13. Abangnya Vivi

2454 Words
Sejak pertemuan di atap rumah sakit kala itu, mereka tidak dipertemukan lagi sampai dua minggu berturut-turut. Baik Jani dan Dafa, mereka tentu mungkin sudah beda alam, sudah beda dunia dalam mamahami satu sama lain. Dafa punya orang lain, Jani tentu masih milik Panji, kan? Dia bahkan senang mengakui apapun yang dia rasa memang miliknya. Berbicara dengan Dafa di atap waktu itu, menyadarkan Jani kalau mengikhlaskan itu berat, tapi penting untuk dilakukan. Karena itu, Jani kembali seperti Jani seperti hari-hari sebelumnya. Dimana perempuan itu suka kerja, kerja dan kerja. Sampai sekarang, Jani masih bertanya-tanya. Bagaimana kalau dulu Panji datang ke rumah, terus melamarnya, berakhir menikah dan memiliki anak yang lucu-lucu. Membayangkannya saja, seperti ada kupu-kupu berterbangan dalam perutnya. Namun, kembali lagi, Panjinya tak kunjung pulang sampai sekarang. Baiklah, ini masih pagi. Jani akan memikirkan hal membahagiakan lainnya. Misalnya, menganggu Andra yang badmood seperti perempuan saat sedang PMS. “Pak, mukanya suram, amat. Nggak dapet jatah, ya, Pak?” Andra yang ditanyai begitu langsung menatap Jani ingin menerkam. “Jatah my ass!" makinya. Jani tergelak melihat Andra betulan menganggap serius omongannya, “ya abis muka kamu serem gitu. Kenapa? Sini cerita. Aku bantu kalau bisa.” Perempuan itu menepuk ruang di sebelahnya. Seolah-olah, dia betulan bisa memecahkan masalah Andra saat itu juga. “Nadia diemin aku, aku nggak tahu salahku apa.” Kata Andra frustasi sendiri. Kening Jani berkerut. Kemudian, dia tertawa lagi. “Cie-cie, susah didiemin pacar. Ya diajak ngobrol duluan, lah!” Tentu mendengar itu Andra kembali menatap Jani tidak suka. “Berapa kali aku harus ngomong sama kamu, sih, Jan? Aku nggak ada rasa sama Nadia.” “Ya terus kamu sukanya sama siapa, dong? Nggak mungkin sama aku, kan? Ya pasti enggak sih.” Kata Jani menjawab pertanyaan-pertanyaan sendiri. Agaknya, Andra terganggu dengan kalimat Jani barusan. Karena itu dia ingin memperjelas apa yang terjadi. “Kenapa nggak mungkin?” “Of course we are friend, Ndra. Kita sahabatan dari kecil.” Kata Jani paling waras. “Kamu pernah dengar omongan orang? Nggak ada yang murni dalam persahabatan antara laki-laki dan perempuan.” Jani jadi agak berpikir keras. “Ya berarti, kita teman. Kan, teman, baru naik tingkat jadi sahabat.” Argumennya lagi. Lelaki itu tertawa sumbang sambil memalingkan wajahnya. “Entah kamu nggak paham atau emang pura-pura nggak paham, Jan.” “Kok kamu ngomong gitu?” Jani tentu saja langsung menatap Andra tidak suka. Dia betulan tersinggung dengan perkataannya barusan. “Tadi kamu bilang kalau aku nggak mungkin suka sama kamu, kan? Gimana kalau kebenarannya aku suka sama kamu?” Sebenarnya, Jani saja yang terus denial. Tentu ini terlalu tiba-tiba jika Andra mengatakan itu semua meski dari dulu Jani sering mendengar ini. Entah dari temen-temennya, bahkan sampai orang tuannya sendiri ikut-ikutan bilang seperti itu. “Ya tetep nggak mungkin, Ndra. Kan kamu sayangnya sama Nadia. Kami ke aku, mah, cuma kasihan aja.” Andra menatap Jani tak percaya. Dia merutuki siapapun manusia yang mengatakan kalau perempuan adalah mahkluk Tuhan paling peka. Nyatanya, Jani tidak peka sama sekali. Entah betulan tidak peka atau hanya pura-pura, Andra tidak peduli. She could do anything her want. “Jangan ajak aku bicara selama beberapa hari.” Kata Andra dingin, langsung meninggalkan Jani begitu saja di Star yang ada di lantai bawah, gedung tempatnya kerja. Jani hanya diam, tanpa mau melihat ke mana arah Andra pergi. Sampai akhirnya, dia melihat Nadia berdiri termenung tak jauh dari tempatnya. Jani tentu langsung mengangkat tangannya, melambai agar Nadia datang ke mejanya. Namun, bukannya mendekati, Nadia malah balik badan tanpa mengucapkan satu patah kata sekalipun. Dan Jani, wanita itu kembali diam ditinggalkan dua orang yang berbeda hari ini. *** Jani tersenyum ketika jejak kakinya menyentuh pelataran bandara yang penuh sesak ini lagi. Setelah beberapa hari memutuskan untuk berhenti, nyatanya dia rindu bermain ke sini. Di tempat terakhir dia bisa melihat Panji sebelum pergi dan tak kunjung kembali sampai sekarang. Tentu ini sudah sangat sore, hampir Magrib malah. Namun, Jani masih asyik berdiri di sana, memandang pesawat yang lampunya menyala dengan tangan terlipat di depan d**a. Juga jaket yang dia kenakan ia rapatkan biar tidak kedinginan. Soal Andra tadi, Jani tidak terlalu mengambil hati. Jujur, jangankan semua orang, Panji saja dulu pernah bilang seperti itu. Kala itu, saat semua baik-baik saja, saat Panji masih di sampingnya. “Jan?” “Hm?” perempuan itu menatap Panji sekilas, kemudian tersenyum lebar. “Apa?” “Kamu percaya seandainya aku bilang kalau Andra suka sama kamu?” Mulanya, Jani terdiam agak lama, sempat berpikir juga. Sampai akhirnya, dia kembali tersenyum. “Kamu beneran mau tahu jawaban aku?” tanyanya waktu itu. Panji Pasrah saja dengan mengangguk. Jani jadi mengembuskan napas perlahan melihat Panji begitu ingin tahu akan jawabannya. “Kadang, aku ngerasa kalau dia emang suka sama aku. Tapi… mengingat dari kecil kita semua udah sahabatan, jadi sukanya aku anggap aja suka sesama sahabat gitu.” Panji tidak puas mendengar jawaban Jani, “kamu nggak tahu gimana kalau laki-laki jatuh cinta.” “Memangnya bagaimana?” “Jan, serius!” Panji merajuk. “Lhoh, aku serius ini. Memangnya aku ngapain coba?” “Kamu belum jawab pertanyaan aku.” Panji mengingatkan. Jani mengembuskan napas, kemudian mengusap kepala Panji yang ada di pangkuannya pelan. “Andra jatuh cinta sama aku? Itu kan yang kamu maksud?” Sekarang malah Panji yang tidak merespon sampai Jani harus mengembuskan napas sekali lagi. “Masalah dia seandainya jatuh cinta sama aku, Nji. Dia tahu dari awal aku cintanya sama kamu. Aku cerita apapun sama dia, dan dia terlihat senang juga. Lagian, Nadia suka sama dia tahu!” “Gimana kalau cintanya ke kamu lebih besar daripada cintaku ke kamu? Kamu mau pilih dia?” “Apaan sih?” Jani menatap Panji tak suka. Kemudian dia mendorong tubuh Panji agar bangkit dari pangkuannya. Dan saat berhasil menyingkirkan lelaki itu, Jani ingin pergi, tapi ditahan sampai dia kembali duduk di sofa. “Jan, jangan pergi dulu. Ini serius.” “Kamu kenapa sih jadi ngomongin ini? Kenyataannya kan aku sama kamu sekarang. Kenapa mikir yang enggak-enggak. Kalau Andra suka atau cinta sama aku, itu masalah dia. Aku nggak pernah minta dia buat cinta sama aku. Aku nggak suka sama pembahasan ini!” Panji harus repot menahan Jani agar perempuan itu tidak pergi dari kamarnya. “Kamu tahu, kan? Aku bentar lagi ada dinas.” Jani menarik tangannya kasar, kemudian bersedekap d**a tanpa mau melihat ke arah Panji. “Kamu tahu aku suka takut kalau pergi.” “Ya makanya jangan pergi!” kata Jani judes. Panji mendesah lelah. “Nggak bisa. Itu tanggung jawab aku.” “Ya terus mau kamu apa?” tanya Jani kesal sendiri. Dia tidak paham dengan pembahasan Panji yang menuai pertikaian. “Kamu tahu kan, kalau setiap perjalanan ada risikonya. Yang pergi, belum tentu kembali lagi. Aku Cuma mengantisipasi kalau terjadi sesuatu sama penerbangan besok. Kita nggak pernah tabu rahasia Tuhan, Jan.” “Terus?” “Kalau terjadi apa-apa, aku minta kamu sama Andra, ya. Dia sayang banget sama kamu. Bahkan aku iri kalau dia lebih sayang sama kamu. Ak—” Belum selesai Panji mengatakan maksud hatinya, Jani malah balik badan dan meninggalkan laki-laki itu sendiri di ruang keluarganya. Dan Panji, dia tidak mau dikejar, sampailah mereka diam-diaman hingga hari H keberangkatan Panji untuk dinasnya. Jani buru-buru menggeleng saat otaknya memutar kenangan lama. Kalau dibiarkan, dia bisa menangis histeris di sana. Karena itu, otaknya dia isi hal lain untuk peralihan. Sampai, senyumannya kembali terbit kala melihat pesawat di depan dan meluncur jauh dan terbang membumbung tinggi. Sama seperti hari-hari sebelumnya, dia berbalik ingin pulang. Namun, hal tak terduga kembali terjadi dalam hidupnya. Tepat lima meter di depannya, dia melihat pria yang mirip Panji lagi. Karena sedari tadi Jani terus memikirkan Panji, jadi dia lupa kalau masih ada manusia bernama Dafa Arkana. Perempuan itu berjalan pelan, kemudian berhenti tepat di depannya, menatap rahang tegas lelaki itu sekali lagi. Seperti yang sering ia lakukan dulu. “Kenapa wajah kamu mirip banget sama Panji? Boleh nggak, kamu jadi Panji aja? Jangan jadi Dafa?” tanya Jani dengan mata berkaca-kaca. Demi Tuhan dia lelah terus seperti ini. Dafa tak menunjukkan respon yang berarti. Dia hanya menyelami tatapan nanar yang Jani berikan. Perempuan di depannya ini begitu rapuh. Di tegur sedikit saja pasti langsung hancur berkeping-keping. “Kamu cinta banget sama dia?” Jani menggeleng. “Aku benci sama dia. Dia pembohong. Dia nggak pulang-pulang.” Dan pada akhirnya, Jani menangis sambil menunduk, tak mau menunjukkan air matanya pada siapapun. Ini yang dulu sangat Jani harapkan. Saat datang ke bandara, dia menjemput Panji yang pulang, bukan orang lain yang wajahnya mirip Panji. “Saya antarkan pulang.” Kata Dafa saat Jani sudah agak tenang. Kalau tidak ingat punya kekasih, pasti sudah dia peluk sedari tadi perempuan menyedihkan di depannya ini. “Tidak usah.” “Saya antar pulang.” Dafa bersikeras. Pada akhirnya, Jani mengalah. Dia mau diantarkan pulang. Saat perjalanan, mereka hanya diam. Jani hanya memandang luar lewat kaca mobil yang gelap. Ada setitik rasa penyesalan kenapa dia harus menangis lagi di depan orang ini pula. Lelaki itu akan berpikir apa tentang dirinya? Sudahlah, Jani tidak peduli. Citranya dulu sudah jelek. Namanya tak jauh-jauh, sekiranya seperti ini. “Jani yang gila ditinggal pacarnya mati, kan?” Karena itu, dia tak terlalu banyak berharap. Dia menggantung harapannya pada Tuhan. Dan tahu-tahu, mereka sampai di pelataran rumah Jani. Mereka sama-sama keluar. Dafa malah fokus melihat ke rumah sebelah kiri. Jani yang sadar langsung melihat ke arah yang sama. Ternyata, Dafa melihat pohon mangga. “Pohonnya berbuah, Pak. Mau saya ambilkan? Tapi Bapak yang panjat.” Kata Jani bergurau dan Dafa ikutan tersenyum tipis. Sebenarnya bukan itu fokus Dafa, tapi itu pohon yang sama yang dia lihat di rekaman handphone Jani beberapa minggu lalu. Kalau dulu dis melihatnya sebatas rekaman, sekarang dia melihatnya secara langsung. Belum juga pikirannya tertata, suara melengking terdengar dari arah depan. Tentu Dafa langsung menoleh. “Kak, habis darimana baru pulang jam segini? Udah dibilangin jang—PANJI!” Bu Intan terkejut bukan main melihat sosok yang begitu mirip dengan Panji. Dia sampai berlari dan merengkuh wajahnya dan memeriksa tangannya, seolah mencari luka. “Panji, kamu kemana aja, Nak? Kenapa baru pulang sekarang? Kenapa ninggalin anak mama sendiri? Kamu baik, hm?” Tentu diperlukan seperti itu, Dafa diam saja. Sampai Jani maju dan menarik mundur mamanya, kemudian memeluk dan berbisik lirih di telinga mamanya itu. “Dia bukan, Panji, Ma.” Bukannya terima, Bu Intan malah membentak. “Kamu gimana sih, Kak? Jelas-jelas ini Panji yang kamu tangisin tiap hari. Kenapa waktu pulang malah kamu diemin?!” “Dia bukan Panji, Ma.” Ulang Jani masih sama. Sampai akhirnya, Dafa angkat suara. “Maaf tante, anak tante benar. Saya bukan Panji, tapi Dafa. Memang kebetulan wajahnya mirip.” Katanya tidak enak. Bu Intan menggeleng sekali lagi. Kemudian melihat wajah nanar putrinya, dia langsung memeluk Jani. “Maafin mama, ya, Kak? Mama nggak tahu.” Jani tidak menangis. Dia hanya memejamkan matanya dalam-dalam. “Nggak papa, Ma. Aku udah beberapa kali ketemu sama Pak Dafa. Dia itu anaknya direktur utama perusahaan tempat aku kerja.” Mereka mengurai pelukannya dan Dafa jadi canggung sendiri. “Pak Dafa belum makan malam, kan? Ayo makan malam bareng kita, ya? Kebetulan saya baru selesai masak. Tadi keluar mau marahin Jani karena pulang telat.” Belum juga memberi jawaban, Dafa malah diseret ke dalam rumah. Jani hanya mengembuskan napas pelan dan dalam hati tidak ada yang jantungan karena terkejut melihat Dafa. Saat ini, Bu Intan sudah menggandeng Dafa sampai di ruang keluarga, kemudian bersuara untuk menyapa suami beserta anak sulungnya yang sudah duduk tenang di sana. “Papa, Dek, coba lihat yang datang siapa?” Merasa ditegur, mereka yang di meja makan tentu langsung menoleh. Di saat sang suami terdiam dengan tatapan shock, Vivi malah berlari dan menubruk Dafa. “Bang Panji!” serunya. “Abang kenapa nggak pulang-pulang, sih? Kak Jani jadi gila tahu?! Abang kemana aja? Kenapa baru pulang sekarang? Oleh-olehku mana?!” tangisnya pecah sambil memeluk Dafa begitu erat seolah Dafa memanglah bukan orang lain. Dia benar Panjinya mereka yang hilang. Jani mulanya ingin menangis tapi mendengar oleh-oleh masih disebut-sebut, membuat air mata Jani bercampur dengan tawa bahagia meski dia tahu, semua ini hanya sementara. “Dek, lepasin dulu, ya. Itu namanya Pak Dafa, bukan Bang Panji kamu.” Vivi mengusap air matanya kasar, menangis sebentar saja matanya sudah memerah hebat seperti itu. “Mungkin udah lima tahun, Ma. Tapi aku ingat wajahnya Bang Panji. Itu!” Vivi menunjuk foto keluarga mereka yang berderet di ruang keluarga dan banyak juga Panji turut serta di dalamnya. “Dia Bang Panji!” katanya bersikeras. Bu Intan memberikan tatapan memohon maaf pada Dafa, dan lelaki itu mengangguk seolah memaklumi. “Yaudah, makan malam dulu.” Katanya Bu Intan. Alhasil, mereka memang makan bersama. Ruang makan itu malah diisi dengan Vivi yang bicaranya banyak hal, termasuk hal gila apa saja yang dilakukan Jani sampai Bu Intan harus memeringati Vivi agar berhenti bicara yang tidak-tidak. “Ih apa sih, Ma. Biarin aja aku aduin Kakak ke Bang Panji.” Vivi melirik Jani dengan mata memicing. “Ya kan, Bang? Dia tuh masih keras kepala, nggak berubah-ubah. Egois, mana hidup lagi.” Tuh kan, omongan pedas Vivi keluar lagi. Dia sudah terlanjur gedeg dengan semua yang Jani lakukan selama ini. Dan Jani, dia baru sadar kalau sudah mempengaruhi psikologis Vivi. “Iya, kakak minta maaf. Kamu makan aja, jangan bicara yang macam-macam.” Jani memeringati. Kemudian, hening karena mereka kembali menikmati makan malam ini. Papanya Jani saja terlihat masih shock. Sampai saat malam malam itu selesai, kedua orang tua Jani pamit pergi. Hingga, tinggal lah mereka bertiga. Jani sedang beres-beres piring saat Vivi kembali membuka pembicaraan dengan Dafa. “Bang, Abang tahu, nggak? Gara-gara denger Abang jadi korban pesawat jatuh, Kakak melakukan percobaan bunuh diri beberapa kali, tapi selalu berhasil digagalkan sama Bang Andra. Kakak juga sering bicara sendiri, aku jadi takut deket-deket sama dia. Makanya aku selalu ngomong jahat biar dia nggak deket-deket aku. Gimana kalau dia tiba-tiba bawa pisau terus ngapa-ngapain aku?” Dan pembicaraan mereka berhenti saat Dafa mendapat telfon. Dia izin sebentar untuk mengangkat telfon dan saat kembali, semua orang sudah duduk di ruang keluarga. “Maaf, Om, Tante, saya harus pergi sekarang.” Bu Intan yang pertama-tama bangkit untuk menyalimi Dafa, dia bahkan memeluk Dafa sekali lagi sambil bergumam dengan mata berkaca-kaca. “makasih, ya. Vivi jadi pendiam sejak Panji pergi dan Jani lepas kendali. Hari ini, dia bisa tertawa lepas lagi karena kamu.” Dafa hanya mengangguk singkat. Kemudian Vivi lagi-lagi merengek, dan hampir menangis lagi. Untung, iming-iming hadiah novel langsung membuat gadis itu menurut. Dan sekarang, saatnya semua orang melepas orang yang mirip Pamji ini. Jani tersenyum tak enak karena sadar kalau Dafa pasti tidak nyaman dengan semua yang terjadi di dalam rumahnya barusan. “Untuk keluarga saya, saya minta maaf, ya, Pak. Terima kasih karena sudah mau berbicara dengan Vivi.” Dafa membalas Jani dengan senyuman tipis. “Dia gadis yang manis, saya menyukainya. Dia membuat saya nyaman meski baru pertama bertemu.” “Panji suka berkata seperti itu.” “Hah?” “Tidak apa-apa, Pak. Ini sudah malam, hati-hati di jalan.” Dafa hanya mengangkat bahunya tak acuh dan berbalik memasuki mobilnya dan benar-benar pergi dari pekarangan rumah Jani. Pada akhirnya, Jani memang ditinggalkan sendiri. Yang tadi itu, bukan Panji. Melainkan hanya orang asing yang kebetulan mirip dengan Panji.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD