5. Semestanya

2322 Words
Jani masih ingat psikolog yang merawatnya dan sampai sekarang pun, sesekali Jani mengontak beliau dan bercerita tentang hari yang melelahkan. Di saat Jani diminta untuk menghilangkan bayang-bayang Panji, wanita itu malah dengan sengaja menciptakannya sendiri. Dia bisa begitu mudah menciptakan ilusi yang menyesakkan. Logikanya mungkin menolak tapi alam bawah sadarnya berontak. Panji masih ada, tidak akan ada yang bisa mengubah pemikirannya. Hari-hari berlalu setelah tidak sengaja menemukan seseorang yang kebetulan memakai parfum yang sama, Jani juga kembali seperti biasa. Dia tidak pernah benar-benar mau mencari masalah dengan orang lain. Kalau hari ini ada cekcok sedikit, besok pasti sudah terselesaikan. Namun, sulit kalau menyangkut adiknya, Vivi. Gadis itu sangat labil dan terlihat sekali memusuhi Jani yang jelas-jelas adalah kakaknya sendiri. Masalah anak yang kurang kasih sayang orang tua ya begitu. Biasanya berpikir kalau paling menyedihkan dan tidak dianggap sendiri. “Nad.” “Apaan?” tanya Nadia tak minat yang kebetulan sedang sibuk menekuri layar di depannya. . “Aku mau keluar.” kata Jani tiba-tiba sambil memandang Nadia serius. “Hah? Keluar gimana?” tanya Nadia panik. Dia bahkan sampai melupakan layar di depannya dan serong ke arah Jani. Dalam otaknya, dia berpikir kalau Jani ingin keluar dari perusahaan tempatnya bekerja sekarang. “Jangan ngada-ngada deh, Jan. Udah enak juga di sini. Mau keluar ngapain? Terus mau pindah ke mana? Belum tentu kamu bakal nemuin orang-orang yang sefrekuensi sama kamu. Sadar diri lah, kamu nggak betahan kalau di tempat baru.” lanjut Nadia lagi. Takut-takut kalau tidak diberi kesempatan untuk menasihati Jani yang keras kepala. Rahang Jani sudah jatuh sejak Nadia mengucapkan kalimat pertamanya. Dia hanya mengatakan kalau mau keluar dan respon Nadia begitu luar biasa tidak tepat sasaran. “Aku tadi ngomong cuma mau keluar lhoh, Nad. Bukan mau resign.” Nadia menegakkan tubuhnya, dia menyengir lebar ke arah Jani yang kebetulan sedang menatapnya. “Yaelah, Jan! Nyesel aku buang-buang tenaga buat ngomong panjang lebar ke kamu malah ujung-ujungnya cuma mau pergi keluar.” Jani memutar bola matanya tak habis pikir. “Makanya ditelaah dulu! Asal nyablak aja kalo ngomong.” “Iyaiya, mau pergi ke mana, aku temenin.” tawarnya Nadia kemudian. “Mau beli parfum.” Nadia menatap Jani curiga. Pasalnya, temannya ini bukan orang yang suka gonta-ganti parfum. Jadi, dia merasa aneh saja tiba-tiba ingin beli parfum. “Tumben, buat apa?” “Buat mandi," balas Jani asal "Of course buat minyakan lah!” Nadia tertawa, dia merasa bodoh mendengar jawaban sederhan dari Jani. “Ya maksudnya kamu kan gak pernah ganti parfum, aneh aja gitu tiba-tiba mau beli parfum. Buat kado, ya?” Jani duduk di kursi sebelah yang kosong dan menatap Nadia lamat-lamat. “Enggak, buat aku sendiri.” “Nggak ke bandara?” tanya Nadia lagi, hanya ingin memastikan saja. “Iya habis beli parfum langsung ke bandara.” Nadia mengembuskan napas berat. Bagaimana pun, memabahas ini adalah sesuatu yang biasa di antara mereka. “Jan?” panggil Nadia lagi setelah tadi cukup lama terdiam. “Hm?” “Kamu… nggak bisa berhenti aja, ya? Udah lima tahun kamu gini terus. Nggak sayang uang kamu terbuang tiap hari cuma buat bolak-balik bandara yang satu setangah jam perjalanan dari rumah, syukur-syukur nggak macet.” Kata Nadia hati-hati. Jani tersenyum tipis sampai Nadia tidak bisa melihatnya. “Aku belum capek, Nad. Kalau nggak gitu, aku rasa, aku bakal hilang.” Nadia mengulurkan tangannya, kemudian menggenggam tangan Jani yang dingin. “Dicoba dulu, pelan-pelan. Aku temenin.” Jani hanya menggeleng pelan. “Kamu memang sahabat aku, Nad. Tapi kamu juga punya kehidupan sendiri. Kamu nggak bisa selamanya nemenin aku. Ada yang harus kamu prioritasin juga, kebahagian kamu sendiri.” “Terus kamu?” Nadia semakin menatap Jani tak enak hati. “Aku?” Jani menunjuk dirinya sendiri sambil tersenyum. “Aku bahagia. Bahagia seperti ini. Makanya, tolong jangan minta aku berhenti. Aku justru takut kalau nggak ngelakuin semua ini." Nadia hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia elus lembut tangan Jani yang dingin itu. Apapun keputusan yang Jani ambil, Nadia mencoba menerimanya, Bagaimana pun, dia tidak bisa memaksakan kehendak orang atas keinginannya. “Yang penting kamu sehat aja udah, Jan.” Mendengar itu, Jani langsung memukul pelan tangan Nadia yang tengah menggenggamnya. “Kalau itu nggak perlu diomongin lagi. Kalau aku nggak sehat, temenku juga nggak sehat.” “Enak aja!” Nadia langsung melepas tangan Jani dan kembali menyibukkan dirinya sendiri dengan pekerjaan yang terpampang nyata di depan matanya. Sedang Jani, dia juga kembali ke kubikelnya. Dia memang selalu begitu, kalau otaknya mulai berpikir ke mana-mana, dia akan bercerita pada orang yang dia percaya, termasuk Nadia. Kalau dia bicara soal ini ke Andra, lelaki itu pasti akan menghujatnya habis-habisan setelah insiden memanjat dinding terjatuh karena Jani tidak sengaja mendorongnya terlalu keras. *** Sesuai dengan rencana di awal, Jani pergi seorang diri menuju toko parfum. Senyumnya terbit saat melihat botol-botol berjejeran di sana. Dulu dia pernah bertanya dengan Panji apa nama parfum yang dia pakai tapi lelaki itu tidak menjawab pertanyaannya. Dan saat ditanya untuk kedua kalinya, Panji bilang kalau dia tidak suka saat ada yang menyamai parfumnya. Saat itu, Jani memberi pengertian kalau dia hanya ingin membelikan Panji saat parfumnya habis tapi lelaki itu tetap tidak mau dan malah berkata. "Kamu pikir aku nggak punya uang sampai parfum dibelikan segala?” Ya seperti itu, Panji memang orangnya gengsian meskipun dia memang kaya raya. Jani tentu tidak keberatan mendengar respon Panji yang seperti itu. Dia malah tertawa cekikikan. Kekasihnya itu jarang bicara. Sekalinya bicara, pasti ngelantur yang tidak-tidak. “Mau cari parfum apa, Mbak?” Jani nyengir. “Saya nggak tau namanya, Mbak.” Dan pasti, pelayan yang ada di depannnya menautkan alinya bingung. Bagaimana dia bisa melayani kalau yang mau beli tidak tau namanya. Akan sangat membuang waktu kalau mencium bau dalam botol satu-satu. “Buat cewek apa cowok, Mbak?” tanya pramuniaga itu lagi. “Cowok, Mbak.” Jani menunggu dalam diam. Mbak itu sibuk mengambil beberapa tabung botol dan meletakkannya di atas etalase dengan tutup yang dibuka dan Jani dipersilahkan untuk membaunya. Ada tujuh dan Jani tidak menemukan bau yang mirip Panji. Sampai saat Jani ingin membuka suara, penciumannya kembali dilegakan dengan bau yang mirip dengan Panji. Dan saat ditengok ke samping, sosok perempuan yang berdiri di depannya. Sosok perempuan yang anggun dan terlihat seperti orang kaya. “Mbak, biasa, ya.” katanya. Jani melihat ke arah pelayan tadi dan di mengangguk sambi tersenyum ramah pada perempuan itu. Tak lama kemudian, dia memberikan paperbag berisi parfum yang dia inginkan. Kalau dilihat dari caranya berinteraksi, orang itu sepertinya langganan di sini. “Mbak, jadi yang mana?” tanya pelayan itu lagi saat perempuan kedua setelah Jani keluar dari toko. Jani tersentak akan lamunannya sendiri. “Kayak yang dibeli sama mbak yang tadi, Mbak.” Pelayan itu mengangguk mengerti. Jani tidak tau kenapa malah bicara seperti itu padahal dia tidak tahu parfum apa yang orang itu beli. Namun, saat pelayan itu memberikan paperbag yang sudah berisi pesanannya, Jani terdiam tanpa kata karena benar itu parfum yang sama. Itu benar parfum yang sama dengan Panji. Tentu saja Jani senang bukan main. Sambil membayar, Janii bertanya nama dari parfum itu dan dia tersenyum senang bisa mengetahui namanya. Sesederhana itu kebahagiaannya. Hanya ingin memiliki parfum yang sama dengan mendiang kekasihnya. Ah salah bukan mendiang, tapi memang kekasihnya. Dengan senyuman yang menghiasi wajahnya, Jani keluar dari toko parfum terkenal di daerah Kemang itu. Dia senang sekali hari ini. Dan setelah ini, dia akan ke bandara, melihat pesawat seperti hari-hari sebelumnya. Mencari kenanga-kenangan akan Panji yang masih tersisa di sana. Entah bagaimana hormon bahagia memengaruhi Jani saat ini. Yang jelas, semakin banyak dia tersenyum, semakin banyak pula dia melupakan banyak hal. Pejalan yang seharusnya berjalan di sisi kiri dan menjauhi jalan, dia malah berjalan ke kanan. Hingga, mobil yang berkecepatan lumayan kencang dari arah belakang menyenggol tubuhnya sampai terpental dan mendaratt kasar di aspal yang keras. Jani tidak merasakan sakit sama sekali karena dia langsung tak sadarkan diri. Beruntung, orang-orang di sekitar sana membantu orang yang menabrak Jani untuk membawa Jani ke dalam mobilnya. Dan setelah itu, dia membawa Jani, alias wanita yang ditabraknya ke rumah sakit terdekat bersama seorang ibu-ibu yang menjadi saksi kecelakaan tadi. Biarpun begitu, kepala dan hidung Jani berdarah. Beliau takut terjadi sesuatu yang tidak-tidak, misalnya orang yang menabrak Jani melarikan diri saat sampai rumah sakit. Jadi, untuk cari amannya, ibu itu menawarkan untuk menemani dan beruntung diiyakan saja. Sampai rumah sakit, Jani ditangani sebagaimana mestinya dan orang yang menabrak juga tetap menunggu di ruang tunggu. Sesekali, dia menatap Rolex yang terpasang sempurna di pergelangan tangan kirinya. Jika dilihat-lihat, dia sedang terburu-buru. Namun, sikap tanggung jawabnya patut diacungi jempol. Biasaya, banyak yang langsung melarikan diri setelah menabrak orang. Dan lelaki ini memilih tanggung jawab dan menunggui yang ditabrak sampai siuman sampai tengah malam karena tidak ada keluarga yang bisa dihubungi karena saat ditabrak, orang itu hanya menemukan parfum tidak kurang dan tidak lebih. Tidak ada tanda pengenal ataupun handphone yang setidaknya bisa digunakan untuk menghubungi keluarganya yang berada di rumah. Pukul sebelas malam, kelopak mata Jani bergerak pelan. Orang yang menabrak Jani tentu saja langsung berdiri, dia jaga-jaga ingin memanggil dokter. Namun, langkahnya terhenti mendengar lirihan yang keluar dari wanita yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit itu. “Panji.” “Nji…” “Panji.” Mengurungkan niatanya, lelaki itu berbalik dan melihat ke arah wanita yang sudah dia tabrak. Dia menatap lekat-lekat mata perempuan itu yang ingin terbuka. Hingga beberapa detik kemudian matanya benar terbuka. Dan, senyumnya terbit disela-sela matanya yang berair. “Panji,” lirihnya susah payah. “Mbak-” Jani memaksa tubuhnya untuk bangun dan lelaki itu terlihat berdebat dengan batinnya sendiri. Ingin membantu tapi juga terlihat risih ditatap seperti itu. Tapi pada akhirnya, dia membantu menegakkan tubuh Jani. “Panji” panggil Jani lagi seolah nama Panji adalah nama yang paling dia ingat. Dia mengangkat tangannya ingin membingkai wajah Panji yang nyata di depannya. Oh ayolah, Jani memang sering berhalusinasi. Namun, kali ini terasa nyata. Orang yang di depannya sekarang pasti Panji. Bedanya, lelaki di depannya terlihat lebih matang dari Panji yang terakhir Jani lihat. “Saya Dafa, bukan Panji.” Kata lelai itu bingung. Jani menggeleng tidak terima. “Kamu Panji!” tekannya dan kembali tersenyum. Dafa mengangkat tangannya saat Jani langsung melingkarkan tangan di perutnya begitu saja. Wanita itu terisak hebat dan Dafa hanya diam. Karena sungguh, Jani mendekapnya begitu erat. “Aku tahu kamu belum pergi…” tangisnya. Dafa terdiam masih tidak mengerti. Namun pasti, wanita di dekapannya ini menangis begitu pilu hingga bisa menyayat hati siapapun yang mendengarnya. “Mbak, maaf.” Dafa sedikit memundurkan tubuhnya, dia benar-benar risih dipeluk orang yang sama sekali tidak dia kenal. Otaknya langsung memberikan peringatan kalau wanita yang memeluknya sekarang pasti ada maunya. Dia pernah mendengar cerita kalau sekarang banyak motif kejahatan dengan cara seperti ini. Yang Dafa tangkap, wanita ini memang sengaja menabrakkan diri agar orang yang menabraknya terpaksa tanggung jawab dan pura-pura lupa ingatan atau apalah yang penting bisa mendapat keuntungan dari drama yang diciptakan. “Mbak tolong, ya!” Jani tersentak saat orang yang mengaku Dafa tapi memiliki wajah yang mirip Panji ini membentak sambil menghempas tangannya kasar. Seumur-umur, Panji tidak pernah berkata kasar padanya. Panji memang cuek bebek orangnya tapi dia tidak pernah membentak ataupun menggunakan nada tinggi saat berbicara dengan Jani barang sekali. Jani menggeleng sekali lagi. “Kamu Panji…” Tidak ada isakan lagi yang keluar. Hanya ada air mata yang senantiasi mengalir. “Aku tahu humor kamu anjlok banget, tapi jangan bercanda kayak gini!” mohon Jani sekali lagi. Orang yang mengaku Dafa ini mendengkus kesal. “Mbak, saya Dafa bukan Panji. Saya di sini karena saya yang sudah menabrak Mbak tadi. Dan sekarang karena mbak sudah sadar, saya ingin pamit. Biaya rumah sakit sudah saya tanggung untuk beberapa hari ke dapan, Mbak tidak perlu khawatir. Saya permisi dulu. “ Jani menggeleng kuat. “Enggak! Panji jangan pergi lagi.” Karena orang ini terus saja pergi dan tak memedulikan tahanannya, Jani nekad melepas infusnya paksa dan jatuh dari ranjang karena tubuhnya masih lemas. Bagaimana pun, dia baru saja kecelakaan. Sedang orang itu tidak peduli dan tetap memilih pergi. Jani menggeleng, dia paksakan tubuhnya untuk mengejar Panji yang sudah keluar dari ruangan. “Panji…” Mata Jani berkunang-kunang. Dia terjatuh dan hidungnya kembali mengeluarkan darah. “Panji.” Ujarnya lemah. Orang yang wajahnya mirip Panji alias Dafa ini sudah berbalik ingin membantu melihat Jani terjatuh dengan darah yang mengalir dari hidungnya. Namun, langkahnya terhenti melihat ada sosok lelaki yang mendekap wanita itu lebih dulu. “Jan! Jani! Astaga kamu kenapa?” Jani mencoba melepaskan diri, dia menunjuk Dafa yang ada di depannya. “Panji...” serunya. Andra menoleh, dia menatap depannya terpana melihat lelaki dengan wajah mirip sekali dengan Panji. Sedang Jani terus saja berusaha melepaskan diri dari dekapan Andra. “Panji! Panji….” Namun nahasnya, Jani menangis histeris di dekapan Andra saat lelaki itu tak membiarkan dirinya berlari menghampiri orang yang berwajah mirip dengan Panji yang juga masih terdiam di depannya. “Andra lepas!”Jani memukul keras tangan Andra yang menahan tubuhnya. Berusaha melepaskan diri. “Aku mau sama Panji. Panji…” Namun, orang itu hanya diam melihat Jani yang begitu menyedihkan menyebut dirinya dengan sebutan Panji sedari tadi. Hingga beberapa saat, Dafa balik badan dan berjalan menjauh. Jani kembali histeris dan semakin histeris. “Enggak! Panji… Jangan pergi lagi! Panji…” Dan bersamaan dengan tubuh orang itu yang tak terlihat lagi, kesadaran Jani juga hilang. Wanita itu, kembali kehilangan kesadarannya. Andra terpaku di tempatnya, dia melihat wajah pucat Jani dalam jarak cukup dekat. Lima tahun lalu, terakhir kali Andra melihat Jani menangis. Dan sekarang, dia kembali melihat wanita itu menangis lagi. Dan bodohnya, menangisi hal yang sama pula. Siapa lagi kalau bukan Panji Laksana! Lelaki yang dikabarkan pergi bersama puluhan nyawa kala itu. Namun tadi, dia berdiri dengan gagah berani dan meninggalkan Jani begitu saja. Seolah-olah, Jani adalah orang asing yang tidak perlu dianggap keberadaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD