8. Terlalu Dini

2342 Words
Dari banyaknya hari yang berlalu, satu yang Jani sadari. Dia bersyukur masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk hidup sampai sekarang. Setidaknya, dia diberi kesempatan dipertemukan dengan orang yang mirip Panji meskipun itu bukan Panji. Ya, apapun itu memang harus disyukuri. Sakit itu tetap ada dan semakin ke sini, semakin menganga dengan lebarnya. Tapi dia bisa apa? Masih diberi kesempatan hidup sampai sekarang saja, dia sudah sangat berterima kasih. Terkadang, Jani merasa sangat bodoh saat mengingat percobaan bunuh dirinya yang selalu gagal total. Merasa sangat bodoh dan menyedihkan sekali. Siang tadi, dia bukannya berniat bunuh diri seperti hari lalu. Lelaki itu saja yang mengambil kesimpulan terlalu dini. Jani melakukan itu dari awal kan memang untuk menguji dirinya sendiri. Dan dengan bodohnya, lelaki itu malah datang bak pahlawan kesiangan setelah di rumah sakit waktu itu meninggalkannya begitu saja. Siapa yang tidak sedih saat orang yang bertahun-tahun ditunggu kepulangannya dan saat bertemu, dia malah dicampakkan seperti tidak ada artinya sama sekali? Tentu Jani sedih. Keinginan untuk mencakar Dafa masih ada sebenarnya. Namun, Jani sangsi kalau masih diberi kesempatan melakukan itu semua. Masalahnya, mereka terlalu jauh sekarang. Mungkin benar, Panji dan Dafa orang yang berbeda. Wajah mereka memang bagai pinang dibelah dua, tapi kelakuan, Panji jauh di atas rata-rata. Dan Jani, dia tidak mungkin salah mengenali kekasihnya. Dan sekali lagi, perempuan itu harus mengingatkan dirinya sendiri. Di dunia ini, besar kemungkinan setiap orang tanpa ikatan suatu apapun tapi memiliki wajah yang sama. Bahkan, Jani sering melihat tayangan di televisi yang menampilkan akan hal itu. Jani menggeleng pelan di depan meja riasnya. Kepalanya yang berat, dia sangga dengan kedua tangan yang sikunya bertumpu pada meja rias. Kemudian tatapannya menunduk, melihat kartu nama yang diberikan Nadia siang tadi. Dafa Arkana. Jani bisa saja mengirim email ke alamat yang ada di sana. Namun, dia cukup tahu diri dengan membaca jabatan yang tertulis jelas di sana. Dia kerja di fly.id sudah tiga tahun. Dan fly.id sendiri anak cabang dari perusahaan Ormrod. Dan di kartu nama itu, jelas kalau Dafa bekerja di kantor pusat yang berada di pusat ibukota, tidak jauh dengan fly.id sendiri sebenarnya. Namun, Jani tahu Ormrod adalah pusat dari berbagai anak cabang yang ada di Indonesia. Perusahaan itu bekerja di bidang properti. Sedangkan Jani sendiri membuat content tentang properti yang biasanya dicari oleh orang-orang kalangan atas. Intinya, perusahaan itu bergerak di bidang properti. Bukan hanya menyiapkan bakal propertinya yang biasa bertempat di Menteng, perusahaan itu juga menyiapakan seluruh keperluan untuk properti. Jadi, dalam satu kesatuan, klien bisa mendapatlan semua yang dia cari, tidak perlu mencari ke perusahaan terpisah. Hanya tinggal buka web yang sudah disediakan dan tinggal memilih untuk perlengkapannya. Selain itu, Ormord juga manaungi pembangunan apartemen elit di Menteng, ada juga beberapa resort ternama di Bali dan Nusa Kambangan. Belum lagi perumahan yang berpusat di ibukota dan sekitarnya. Lima belas menit berlalu dengan pikirannya yang kosong, Jani bangkit dan meninggalkan kartu nama itu begitu saja. Dia tidak ingin melakukan apapun sekarang, kan? Jelas-jelas nama belakangnya Arkana. Meskipun Jani tidak terlalu peduli dan up to date dengan jajaran direksi di Ormord, Jani cukup sadar diri kalau nama Arkana ini pusat dari segala pusat. Bagaimana tidak? Direktur utama dari Ormord sendiri sekaligus pendiri dan tentunya memiliki saham terbanyak adalah Bapak Hadi Arkana. Tentu saja Jani bisa langsung tahu kalau Dafa Dafa ini adalah anaknya. Ah, harusnya Jani membuka mata sedari dulu. Dengan begitu, dia tidak perlu menangisi apa yang memang tidak sepantasnya dia tangisi. Mana mungkin Panji berubah jadi Dafa dan Dafa menjadi Panji? Konyol kan? Pekerjaan yang mereka geluti memang sama, di bidang properti. Tapi melihat watak Dafa yang baru ditemui beberapa kali, membuat Jani sadar setengah mampus. Dirinya memang seharunsya berhenti sejak semua orang menyatakan kalau Panji sudah tiada. “Mau ke mana, Kak? Tumben udah cantik, biasanya telungkup di kasur?" sindir mamanya Jani tersenyum tipis mendengar perkataan mamanya. Kemudian, dia berjalan dan mengambil tangan Bu Intan secara tiba-tiba. “Aku pergi dulu ya, Ma. Mau main sama Nadia sama Andra.” Bu Intan yang terkejut hanya tersenyum tidak ikhlas. Tidak biasanya Jani seperti ini. Setidaknya lima tahun terakhir ini. "Yaaa, hati-hati. Jangan pulang malem-malem, awas dikunci pagarnya!” Jani menjawab sambil lalu. “Kalau dikunci, aku tidur sama Nadia atau…sama Andra.” “Eh bocah dibilangin, ya?!” Jani berlari kecil dan tertawa cekikikan mendengar mamanya mengomel dari jarak jauh tetap terdengar. Setelah di pekarangan, langkah Jani terhenti saat merasa ada yang sedang memperhatikannya. Saat dia menoleh ke arah rumah Panji, Jani hanya bisa mengembuskan napas lelah tak mendapati apa-apa. Biasanya, dia akan melihat Panji melambai-lambai dari jendela kamarnya seperti orang gila. Yaaaa seperti orang gila, tapi Jani sangat mencintainya. “Ngapain?” “YAROBUN!” Jani sampai mundur dua langkah karena terkejut Andra tiba-tiba ada di depan wajahnya. “Sejak kapan kamu di sini? Ngagetin aja!” Jani memicing tidak suka. Andra cuek bebek, lalu menatap arah yang sempat Jani tatap tadi. Andra menghela napas pelan, Panji lagi. Panji, Panji, Panji, dan Panji terus. Lama-lama, muak juga Andra dengan Jani. Terkadang, dia merasa kasihan dan merasa kalau Jani sangat bodoh di waktu bersamaan. “Jadi pergi, nggak? Nadia nggak jadi ikut.” kata Andra memberi tahu. Mereka berjalan beriringan keluar pagar saat itu, “lhoh, kenapa? Perasaan tadi kantor nggak sibuk-sibuk amat.” Andra mengangkat bahunya tak acuh. “Nggak tahu. Jadi pergi, nggak?” lelaki ini mengulang pertanyaan yang belum dijawab oleh Jani. “Ya kamu pikir kita sampai di depan gerbang mau putar balik ke rumah? Kalau kamu nggak mau pergi, aku bisa pergi sendiri.” Jani mendahului Andra dan ingin menyetop taxi, tapi Andra langsung menghentikan Jani dan menarik tangannya pelan menuju rumahnya. Iya, rumah Andra berada di sayap kiri, dia mengambil mobil dan menghampiri Jani yang terdiam di depan gerbang. “Masuk!” titahnya tak terbantahkan. “Tahu tadi jemput aku pake mobil sekalian.” Andra berdecak sebal dengan putri jadi-jadian di sampingnya sekarang. “Orang tinggal jalan dikit sampai, lemah banget jadi perempuan. Makanya banyak olahraga.” Jani mendengkus dan tanpa minta izin, dia menyalakan musik di mobil Andra. Kebetulan, yang berputar lagu One More Night – Maroon 5. Jani ikut bersenandung ria, mengabaikan pak supir alias Andra yang fokus menyetir di sampingnya. “Nanti mau ngapain?” tanya Andra memecah keheningan setelah masuk ke arah jalan Senopati. Jani tidak langsung menjawab. Dia terlihat berpikir sejenak. Kemudian, dia baru tersenyum ke arah Andra. “Aku mau beli peralatan melukis.” katanya ceria. Andra diam, mencoba mencerna yang sedang terjadi. Pasalnya, Jani berhenti semenjak lima tahun yang lalu. Ya, yang mana lagi kalau bukan karena kepergian Panji. Terkadang, Andra benci pada Panji yang begitu jahat karena meninggalkan Jani seorang diri di sini. Tidak tahukah lelaki itu kalau orang Jani hampir mati berkali-kali karenanya? Sudahlah, abaikan saja. Panji sudah tiada, dia mana paham, kan? Sampai di mall, Jani berjalan lebih dulu sejak Andra memarkirkan mobilnya di lantai tujuh. Dia berbelok ke arah kiri, kemudian naik ke lantai delapan, tempat peralatan lukis berada. Kalau Andra membawa anak kecil, dia mungkin pergi ke bagian keamanan mall untuk mengumumkan dicari perempuan setengah waras bernama Jani. Pasalnya, Jani meninggalkannya begitu saja. Dia kira, Andra supir betulan. Satelah sukses menyusul Jani, Andra mengembuskan napas pelan. Dia memasukkan kedua tangannya di saku celana dan menghampiri Jani yang tengah melihat-lihat cat air. Matanya berbinar di tempa cahaya lampu yang terang. Andra sampai terpana beberapa saat sampai dia tersadar saat Jani menegurnya. . “Ndra, ini bagus, kan?” “Hah, gimana iya?” Senyum Jani hilang, dia menatap Andra rada jengkel. “Ngelamunin apa sih? Diajak ngobrol nggak nyambung!” Andra menggeleng pelan, kemudian menghampiri Jani lebih dekat. Dia ikut melihat berbagai jenis cat air dengan merek yang berbeda. “Lah biasanya kamu beli yang mana? Nggak mau pake krayon?” Jani menjawab sambil lalu. “Bentar, aku mau pilih pensil.” Andra melihat-melihat, kemudian tatapan matanya jatuh pada sketsa abstrak yang dipajang di ujung venue. “Jin. Jini oh Jini, sini deh. Ini…bukannya lukisan kamu?” Jani menoleh, kemudian berjalan mendekat ke arah Andra. Dia terdiam beberapa saat dengan tatapan nanar. Saking banyaknya hari yang terlewat membosankan, Jani sampai lupa kalau dia meninggalkan banyak kenangan di mana-mana. “Iya kan, ini punya kamu?” Andra berbicara lagi. Bukan lagi berupa pertanyaan tapi pernyataan. Jani tersenyum, dia mengusap pelan permukaan kanvas itu, kemudian berlalu lagi. Andra yang menyadari satu hal, tentu langsung mengikuti Jani. Dia berjalan di belakang perempuan itu. “Kenapa nggak dijawab?” desaknya menuntut. “Kenapa bisa ada di sini? Kamu jual?” Jani tersenyum tipis sambil mengambil beberapa pensil mulai yag paling tipis sampai yang paling tebal. “Emang sengaja aku hibahin ke sini.” Sebelah alis Andra naik, dia tidak mengerti. “Hibah apaan? Masak hibah lukisan?” Jani berdecak sebal dan memberikan belanjaannya pada Andra. Andra memang payah, tidak tahu apapun. Tahunya hanya rencana-ren cana bagaimana menang tender dan banjir klien. Sudah, itu saja. Jujur, Andra ingin tahu kenapa lukisan itu bisa sampai di sini. Pasalnya, Jani paling tidak suka lukisannya disentuh orang lain. Dia rela menyembunyikan lukisan indahnya di kamar daripada di pajang di tempat terbuka seperti ini. Panji, lelaki itu tidak suka sama sekali dengan seni. Tapi dengan Jani, dia mulai menerima apapun yang ada pada perempuan itu. Termasuk hobi melukisnya. Jani juga sering pergi ke galery untuk melihat-lihat lukisan karya anak bangsa yang tak kalah bagus. Seandainya Jani mau, dia bisa bergabung dengan club-club ternama. Namun kembali lagi. Dia tidak suka keramaian dan lebih senang menikmati karyanya sendiri. Paling, hanya dia publikasikan di insta story ** atau w******p. Ya, setidaknya itu lima tahun yang lalu. Karena Jani, berhenti menaburkan tintanya bertepatan saat Panji pergi. Dan sekarang, tentu saja Andra sedikit terkejut. Sedikit was-was sebenarnya. Masalahnya, Jani mulai menggeluti kesenangannya kembali saat bertemu dengan Dafa. Andra takut kalau Jani masih menganggap Dafa sebagai Panji. Bukan apa-apa, dia hanya takut kalau Jani terluka akan perasaannya sendiri. Karena benar, Andra mencari tahu tentang Dafa beberapa hari ini. Dan dia menemukan sesuatu yang lebih baik Jani tidak mengetahuinya sampai kapanpun. “Ndra?” Jani melambaikan tangannya di depan wajah Andra yang terdiam di tempat. “Hi? What do yo think? Dari tadi ngalamun terus.” Lagi-lagi, Andra tersentak. Dia mengusap wajahnya kasar. Bisa-bisanya dia malah ketularan Jani yang biasanya melamun. Mungkin ini balasan saat dirinya terus saja mengolok-olok Jani suka melamun. Kan, dirinya juga jadi melamunan sekarang. “Kamu nggak enak badan?” tanya Jani memastikan. Andra mengerjap saat Jani menyentuh keningnya, kemudian dia mundur satu langkah menjauh. “Apa sih? Orang aku gak papa.” katanya tidak suka dengan perlakuan Jani barusan. “Ya kamu diem terus dari tadi. Hati-hati entar pas pulang.” “Ya-iya, bawel banget.” Andra menjawab sambil sibuk melihat-lihatl lagi. Selesai dengan belanjaannya, Andra mengajak Jani sekalian makan. Mereka kembali ke lantai paling atas untuk membeli makan. Makanan mereka juga seperti makanan orang pada umumnya. Di saat Andra memilih nasi padang, Jani memilih nasi soto. Mereka makan dalam diam sampai Andra menyelesaikan makan malamnya lebih dulu. “Kamu masih susah nelen sampai sekarang?” tanya Andra yang kebetulan sudah selesai makan lebih dulu. Jani mendongak menatap Andra dengan mulut yang masih mengunyah. Dan saat berhasil menelannya, Jani baru angkat suara. “Kok tau?” “Ya itu, makan dari tadi gak selesai-selesai. Keburu tutup nih mall.” Jani melempar tisu kotor ke arah Andra tanpa pikir panjang. “Jorok, Jin!” “Ya kamu rese. Emang kamu pikir aku mau susah nelen, sakit tau ditenggorokan.” “Ya makanya periksa.” Balas Andra cuek. Jani memutar bola matanya malas dan melanjutkan makan malamnya sebelum dingin. Omong-omong di sana dingin juga karena di luar hujan. “Ndra?” Jani menatap Andra memelas. Andra tak bersuara, hanya menatap Jani dengan arti ada apa. “Jaket dong, dingin nih.” “Ya elah.” Andra melepas jaketnya dengan terpaksa. Kemudian, mengulurkannya pada Jani. “Jangan diilerin.” peringatnya. Tak peduli, Jani langsung mengenakannya. Kemeja yang dia pakai sedari tadi tak mampu membuat tubuhnya hangat. “Thanks.” Andra tak menjawab, hanya bersedekap d**a, kemudian memeperhatikan Jani yang makan dalam diam. Hingga waktu berlalu, dan Andra kembali bersuara. “Kamu sadar nggak Jan?” “Apa?” Jani menatap Andra sambil membersihkan mulutnya dengan tisu. “Kamu cantik.” Bukannya tersipu malu, Jani malah sibuk mengotak-atik hapenya, menscroll  chat-chat tak penting dari lelaki hidung belang yang antre mengajaknya jalan. Kalau sudah begini, dia akan memblokir nomor-nomor itu tanpa pikir panjang. “Aku nggak dapet penghargaan nih, bilang kamu cantic? Senyum kek, malah dicuekin. Untung minumanku udah habis ya, kalau enggak, aku guyur kamu.” Bukannya marah, Jani malah tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Andra yang menurutnya sangat menggelikan. Dia menatap Andra dengan mata yang berair, tak tahu lagi harus menanggapi bagaimana. Pasalnya, Andra sesalu bilang dirinya cantik saat keluar berdua seperti ini. Dan Jani tahu kalau Andra melakukan itu semua untuk menghiburnya. Namun, Jani mana tahu maksud Andra yang sebenarnya apa. “Iya…thanks Ndra. Thanks pakai banget udah bilang aku cantik. It's enough?" Andra langsung berdiri dan meninggalkan Jani begitu saja. Jani tentu langsung berjalan cepat mengikuti Andra. Untung sudah bayar, kalau belum, bisa dikejar pelayan di sana mereka dikira melarikan diri. “Ndra ih, tungguin!” teriaknya sambil berusaha menyaingi langkah Andra yang begitu lebar. Sesekali sibuk menunduk untuk melihat barangnya sudah dia bawa semuanya apa belum, takutnya ada yang ketinggalan. Andra memang tidak punya hati. Dan karena berjalan sambil menunduk, Jani tidak sengaja menabrak seseoarang sampai satu paper bag milinya jatuh dan diambilkan oleh orang yang menabraknya. “Duh maaf mas, saya nggak sengaja.” “Gak papa m-“ Baik Jani maupun lelaki itu hanya terdiam dengan tatapan sulit diartikan. Kemudian, Jani yang tersadar lebih dulu, langsung mengambil paper bag yang dipegang oleh lelaki itu. “Maaf Pak, permisi.” ujarnya dingin. Dafa terdiam di tempatnya saat Jani langsung berlalu begitu saja. Niat hati ingin mempertanyakan sikapnya yang tidak sopan, Dafa malah tersenyum lebar melihat seseorang perempuan yang melambaikan tangan kearahnya. Saat itu juga, Dafa melupakan Jani dan menghampiri perempuan cantik yang menunggunya itu. Siapa lagi kalau bukan cintanya, kesayangannya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD