15. Jual Diri

2273 Words
Sekarang, Jani malah ditinggalkan seorang diri dengan lelaki yang diapit oleh Vivi tadi. Siapa lagi kalau bukan, Dafa? Tentu Dafa yang mengajaknya pergi. Gadis itu, setiap saat selalu mengingatkan janjinya tempo hari lalu. Dan mungkin, ini hanya bentuk keformalan belaka yang berjalan hanya sementara dan besoknya akan berakhir seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Sampai, Jani berujar lirih lebih dulu. “Waktu Bapak pergi malam itu, dia menangis lagi. Dia kembali mendiami saya layaknya saya sangat menyakitinya dulu. Dan sekarang?” Jani tersenyum. Senyum yang benar-benar lepas melihat adiknya itu ikut bermain dengan anak-anak di sana. “Dia mau menyapa saya lagi. Dia bahkan pernah pergi dari rumah. Pakaiannya dimasukkan ke plastik besar karena kopernya dia tidak tahu password nya berapa. Katanya, saya jahat. Saya menyeramkan.” Dafa tak berekspresi apa-apa. Namun dia tetap mengawasi Vivi dari sana. “Dia sakit. Diumurnya yang sekarang, harusnya dia lebih nyaman dengan teman-temannya yang lain.” Jani menghela napas pelan. “Gara-gara saya. Mama bilang, Vivi trauma melihat saya yang hampir mati dulu.” “Dia cerita.” “Cerita?” Jani membeo. “Hm,” gumam Dafa masih belum mau melihat ke arah Jani. “Dia bilang, kakaknya hobi bunuh diri tapi tidak mati-mati.” Mendengar perkataan Dafa, Jani malah tertawa. “Jangan didengarkan, Vivi bercanda.” Namun, Dafa malah menggeleng. “Mengingat kamu pertama kali waktu itu, yang dikatakan Vivi ada benarnya.” Jani jadi cemberut. Belum apa-apa, pembelaan dirinya sudah tidak berguna. “Dia gadis yang manis. Kalau bersama saya, dia sering cerita tentang kamu.” Jani mengernyit heran. “Sejak kapan Bapak dan Vivi sering bertemu?” “Sejak malam itu. Kami sering bertemu dan berkencan bersama.” Kali ini, Jani tidak bisa menahan tawanya. “Maaf, pasti Vivi sangat merepotkan Bapak.” “Tidak. Dia mengingatkan saya dengan mendiang adik saya dulu.” Jani diam, dan seperti mendapat izin, Dafa malah bercerita. “Saya punya adik perempuan. Dia meninggal empat tahun yang lalu karena sakit jantung. Padahal, dia gadis yang baik, tapi Tuhan mengambilnya secepat itu.” Jani menunduk, memainkan jemarinya yang terasa tidak nyaman. “Kata orang yang saya kenal, dia selalu bilang kalau ‘kepergian salah satu dari kita, bukan akhir dari segalanya.’ Mungkin, Tuhan mengambil adik Bapak karena dia terlalu baik untuk merasakan kesakitan. Tuhan tidak pernah salah.” “Hm,” Dafa menjawab dengan gumaman. “Lalu, bagaimana dengan kamu? Apa kamu iklas dia pergi?” Jani menerawang jauh ke depan dengan senyuman tipis. “Saya tidak tahu, karena sampai saat ini saya masih menunggu dia pulang. Dia berjanji akan melamar saya saat kembali.” “Tapi dia tidak pernah melakukannya, kan?” Sekali lagi Jani tertawa mendengar penuturan Dafa. “Iya, sepengecut itu untuk menemui saya.” “Bagaimana kalau dia sudah pergi?” “Saya ingin tahu dimana bagian tubuhnya dikebumikan, entah hanya selembar rambut atau selapis kulitnya yang tipis.” “Kamu akan mengikhlaskannya?” “Hm, mungkin.” “Dan melanjutkan hidup dengan orang lain?” tanya Dafa lagi. Jani terdiam cukup lama, dia bingung harus menjawab apa. “Abaikan saja.” “Bisa jadi, bisa tidak. Suka-suka saya.” Kata Jani akhirnya yang membuat Dafa tertawa. Keheningan kembali melanda. Mereka berdua sama-sama melihat ke arah Vivi yang perlahan mendekati mereka. Dan dengan tak tahu malunya, Vivi malah memeluk Dafa dari samping dan menyebut Dafa sebagai Bang Panji lagi. “Makasih ya, Bang. Bang Panjinya Vivi hehe.” Jani tersenyum miris. Ingin menegur, tapi Dafa menahannya. Alhasil, dia diam saja mendengarkan Vivi menjelek-jelekkan dirinya di depan Dafa tanpa ampun. *** Jujur, Jani tidak pernah membayangkan ini sebelumnya. Bagaimana Vivi yang dulu manja, berubah dingin dan sekarang manja lagi kepadanya saat sosok yang mirip Panji itu datang. Dia bahagia. Tentu saja dia bahagia. Namun, sampai kapan akan terus seperti ini? Jani tahu, Dafa punya orang lain. Dia juga punya keluarga sendiri. Dia tidak mungkin mengajak Vivi pergi setiap saat, setiap waktu gadis itu merindukannya. Jani beranggapan karena Dafa hanya kasihan dan memang belum menikah saja, jadi dia tidak terlalu masalah dengan Vivi. Tapi nanti, saat dia sudah menikah, Vivi pasti akan kehilangan lagi. Bagaimana kalau Vivi kembali membencinya? Memikirkan yitu, membuat kepala Jani berdenyut nyeri bukan main. Dia sudah minum obat tidur dab sekarang kepalanya semakin berat sampai dia tidak sadar pekikan-pekikan di sekitarnya. *** Yang Jani tahu, semalam dia di kamar, memegangi botol obat tidurnya. Saat membuka mata, tahu-tahu dia di ruangan serba putih dengan selang oksigen. Napasnya terasa berat ditambah tenggorokannya sakit. Dan lagi, Jani tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Sampai Bu Intan yang datang membuat Jani tenang. Ibu paruh baya itu duduk di samping brangkar, mengusap kepala Jani sayang dengan perkataan yang menenangkan. “Kak, istirahat dulu, ya. Jangan dipaksa bangun. Mama tungguin di sini.” Benar saja, Jani kembali memejamkan matanya. Rasanya, matanya berat sekali. Seolah-olah, kegelapan yang menantinya saat tertidur, adalah sesuatu yang lebih baik daripada membuka mata dan melihat dunia yang indah ini tanpa ada Panji di sampingnya. Jani lupa menghitung tadi sampai mana. Yang dia tahu, saat dia membuka mata, dia bisa melihat semua orang sedang duduk di sofa, sampai Vivi yang sadar, menghampirinya lebih dulu. “Kak Jin!!! Ma, Kak Jini bangun!” katanya bersemangat. Perempuan itu kira, yang di taman itu mimpi. Ternyata, dia memang tidak bermimpi. Adiknya sudah kembali. “Kakak tidur dua hari tahu, lama banget bangunnya. Aku sampai telfon Bang Panji yang lagi sibuk supaya marahin Kakak biar bangun.” Katanya. Jani melarikan bola matanya, dan dia benar melihat ada Dafa yang sedang berbincang dengan papanya. “Aku kenapa, Ma?” tanya Jani dengan suara serak. “Kamu minum obat tidur kayak makan permen.” Jani ingat, dia jadi meringis pelan. Malam itu, dia yang frustasi tak kunjung tertidur, langsung mengambil semua butir pil di dalam botolnya. Kalau tidak salah, ada lima lebih dan langsung dia telan dengan air. “Maaf, Ma.” “Udah nggak papa, yang penting kamu juga nggak papa. Jangan ceroboh makanya.” Vivi jadi punya kesempatan untuk mencibir saat Bu Intan pergi keluar. “Dahal Bang Panji udah pulang, tapi Kakak seneng tidur nggak bangun-bangun. Nanti kalau Bang Panji diambil orang, Kak Jini tahu rasa!” Jani tertawa. Seperti, dia sudah sembuh dengan mendengar cibiran Vivi. “Iya, nggak tidur lama lagi.” “Yaudah, aku mau main, tadi ada anak kecil banyak di luar lagi main.” Melihat Vivi pergi, Jani malah menangis. Tidak tahu kenapa, dia hanya ingin menangis. Rasanya, kesalahannya terlalu besar sampai membuat adiknya yang ceria seperti ini. “Why? Kenapa nangis? Sesak?” tanya Dafa yang tiba-tiba sudah menghampiri Jani. “No, I am fine. Aku Cuma baru sadar kalau udah ngerusak Vivi sedalam itu.” Dafa malah duduk di samping Jani, mengatakan kalimat menenangkan yang seolah tahu kalau itu yang Jani butuhkan. “Vivi bisa sembuh. Makanya kamu juga sembuh. Dia sakit saat kamu sakit. Jadi kesimpulannya udah jelas, kan? Dia sayang banget sama kamu sampai bisa ngerasain sakitnya.” Jani mengangguk saja. “Maaf ya, Pak. Kalau Vivi masih hubungin Bapak sampai sekarang.” “Tidak apa-apa, kan saya sudah bilang.” Dafa mempertegas. “Tapi, kalau nanti Bapak pergi, Vivi bisa histeris lagi. Daripada menunggu bom itu meledak, lebih baik Bapak pergi sekarang saja.” Agaknya, Dafa tidak mengerti dengan maksud Jani. Karena itu, perempuan ini sampai menjelaskan. “Bapak punya keluarga dan tunangan yang harus Bapak jaga perasaannya. Kami kebetulan hanya orang asing. Jadi jangan terlalu baik pada kami. Jangan manjakan kami. Jangan memakhlumi kami. Saya dan mama akan bicara baik-baik dengan Vivi untuk tidak mengganggu Bapak lagi. Atau Bapak langsung block saja nomornya. Seperti yang Bapak bilang, Vivi gadis yang baik. Perlahan-lahan, dia pasti akan berhenti dan lupa. “Dan kamu?” “Saya?” tanya Jani bingung. “Saya akan tetap seperti ini. Menunggu Panji pulang dan menepati janjinya. Itu bukan masalah besar bagi saya.” Mulanya, mereka saling diam, membiarkan pendingin suara yang membuka tutup mengisi kekosongan di sana. Sampai Dafa bangkit dari posisi duduknya, “saya akan pergi. Titip salam untuk keluarga kamu.” Dan benar saja, setelah mengatakan itu, Dafa benar-benar pergi. Jani tidak perlu ditanya. Dia memilih memejamkan matanya dalam-dalam, meresapi dadanya yang kembali sesak bukan main. Dia tahu, dengan melakukan ini, dia sama saja menyakiti semua orang. Tapi, ingat bagaimana Panji dalam mimpinya, Jani sudah memutuskan. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Biarkan saja dia yang sakit sendiri. Keluarga tidak perlu ikut menanggungnya. Sudah cukup beban yang Jani bebankan pada mereka semua. Bahkan, kata Vivi dia tertidur dua hari pun, Nadia tidak menjenguknya. Kalau begini, bukan membenci Andra, Jani malah lebih membenci dirinya sendiri. Cinta memang bisa berubah menjadi sakit dalam waktu bersamaan. *** Perlu diketahui, cantik itu relatif. Dan semua perempuan itu cantik. Titik. Yang jelek itu, ya perempuan jahat macam nenek sihir. Mau secantik apapun wajahnya, tapi kelakuannya buruk, jatuhnya jelek. Sekiranya itu jika Jani diminta untuk mendeskripsikan makna cantik. Sudah berhari-hari didiami, ditambah mencoba mengingat-ingat apa saja nasihat Panji, membuat Jani mengerti kalau dia tidak salah. Jani bukannya menghindar dari masalah, bukan. Tapi kedua temannya yang malah menghindar satu sama lain. Dan lagi, Jani masih ingat perkataan kejam yang ditujukan Andra pada Nadia, dan itu tidak bisa diterima. Dia meminta Nadia untuk berhenti mencintainya, sedangkan dia sendiri mencintai dirinya. Mau menghujat pun, Jani sama saja menghujat dirinya sendiri. Namun tetap saja, Jani selalu membuat pembenaran untuk semua yang dia lakukan. Karena dalam hal ini, dia merasa masih menjadi milik Panji, jadi orang luar dihempas jauh-jauh saja. Seperti sekarang, Jani makan siang di Star bersama dengan teman-temannya yang lain, tidak lagi bersama Nadia dan Dafa. Kalau begini, orang yang tidak tahu, jadi tahu kalau mereka ada apa-apa. Untung project yang berbeda membuat mereka jarang dipertemukan akhir-akhir ini. Mereka sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Jani juga disibukkan dengan jadwal liris content di web resmi perusahaan. Karena perusahaan fly.id ini memang kantor cabang, jadi Jani tidak terlalu berat kerjanya. Namun tetap saja, ada kalanya dia mengambil waktu lembur. Seperti biasa, untuk menyibukkan dirinya sendiri daripada berdiam diri, mulai over thinking dan berpikir yang tidak-tidak. “Jan, yang content hari ini siap, kan? Jam-nya sesuai yang diminta klien?” “Siap, rilis jam 10 pagi ini. Yang lain stand by, ya. Dipantau visitor-nya.” “Siap.” Beberapa saat kemudian, jam tepat menunjukkan pukul 10.00 WIB. Jani yang menjadi penanggung jawab dari project ini langsung meng-klik tombol enter. Kemudian, situsnya resmi terbuka. Baru tiga menit, dari grafik yang terlihat, sudah ada 3000 pemesanan dari berbagai wilayah di Indonesia, dengan sebagian besar di daerah Jabodetabek. Jani tersenyum lega. Dia sudah memberikan email pada kliennya yang berisi tentang username dan password dari situs resmi tersebut. Alhamdulillah. Projek satu selesai, ganti projek selanjutnya. Teman-teman divisi sampai berkumpul dan berpelukan erat proyeknya tiga bulan terakhir ini berakhir dengan hasil yang sangat memuaskan. Dan tentu saja, perusahaan yang menggunakan jasa mereka merasa sangat puas. Jadi, mereka tidak rugi sudah membayar dengan harga yang tinggi untuk menggunakan jasa mereka. Dalam hal ini, tentu Jani dengan suka cita menyampaikan ucapan terima kasih dari sang klien pada teman-temannya. Jadi, itu yang mereka cari dalam bekerja. Manfaatnya untuk orang lain. Dulu, saat ditanya, Jani kerjanya apa, perempuan itu malah bilang jual diri. Maksudnya, dia memberikan servis tentang permasalahan sang klien dan membantu menyelesaikan keluhannya sampai selesai. Saking senangnya, Mas Aryo, kepala divisi yang baru memberikan mereka tip yaitu makan gratis di gedung sebelah karena pemintanya dalam satu jam mencapai 10.000 pemesanan, jadi perusahaan mendapat bonus besar. Siangnya, tepat saat makan siang, mereka pergi ke gedung sebelah yang masih milik Pak Kana untuk makan siang dengan boss besar Mas Aryo. Namun, saat mereka sudah duduk melingkar setelah orang di resto ribut menggeser bangku demi mereka bisa makan bersama, malah ada tamu tak diundang datang. “Pak Dafa.” Mas Aryo yang menyapa lebih dulu. Dafa yang saat itu kebetulan datang bersama tunangannya, alias Rania yang cantiknya memesona tapi kalau dibandingkan dengan Jani ya sama cantiknya, terlihat begitu berseri-seri. Dia belum sadar ada Jani diantara sepuluh orang yang ada di sana. “Hai, Mas. Rame-rame, ya.” “Iya, Pak. Dapat bonus dan menang tender lagi.” Dafa ikutan senang mendengar berita ini. Sampai, dia sadar ada Jani yang menunduk sibuk menikmati makanannya. “Tunangannya cantik banget, Pak. Nggak mau dikenalin sama kita?” celetuk Mbak Farah yang kebetulan sadar. “Ini Rania, bulan depan kami akan bertunangan. Kalian bersepuluh datang, ya. Nanti undangannya menyusul. Mendengar itu, Mbak Farah sampai tersedak. “Pak, tadi saya cuma bercanda.” Katanya tidak enak. “Tidak, kok. Memang saya ingin mengundang kalian. Tapi karena dibatasi, jadi saya hanya mengambil beberapa orang saja. Tolong datang, ya. Jangan lupa bawa pasangan.” Semua malah menertawakan Jani. Meski sudah bertahun-tahun kerja bersama, bukan berarti mereka tahu segalanya tentang Jani. Buktinya, mereka malah meledek. “Kita semua mah punya pasangan, Pak. Jani, tuh. Dideketin cowok susahnya minta ampun.” Tentu Jani hanya menyengir, sudah biasa dinistai seperti ini. “Iya, nanti saya bawa kucing peliharaan saya supaya ada gandengannya.” balas Jani akhirnya. “Buat apa, Jan?” “Buat nyakar buaya darat!” katanya asal. Dan semua orang malah tergeletak. Dafa dan Rania juga ikutan tertawa melihat ekspresi Jani. Bagi mereka, melihat salah satu ada yang dinistai itu merupakan kesenangan tersendiri. Seperti, ada rasa yang puas meski hanya bercanda. Dan memang, yang tadi itu bercanda. Jani mana pernah menganggap perkataan orang lain serius. Dia menjadi semakin masa bodoh sejak Panji pergi. Dengan begitu, dia tidak akan terluka. Karena yang mampu menyakiti Jani begitu dalam memang bukan orang lain, tapi orang yang begitu dengan nadinya. Dan dirasa, bukan hanya Jani yang merasakan itu semua. Pasti. Pasti ada satu atau dua yang merasakan hal tersebut. Tentu saja Jani bukti nyatanya. Jangankan dihina keluarga yang sudah tahu seluk beluknya bagaimana, apalagi kalau sampai orang luar yang tidak tahu apa-apa. Jani pasti langsung tutup telinga rapat-rapat. Katanya, terlalu bodoamat itu tidak baik. Namun apa boleh buat kalau memang itu yang bisa membuat seseorang bertahan? Mencoba mengerti pun, ada kalanya pikiran mengkhianati hati. Semuanya, tidak sesederhana seperti yang terlihat. Sama seperti dunia yang banyak misteri, perasaan seseorang bisa lebih misteri lagi. Kalau dunia masih bisa dipelajari. Kalau hati? Bahkan sampai matipun, kalau mulut tidak terbuka untuk jujur, maka tidak akan ada yang tahu apa yang sebenarnya sedang dirasakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD