Agreement

1443 Words
Datanglah jam 8 pagi. Temui beliau di ruang eksekutif. Pagi itu matahari terasa terik, seorang gadis berjalan dari stasiun bawah tanah dengan tergesa. Pesan teks itu masih membekas di ingatannya. Dengan penuh harap, ia berjalan untuk sampai tujuan. Sesekali ia melirik jam tangan. Lalu lalang pekerja di hari tersebut pun memadati jalanan Ibu Kota Jakarta. Tak sedikit orang yang berjalan menuju halte untuk sampai ke tujuannya. Seperti gadis berkulit putih dengan setelan kemeja putih dipadu rok midi plisket berwarna nude. Ia berjalan melewati beberapa pejalan kaki yang langkahnya lebih santai, seolah ia sedang dikejar waktu. Tiba di depan ruangan, gadis tersebut mengetuk pintu tiga kali. Sosok pria yang sudah menanti sejak tadi, memandang ke arah pintu secara bersamaan. “Itu pasti dia, bukalah!” Tak butuh waktu lama sampai akhirnya seseorang masuk ke ruangan itu. “Se-selamat pagi, Tuan!” sapa seorang gadis sambil melangkah mendekatinya. “Hai, pagi.” Pria itu beranjak lalu mendekati sofa yang ada di ruangan tersebut. Senyumnya terukir tipis sambil menyambut kedatangan seorang gadis disana. “Teh atau kopi?” tawar pria disana tanpa basa-basi setelah berhasil duduk berhadapan dengan gadis itu. “Eung, kopi b-boleh," jawab sang gadis dengan gugup. “Baiklah..” Lagi-lagi senyumnya menyambut gadis itu dengan hangat. “Kris, tolong bawakan kopi untuknya," perintah Arjuna pada asisten disana. “Baik, Tuan.” Kris berlalu kemudian Anjani berdeham. Ia terlihat begitu gugup. Jemarinya tak berhenti mengepal. Sesekali ia memalingkan wajahnya, menunggu pria itu memulai pembicaraan. “Kau pasti terkejut karena aku tiba-tiba memanggilmu, bukan?” Akhirnya kalimat yang ditunggu-tunggu terucap dari bibir Arjuna. Anjani pun mengangguk. “Tentang proyek itu ....” Arjuna menggantungkan ucapannya ketika melihat Kris datang bersama office girl yang membawa morning coffee untuk tamu mereka. “Terima kasih,” ujar gadis itu pelan. Setelah office girl berlalu. Arjuna melihat ke arah Kris yang berdiri disisinya. “Kris, can you leave us?” Kris menoleh heran. Begitupun Anjani yang langsung memandang ke arah Arjuna. “O-oh, ba-baik, Tuan." Detik berlalu setelah Kris meninggalkan ruangan itu. Mereka menatap dalam diam sesaat, sampai akhirnya Arjuna berdeham. “Ini kontrak untuk proyek yang terakhir kali kau presentasikan.” Arjuna menyodorkan dokumen ber-map merah. Anjani yang tak tahu bahwa proyek ini akan dengan cepat disetujui, begitu terkejut. Benarkah? Secepat itukah? Batinnya. Diantara keheningan, Anjani berhati-hati meraih dokumen itu. Lalu meminta izin untuk membacanya secara seksama. Arjuna pun mempersilahkannya. This Memorandum of Agreement (hereinafter referred to as the "Agreement") was made and entered into in Jakarta on Monday, February 17, by and between: Arjuna Barathawardana.. And.. Anjani.. Anjani tidak melanjutkannya. Ada yang aneh dengan agreement ini, menurutnya. Apa ini? Mengapa perjanjian kerjasama bukan atas nama institusi? “Apa ini tidak salah tulis?” Anjani meyakinkan dirinya, bahwa ia sedang tidak salah baca. “Tidak. Agreement ini dibuat memang untuk kita.” Kita? Anjani tercenung. Ia tidak mengerti. Sungguh! "Ma-maaf, Tuan. Boleh coba ulangi? Maksudnya?" Anjani menyergahnya, bertanya tanpa jeda. Meminta penjelasan dari si empunya perjanjian tersebut. Matanya menelisik lebih dalam, melihat gelagat Arjuna yang mulai kebingungan. Ada yang aneh pikirnya. “Aku akan jelaskan, tapi bisakah kau lanjut baca diktum pertama?” Arjuna berdehem, lalu meminta Anjani untuk terus membaca perjanjian itu tanpa protes. Mendengar perintah itu, Anjani pun mengarahkan pandangannya pada secarik kertas disana sambil membaca diktum pertama seperti yang diminta pria itu. The purpose of this agreement is to bind the PARTY to each other to establish terms and conditions regarding the rights and obligations of the PARTY regarding the financing of digital technology-based real estate projects to the SECOND PARTY by the FIRST PARTY. So, the FIRST PARTY has the right to ask for compensation from the SECOND PARTY as a mutualism agreement. “Mutualism agreement?” Anjani masih tidak mengerti. Jika ini menyangkut proyek, mengapa perjanjian ini tidak dibuat atas nama institusi, mengapa Arjuna hanya mengikat namanya dalam perjanjian tersebut. “Aku ingin kau jadi istriku ....” ucap Arjuna tanpa intonasi apapun. Hal itu jelas membuat Anjani terkejut. Matanya membulat dengan berbagai pertanyaan yang menyerbu pikirannya. "... pura-pura," sambung Arjuna hingga membuat mata Anjani semakin membulat. Kalimat pertama cukup membuat Anjani terkejut, ditambah dengan pernyataan selanjutnya yang membuat Anjani merasa dipermainkan. “Apa maksudmu?” Raut wajahnya mengeras. Seketika mood Anjani hancur. Ia pun tiba-tiba berdiri. “Tolong, tenanglah!” pinta Arjuna yang ikut beranjak dari duduk. Dengan penuh harap, Arjuna memohon. "Aku akan jelaskan, Nona. Bisa kau tetap tenang?" pinta pria itu dengan mata berbinar. *** Seseorang melangkah dengan gontai. Ia tak habis pikir, setan apa yang telah merasukinya saat itu. Berkali-kali ia berpikir atas keputusannya. 'Dasar bodoh! Mengapa aku menyetujuinya?' rutuk gadis itu yang berjalan dengan tatapan kosong. Tak sekali ia menabrak pundak pejalan lain. Namun ia tak menggubrisnya. Ia kembali teringat kejadian beberapa menit lalu yang cukup mencengangkan. “Aku tahu kau tinggal sebatang kara di dunia ini. Dan aku yakin, hidupmu sangat kesulitan, bukan?" Anjani bergeming, mengepalkan jemari serta mencaci maki dalam hati kalau ucapan pria itu valid. "Aku akan membantumu bertahan hidup. Aku akan menjamin kehidupanmu. Tapi, aku butuh bantuanmu untuk sementara waktu.” Anjani mendongak, saat memandang wajah pria itu, ia sama sekali tak menaruh curiga. Entah mengapa, ia justru terkesan. Karena ada dari sorot matanya yang tajam. Tatapan itu kontan menghangatkan jiwa serta suaranya bahkan bisa meredam amarahnya. “Aku pasti akan mendanai proyek di Malaysia. Tapi setelah itu, datanglah padaku. Jadi istri sekaligus rekan bisnisku." Anjani memandang dalam diam mencoba mencerna apa yang Arjuna katakan. “Hanya satu tahun. Bantu aku agar mendapat kepercayaan dewan direksi." Arjuna mencondongkan tubuhnya sedikit dari seberang meja gadis itu. Menatapnya lekat, seraya memohon agar gadis itu mengabulkan permintaannya. “Hei! Kau buta ya!” seru seorang wanita paruh baya, kesal. “Ah! Maaf Bu! Aku tak sengaja," jawab Anjani, linglung. Tak lama ada seseorang yang menarik tangan gadis itu menuju sudut lobi. “Kau baik-baik saja?” “Eung?” Anjani menoleh lalu memandang Naomi dengan raut wajah kebingungan. “Anjani, kau baik-baik saja?” tanya Naomi untuk kedua kali. Selama satu dekade bersahabat, Naomi tidak pernah melihat Anjani sebingung itu, bahkan ketika kedua orangtuanya meninggal pun, Anjani terlihat sangat tegar. “Naomi, apa yang harus kulakukan?” Anjani menggenggam tangan Naomi dengan erat, seolah memohon untuk mengeluarkannya dari situasi saat ini. “Ayo, ikut aku!” Naomi menarik tangan sahabatnya. Menuntun jalannya menuju kafe di seberang kantor. Mereka melangkah dengan tergesa. Tiba disana, Naomi duduk berhadapan dengan gadis itu. Sesekali Naomi menyeruput hot cappucino sambil menatap Anjani yang masih membisu. “Ada apa? Kau bisa cerita?” Naomi menuntut gadis itu berkali-kali, sejak mereka duduk lima belas menit yang lalu, Anjani tetap bergeming dengan memainkan jarinya. “Anjani? Kau dengar aku?" Naomi mengetukan meja tiga kali di hadapannya. “Naomi apa menurutmu aku ini gadis matre?” tanya Anjani. Naomi yang sama sekali tak mengerti arah pembicaraannya, memicingkan mata lalu menatap serius Anjani. Tak lama, terdengar gelak tawa memecah keheningan. Di kafe itu, ada tiga barista dan beberapa pengunjung yang sibuk dengan urusannya, langsung menoleh ke arah mereka. Anjani menengok kekanan dan kekiri, meyakini semua orang tengah membicarakan mereka, setelah itu menunduk malu. “Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” Ditengah gelak tawanya, Naomi bertanya. Namun Anjani tetap terdiam sambil menyembunyikan wajahnya yang saat itu tak mampu menahan malu. “Aku mengenalmu hampir sebelas tahun, Anjani.” Naomi menetralkan tawanya sambil berdehem. “Kalau kau matre, aku tidak akan berteman denganmu!” Anjani masih tak percaya ucapan itu, ia masih bergeming menatap Naomi yang juga menatapnya. Tak lama terdengar hela nafas panjang penuh keputusasaan. “Memangnya kenapa? Siapa yang berani mengatakan kalau kau matre?” Anjani menggeleng cepat lalu kembali teringat akan ucapan itu, “Aku akan transfer biaya hidupmu per bulan, kau akan difasilitasi dengan berbagai macam fasilitas sepertiku, mulai dari tempat tinggal, mobil, kartu kredit, dan lainnya hingga kontrak selesai.” “Hanya saja...” Anjani menggantungkan kalimatnya. “Tuan Arjuna memintaku untuk ...” Naomi yang tak sabaran langsung menyambar ucapan Anjani dengan meluap-luap, “Untuk apa?” “Untuk pura-pura jadi istrinya.” Anjani menghela nafas setelah berhasil menceritakannya. “Gila!” Seru Naomi dan membuat pengunjung disana kembali menatap sinis mereka. “Dasar gila!” Dengan tanpa sadar, Naomi menyumpah serapahi atasannya. Naomi memang sekretaris manajemen di kantor Arjuna sekaligus orang kepercayaannya, mereka dekat karena satu almamater. Meski beda tingkatan, karena intensitas yang sering, Naomi lambat laun menjadi akrab hingga lupa bahwa mereka terpaut jarak usia tiga tahun. “Hust!” “Kenapa bisa? Ada masalah apa?” “Aku juga tidak tahu. Tapi, aku diminta untuk jadi istrinya sampai rapat akhir tahun dewan direksi.” Naomi menerka dan merasa ada yang tidak beres. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD