3. Tumbang

2247 Words
Melihat ini? Iya, Andra sudah terlalu sering melihat Jani tumbang seperti ini. Dia bahkan sampai tidak ingat karena terlalu seringnya. Jani suka sekali menyiksa dirinya sendiri yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Karena kebenarannya, dia melakukan apapun, Panji tidak akan pernah kembali kalau lelaki itu memang sudah tiada.  Harusya Jani mengerti, masih ada orang-orang yang sangat menyayanginya. Jani tentu boleh sedih akan kepergian Panji, tapi tidak seharusnya sampai berlarut-larut seperti ini. Tuhan saja sudah menegaskan kalau Dia tidak suka dengan sesuatu yang berlebih-lebihan. Dan bersedih, itu termauk di dalamnya. “Maaf ya, Ndra. Kamu jadi susah karena Jani.”  Andra hanya tersenyum miris melihat Bu Intan mengusap rambut Jani sayang. Wanita itu tak kunjung tersadar juga setelah diperiksa oleh dokter.  "Jani mau sampai kapan gini terus, Tan?” Andrae bertanya menggunakan nada yang pelan, hampir menyerupai bisikan. Bukannya menjawab, Bu Intan malah membekap mulutnya sendiri dan berlalu keluar dari kamar Jani begitu saja. Andra hanya bisa memejamkan matanya dalam-dalam. Dia tidak bermaksud membuat Bu Intan menangis. Namun kenyataannya, dia telah melakukannya.  Sejalan dengan hatinya, Andra berjalan mendekat dan duduk di sisi ranjang, menatap nanar wanita yang terlihat menyedihkan dilihat dari sudut pandang manapun. Kalau Jani mau, sebenarnya dia bisa bahagia. Namun, dia lebih memilih hidup menderita seperti ini. Orang tua Jani diam saja bukan karena tidak peduli. Justru karena kepeduliannya mereka memilih bungkam. Tanpa disuruh, mereka pernah menjelaskan kepada Jani tentang Panji yang sudah pergi. Tapi reaksi Jani selalu melebihi batas. Hingga untuk cari aman, mereka memilih diam selagi Jani tidak melakukan sesuatu yang nekat.  Yang namanya umur memang tidak ada yang tahu. Dan Jani… Dia adalah salah satu orang yang belum bisa menerima takdir Tuhan dengan seksama. Dia membuat semuanya jauh lebih susah saat memutuskan untuk terus mengingat Panji. Ini bukan soal kesetiaan yang dijunjung tinggi. Ini lebih dari itu. Cinta… Jani mengatasnamakan semua yang dia lakukan adalah cinta. Dia mencintai Panji dan semua orang tahu itu.  "Nggak mau bangun, Jin? Nggak capek tidur terus? Makan-makan, gih. Seneb aku lihat tubuh kurus kamu, tuh!” Kemudian, Andra terkekeh sendiri saat Jani tidak merespon hujatannya. Ya tentu saja Jani tidak akan merespon, dia saja masih tidak sadarkan diri.  Mungkin, Andra juga sudah tertular oleh Jani. Memang benar, lingkungan mempengaruhi sifat. Dan bersama Jani, Andra semakin paham apa itu menyayangi tanpa pamrih yang berarti. Merasa cukup puas memandangi Jani, Andra memutuskan keluar dari kamar wanita itu. Saat keluar, dia disambut raut lelah orang-orang yang duduk di ruang keluarga. “Tan, Om, aku pulang dulu, ya?” pamitnya.  "Makan malam di sini saja. Kabari mama, kamu.”  Andra tersenyum seadanya. “Maaf, Tan, aku ada kerjaan yang harus diurus sekarang. Mungkin lain kali.”  Bu Intan mengembuskan napas pelan. “Iya, makasih ya udah jagain Jani. Jangan capek jaga anak itu.”  Sekali lagi, Andra hanya tersenyum. Selagi Jani mau dijaga olehnya, Andra akan selalu menjaga Jani tanpa diminta sekali pun. Jani, memang begitu berarti baginya. Tak peduli apa yang menimpa wanita itu dari dulu dan bahkan masih berjalan sampai sekarang.  *** Dini hari, Jani tersadar. Dia tak terlalu memedulikan kepalanya yang sakit, yang menjadi fokusnya sekarang adalah cahaya remang-remang seolah menyorot tepat di foto Panji bersama dirinya yang berada di nakas samping tempat tidur. Jani tersenyum, melihat itu, dia seperti melihat Panji tengah menjaganya dalam tidur. Jani sendiri bahkan yakin kalau dirinya sudah gila sejak Panji pergi. Rasa sayang itu tidak pernah berubah. Bahkan, semakin ke sini, semuanya makin menjadi-jadi.  "Kamu di mana, Nji? Kenapa nggak pulang-pulang juga?” tanyanya pelan. Setelah mengembuskan napas pelan, Jani segera menegakkan tubuhnya dan sedikit mengulurkan tangannya untuk mengambil pigura itu. Di dalam sana, Jani sedang memeluk Panji dari belakang. Foto itu diambil enam tahun yang lalu dan Jani tetap memajangnya sampai sekarang meskipun kata orang, Panji sudah tiada.  Berakhir dengan piguranya, Jani bangkit turun dari ranjang. Tenggorokannya kering, butuh sesuatu yang bisa melegakannya. Saat di dapur, Jani mendengar TV di ruang keluarga menyala. Melupakan niatnya mengambil air, Jani berjalan menuju sopa. Dia terdiam melihat Vivi tertidur di sana. Berdecak pelan, Jani bergegas membangunkan adiknya itu.  "Dek, bangun.” Kata Jani sambil menepuk bahu Vivi pelan. Butuh beberapa kali tepukan sampai akhirnya Vivi terbangun walau masih linglung. Gadis SMA itu bukannya bangkit, tapi kembali memejamkan matanya.  Jani mengembuskan napas pelan. “Pindah ke kamar, Dek. Sakit nanti punggungnya.”  "Alah! Berisik banget sih, Kak! Jangan ganggu, deh!”  Jani sudah biasa mendapat perlakuan seperti ini dari Vivi sejak beberapa tahun lalu, jadi tenang saja. Jani tidak sakit hati dan sekali pun tidak berkeinginan untuk mencekik adiknya. Coba saja kalau orang lain, mungkin sudah terjadi baku hantam, atau percecokan sengit karena adik dan kakak identik sekali dengan pertengkaran tak berfaedah.  Sadar karena percuma, Jani memutuskan keluar dari rumah. Dia duduk di beranda, memeluk dirinya sendiri karena udara yang dingin ditambah dia hanya memakai kemeja tipis. Untuk beberapa saat Jani terus terdiam seperti itu. Sampai akhirnya, senyumnya terbit melihat pesawat terbang di atas sana. Jani percaya, pesawat itu akan sampai tujuan dengan selamat. Banyak nyawa di sana. Dan Jani tahu, bagaimana kehilangan tanpa mampu melihat untuk yang terakhir kalinya. Jika diingat-ingat, Jani lemah sekali. Dulu, dia nekat membuka internet dan melihat-lihat kerja petugas yang mencari korban. Bukannya mendapat jawaban, dia malah jatuh pingsan saat melihat body part di dasar laut. Hatinya mencelos, batinnya tak kuat, apalagi mentalnya. Sudah pasti jatuh sejatuh-jatuhnya.  "Hidup nggak adil banget, Nji. Masak aku aja yang nggak mau kamu pergi. Mama papaku, mama papa kamu, mereka terima gitu aja kamu pergi.” Jani terdiam sejenak sebelum melanjutkan perkataannya lagi. “Nadia, dia selalu bilang kalau kamu udah pergi. Lalu Andra… kemarin dia masih mendukung aku kalau kamu masih ada. Tapi tadi…” wanita itu mengeleng pelan, harapannya hampir pupus saat orang yang selalu di sampingnya mulai lelah dengan kegilaannya sendiri.  "Apa aku nyusul kamu aja ya, Nji? Tapi kemana? Aku aku harus ke laut buat lihat kamu?" Setelah itu, monolog Jani terhenti dengan sendirinya. Dia mematung menatap langit yang cerah dini hari ini. Hal yang paling Jani suka adalah melihat langit di jam-jam seperti ini. Dia selalu merasa damai meskipun hanya dingin yang menyelimutinya. Kemudian, senyumnya lagi-lagi terbit melihat sosok berjalan masuk di pelataran rumahnya. “Hi,” sapanya pertama kali. Lelaki itu tak kunjung menjawab, hanya terus berjalan sampai akhirnya mengambil tempat di samping Jani, dia duduk di sana.  "Udah enakan?” tanyanya.  "Hm, emangnya aku kenapa?” tanyanya Jani tak paham. Lelaki yang tak lain adalah Andra itu tertawa hambar, “kamu mana pernah sakit, iya, kan?”  Jani memalingkan wajahnya saat Andra menatap matanya lekat. Dia tidak terlalu suka menatap mata orang terlalu lama. Bahkan, saat bersama Panji sekalipun, Jani selalu saja menghindar ketika ditatap. Tidak tahu kenapa, dia hanya merasa takut. Takut saat tidak bisa melihatnya lagi, dia akan sangat merindukannya. Seperti yang terjadi sekarang.  "Ndra.” panggil Jani kemudian setelah tadi terdiam cukup lama.  "Hm.”  "Lihatin apa?” tanya Jani seperti orang bodoh. Jelas-jelas, Andra menatap langit.   “Ngintip kuntilanak terbang.” balas Andra asal.  Untuk sesaat, Jani merasa kalau semua baik-baik saja. Semua memang baik-baik saja kalau semua orang berada di sisinya. Jani tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri kalau semua orang meninggalkannya. Ah iya, dia tidak boleh melupakan satu hal. Tuhan akan selalu bersamanya. Bahkan, saat semua orang meninggalkannya, Tuhan tidak akan pernah meninggalkannya.  "Kapan lanjut sama Nadia?” Andra langsung memicingkan matanya ke arah Jani. Kurang mengerti dengan perkataan wanita itu barusan. Jani yang ditatap penuh tanya itu tentu mengerti. Jadi, dia memperjelas maksud dari kalimatnya. “Nadia suka sama kamu. Dan kalian cocok.”  "Itu opini kamu.” kata Andra acuh.  Jani mengembuskan napas berat. “Ya terus mau nunggu siapa lagi, Ndra? Setiap hari, umur kalian bertambah. Belum tentu dikasih kesempatan buat nikah, kan?" Andra masih diam, engggan menjawab perkataan Jani yang ujung-ujungnya pasti menyesakkan d**a. “Jangan sampai kalian kayak aku sama Panji. Aku aja nggak tau Panji di mana.”  "Jan!” “ "Iya-iya.” Jani tertawa pelan. “Udah aku diem.” katanya menyerah.  Lalu, keheningan yang ada semakin menjadi-jadi saat satu pesawat melintas kembali. Baik Jani maupun Andra, mereka sama-sama menikmati keheningan yang ada. Hanya dengan kebungkaman yang terjadi, mereka sama-sama tahu perasaan masing-masing.   “Jan?" sekarang ganti Andra yang memanggilnya.  "Hm,”  "Panji udah pergi.”  Jani terdiam dengan pikiran jauh melanglang buana. Dia kira, Andra tidak akan pernah mengatakan itu. Selama ini, Andra selalu mengiyakan apa yang Jani anggap benar. Dan sekarang, Jani sadar. Mungkin, dirinya yang terlalu egois hingga tidak bisa bisa menerima semua kenyataan yang ada. Sedang Andra sendiri, dia tidak menyesal. Jani memang harus mendengar itu. Dia akui, Jani memang sering dikatai orang dan wanita itu tidak pernah memedulikannya. Dan sekarang lain lagi. Ketika orang yang dia percaya atas Panji mengatakan itu semua, Jani rasa kalau kegilaanya makin menjadi-jadi.  "Aku pikir, kamu bakal tetep sepemikiran sama aku. Atau… selama ini kamu cuma kasihan dan ngeiyain aja apa yang aku pikir benar.”  "Jan-“  "Gak papa, Ndra. Aku tau, Panji mungkin udah pergi, tapi… nggak akan ada yang bisa gantiin dia.” kata Jani melanjutkan.  Andra mengembuskan napas berat. Salah kah kalau dia menghujat Jani sekarang? Dia harus memberi wanita itu pengertian. Life must go on, not stuck like that anymore. Masuk, di sini dingin.”  Jani masih saja diam di sana saat Andra bangkit dari lantai dan berjalan menjauh tanpa mau melihat ke arahnya kembali. Wanita itu sadar, mungkin dia sudah keterlaluan. Namun, dia tidak mau memlilih pilihan yang lain. Sekali lagi, selama jasad Panji belum pernah ditemukan, jani tidak akan berhenti. Andai aja ditemukan rambut atau lapisan kulitnya, Jani pasti akan percaya. Tapi masalahnya, tidak ada yang tersisa dari Panji. Itu… itu yang membuat Jani sampai seperti sekarang. Tidak punya pegangan hidup.  ***  Pagi setelah pembicaraan singkatnya dengan Andra. Maka di sini lah mereka berada, duduk bertiga dan makan siang bersama-sama. Baik Andra, Jani dan Nadia, mereka hanya makan dalam diam. Sampai Andra yang selesai makan lebih dulu, memutuskan bermain handphone sambil menunggu teman-temannya selesai makan.  "Ada pesta di rumah Om Wira nanti malem. Kalian pada dateng, kan?”  Jani meminum jusnya dulu sebelum menjawab. “Iya, dong. Kalian juga, kan? Tinggal lompat lima langkah loh, sampai rumahnya.”  "Aku mau lembur nanti, apa mau kamu kerjain biar bisa dateng ke pesta?”  Andra tertawa sinis. “Mau punya banyak uang, kerja! Jangan ngepet sambil tidur.”  Nadia balas tertawa pelan. “Boleh juga ngepet. Ntar, kalau aku jaga lilinnya, kamu yang nyari uang. Terus-terus, kalau ada orang, aku tiup lilinnya biar kamu digebukin warga hahaha.”  Jani turut tertawa, dia memukul pelan bahu Nadia yang ada-ada saja. Andra dan Nadia itu cocok. Mereka sama-sama cerdas dan mudah bergaul dengan orang lain. Tidak seperti Jani yang tertutup, hanya terbuka pada orang tertentu saja.  "Kalian cocok.”  Andra dan Nadia saling menatap sekilas sebelum akhirnya saling berpaling.  "Kamu ngomong lagi beneran aku banting.” Andra mengancam dengan tatapan serius.  Bukannya takut, Jani malah tertawa. Mana berani Andra membanting tubuhnya yang ringkih. Tanpa dilukai pun, dia sudah terluka. Sekali banting, langsung hancur yang ada. Mungkin, ini alasan kenapa banyak orang yang lebih baik disakiti fisiknya daripada mentalnya dijatuhkan. Meskipun faktanya, tidak ada yang benar-benar bisa dipilih, semuanya sama-sama menyakitkan.  "Serius sih ah, nanti jadi ke rumah Om Wira, nggak? Aku mau ngasih kado buat Bagas. Nggak nyangka, ya.” Jani menerawang jauh ke depan, kemudian dia menunduk pelan dan tersenyum kembali. “Dia mau nikah aja duluin kita. Kalau Panji masih ada, pasti nggak mau kalah.”  Sudahlah, Jani memang pengacau suasana. Mendengar penuturan wanita itu, baik Andra dan Nadia hanya diam tak mau menangapi makin jauh. Kalau itu sampai terjadi, yang ada hanya berakhir percecokan yang tidak berarti.  "Nanti pulang bareng, ya. Aku mau nebeng. Andra nanti mau keluar.” Kata Nadia berusaha mengalihkan pembicaraan.  Jani hanya tersenyum. “Boleh, tapi ke bandara dulu, ya, sampai Magrib?"  Di saat Nadia ingin membuka mulutnya, Andra langsung bangkit dan pergi begitu saja. Dia masih ingat betul membahas apa dengan Jani semalam.. Namun, sepertinya wanita itu tidak akan pernah mengerti. Dia terus saja bersikap bodoh seperti itu.  "Ya sudah nggak jadi, aku naik gojek aja.” kata Nadia.  Jani masih tersenyum. “Andra kayaknya udah capek. Setelah sekian lama, dia baru bilang kalau Panji udah nggak ada."  Nadia yang saat itu ingin menyibukkan dirinya tentu saja tidak jadi. Dia malah terdiam dengan tatapan sulit diartikan. Kalau selama ini dirinya yang mengatakan kalau Panji sudah pergi, maka Andra akan senang hati bilang kalau iya, Panji masih ada. Namun, mendengar kenyataan dari Jani, Nadia sadar kalau lelaki itu mungkin saja sudah lelah. Mungkin juga muak dengan Jani yang berlebihan karena terus saja mengatakan Panji masih ada padahal lelaki itu jelas-jelas sudah tiada.  Terkadang seseorang harus mengerti. Yang tidak ada, bukan berarti masih ada. Dan Jani, dia harus mengerti tentang konsep sederhana ini. Di dasar laut, tidak pernah ada yang tahu kegelaannya seperti apa. Bisa jadi, Panji terbawa ombak atau ditelan sesuatu yang hidup di dalamnya. Jani seharusnya sadar, dunia tidak seramah itu. Tidak ada yang benar-benar tulus kalau dia mau membuka mata lebar-lebar.  "Aku akan tetap ke bandara.“ Tetap saja, selalu seperti itu. Hujan badai sekalipun, Jani akan tetap pergi ke bandara. Dia tidak akan bisa tidur kalau sampai tidak datang ke bandara. Hidupnya, memang semenyedihkan itu tapi Jani menikmatinya. Entah apa yang Panji lakukan padanya hingga cintanya begitu besar dan mengalahkan yang seharusnya lebih dia cintai. Seandainya dia kembali nanti, Jani akan menghukumnya lebih berat. Iya, seandainya saja lelaki itu bisa kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD