasa aja! Saya nggak mau ya punya suami kayak Bapak!" lontar Amel jujur jika ia menolak Hang mentah-mentah. "Kamu nol-lak, Saya?!" tanya Hang gagap karena baru kali ini ia ditolak orang seorang wanita. "Iy-.." Belum selesai Amel menjawab pertanyaan Hang, pintu kamar lelaki itu dibuka dari luar bersama dengan suara jeritan seorang wanita. "Ib-buk!" "Hanggono Tirto! Sedang apa kamu telan... Astagah! Amel! *Metu kowe wong loro soko kamar! Aku arep ngomong! Ndang!" *Keluar kalian berdua dari kamar! Aku mau bicara! Cepat!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD