Proposal Bisnis

1366 Words
6 Bulan yang lalu.. Soekarno Hatta Airport, Terminal 3, Kedatangan Luar Negeri. Sosok gadis berwajah oriental dengan balutan asimetris dusty blue blouse dan rok midi plisket berwarna putih berjalan ke arah pintu keluar. Pandangannya memindai sekeliling, mencari sosok yang bertanggung jawab atas kedatangannya hari itu. “Anjani ... !” Samar-samar ia mencari sumber suara. Arahnya berbalik 180 derajat. Namun belum menemukan si pemilik suara tersebut. “Hei! Anjani Samitha!” Anjani kembali menoleh, kini berbalik searah jarum jam. Matanya memicing. Dilihatnya seorang gadis berambut pendek sebahu dengan setelan kemeja putih dan celana kerja krem. Gadis itu, melambaikan tangan dengan senyum bahagia. “Hei!” sahut Anjani lantas berhambur ke arahnya. “Kau terlihat semakin cantik, Anjani.” Anjani tersenyum lalu mencolek sahabatnya sambil tersenyum malu. “Kau jelas lebih cantik, Naomi,” balasnya. Mereka tertawa disaat berikutnya. “Kau sendirian?” Tanya Naomi sambil mengelilingi pandangannya. “As always.” “Baiklah. Kita ke hotel dulu antar barang-barang, setelah itu kita ke tempat meeting,” tawar Naomi sambil mengambil koper berukuran 14 inci dari tangan gadis itu. “Biar aku saja.” sela Anjani. “Kau tamu disini ... jadi biar aku yang bawa.” Anjani tersenyum melirik gadis itu. Rasanya baru kemarin mereka lulus kuliah. Namun, kesibukan kini memisahkan kebersamaan mereka. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam, mobil berhenti tepat di depan lobi hotel ternama di kawasan Jakarta Selatan. Akhirnya Anjani tiba di penginapannya. Hmm, keberadaannya di Indonesia ini tentu tidak akan lama, mengingat bahwa tak ada lagi sanak keluarga yang bisa dijumpai disana. Sejatinya, Anjani adalah kewarganegaraan Indonesia yang bekerja di Negeri Jiran. Anjani Samitha merupakan Chief Marketing Officer sebuah perusahan Startup bidang digital technology real estate yang berada di Johor Bahru, Malaysia. Perusahaan skala menengah ke atas berbasis layanan itu mulai menunjukkan eksistensinya di jagad industri. Kedatangannya saat ini tentu saja bukan untuk liburan, melainkan urusan bisnis. Kebetulan Naomi salah satu rekan yang menjembatani antara dirinya dengan salah satu investor di Indonesia. Meski demikian, mereka adalah sahabat karib yang sudah saling mengenal selama satu dekade. Anjani juga lulusan Perguruan Tinggi di Malaysia yang mengambil jurusan School of Management. Kini dirinya menyandang gelar PhD bidang Manajemen. Keputusan Anjani menetap di Malaysia setelah lulus itulah yang memisahkan jarak antara dirinya dan sang sahabat. “Kita sudah sampai!” seru Naomi membuyarkan lamunan gadis disana. Anjani menoleh dengan pandangan kikuk. Terpancar bahwa ada sorot kerinduan di matanya. Kehidupan yang tragis, membawa Anjani pada takdir yang dramatis. Anjani terlahir sebagai anak tunggal dari keluarga sederhana. Kedua orang tuanya meninggal akibat insiden kebakaran yang melahap habis seluruh isi rumah beserta ayah dan ibunya. Saat itu, ia tak bisa pulang ke Jakarta karena tengah mengikuti final semester assessment. Jika gagal, ada konsekuensi yang harus ia terima, yaitu mengembalikan seluruh biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk beasiswanya. Sungguh malang. Kehilangan tentu menyakitkan, tapi Anjani bisa apa? Ia tak memiliki pilihan. Guncangan terbesar dalam hidupnya, ketika ia harus kehilangan orang yang begitu dicinta. Meski sulit, ia mencoba bangkit. “Kau baik-baik saja?” Naomi memastikan dengan hati-hati, meskipun ia tahu bahwa sang sahabat sedang tidak baik-baik saja. Saat yang sama, Anjani memeluk Naomi dengan erat. Rasa rindu yang menggebu, kian membelenggu. “Aku merindukan mereka, Nao.” Anjani terisak. Lima tahun, kejadian itu masih saja membekas di hatinya. “It's okay, Anjani! I'll be with you! Jangan pernah merasa sendiri. Aku selalu ada untukmu,” ucap Naomi memberi sedikit ketenangan pada Anjani. *** Anjani berdiri dengan gugup di depan mimbar. Bahan presentasinya sudah standby di layar proyektor sejak lima belas menit yang lalu. Dalam co-working space berukuran medium, Anjani memandang silih berganti sahabat serta dua pria berjas hitam di ujung meja. Waktu berlalu namun Anjani terus bergeming. Diam-diam, matanya memandang sosok yang tengah duduk di kursi utama. Entah mengapa, kepercayaan dirinya lenyap seketika. Naomi yang merasa kebingungan, kini mencoba mengambil perhatian sang sahabat. "Hust! Anjani!" bisik Naomi. Naomi dari sisi kanannya memberi kode agar gadis itu segera memulai presentasi. "Bisa kita mulai sekarang?" tanya sosok pria yang kini tengah fokus memandang layar ipad-nya. Meski tak menatap secara langsung, namun Anjani bisa merasakan atmosfer dingin tersebut. “Eung? I-iya ... ” Dan bodohnya lagi, lidah Anjani kelu. Jantungnya berdebar tanpa bisa ia kendalikan. Padahal, ini bukan pertama kali ia berhadapan dengan investor. Sekali lagi Naomi memberi isyarat agar sang sahabat tidak membuang-buang waktu. Sebab, menurut pria itu waktu adalah uang. “Waktuku tidak banyak, Nona. Jika kau terus melamun, maka kita batalkan saja pertemuan hari ini,” ujarnya formal. Pria itu hendak beranjak dari kursi. Namun, Anjani langsung mencegahnya dengan memutar company profile sambil memberikan kata pembukaan. “Presentasi ini akan berlangsung selama lima belas menit dengan jumlah sepuluh slide ... ” Anjani menarik nafas dalam sebelum melanjutkan presentasinya, “menjadi pioneer dalam mengedepankan kebutuhan customer adalah visi dari perusahaan kami.” Menit betikutnya, Anjani tersenyum menunjukkan bahwa dirinya mulai enjoy. Slide demi slide dipresentasikan dengan sangat detail hingga mendapatkan respon yang baik. “So, any question?” tanyanya di akhir presentasi. Anjani melihat pria bermata tajam itu berbisik pada sang asisten. Tanpa tahu apa yang mereka bicarakan menambah rasa gugup dalam dirinya. Satu detik, dua detik, hingga akhirnya di detik kesepuluh, sang asisten melontarkan pertanyaan. “Dalam dunia bisnis, kami membutuhkan keuntungan.” Asisten itu berkata dengan serius hingga Anjani bergidik ngeri. “Darimana revenue yang akan Anda peroleh? Lalu, siapa saja yang jadi kompetitor Anda?” Anjani menoleh pada Naomi. Rasa gugup yang menyerbu, ia tutupi dengan memainkan jemarinya. Model bisnis yang sudah disusun seketika lari dari otaknya. “Eung ... mari saya jelaskan dulu proyek ini, dimana proyek kami memberikan layanan kustom pembelian real estate di Asia Tenggara dengan target market milenial, harapannya banyak developer bergabung dengan memberikan penawaran harga sesuai pangsa pasar. Dengan begitu, investasi di sektor properti semakin mendominasi.” Anjani menarik nafas sejenak ketika melihat pria itu hanya memandang kosong layarnya. "..." Hening, tak ada sanggahan. “Revenue bisa didapat melalui SEO, subscription, sistem referral, dan service lainnya,” jawab Anjani, mantap. “Beberapa kompetitor kami diantaranya, East2West, Divvy, dan Loft,” lanjutnya. Meski begitu, Anjani meyakinkan bahwa mereka memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh kompetitor mereka. “Baiklah, Nona.” Lagi-lagi hanya sang asisten yang bersuara. Dan hal itu menimbulkan berbagai pertanyaan dalam benaknya. Apa presentasinya akan gagal? Tiga puluh detik berlalu tanpa pertanyaan. Tiba-tiba pria itu bertanya, “oh, sorry, what's your name?” “Anjani ... ” Anjani menilik ragu, “Anjani Samitha.” Pria itu pun mengangguk. Ketika itu pula, Anjani bernafas lega. Setidaknya, pria dingin itu menyadari keberadaannya. Pertemuan berlangsung selama tiga puluh menit, namun belum mereka tidak memberikan keputusan langsung. Setelah kepergian mereka, Naomi memandang sang sahabat dengan senyum tak biasa. “Orang itu sungguh menegangkan. Kau tahu siapa dia?” Anjani mendesah. Nafasnya terasa berat. Ia berdesis sambil membenahi bahan presentasinya. Melihat ekspresi datar dari investor tersebut, membuat Anjani tidak bahagia. “Tentu saja. Aku yang membawanya kemari.” Naomi terkekeh. “Kau yakin tidak tahu siapa dia?” Naomi melanjutkan ucapannya sambil terheran-heran. Anjani menggeleng. "Astaga, Anjani!" Naomi tepuk jidat melihat sahabatnya itu. “Kau bisa cari namanya di kolom pencarian. Arjuna Barathawardana." Anjani meraih gawainya sambil Naomi yang tengah berpangku tangan. Mata Anjani mendelik. Ia benar-benar tak percaya. “Arjuna ... Barathawardana,” gumamnya pelan. “Yups! Selain itu, dia senior kita saat kuliah. Itupun kalau kau ingat," cicit Naomi membuat Anjani menerka-nerka. Sebenarnya Anjani tidak begitu yakin, tapi rasanya memang wajah itu tidak begitu asing. *** Usai meninggalkan co-working space, Arjuna melangkah penuh kharisma. Pria tampan nan mapan itu, kerap mencuri perhatian. Siapa yang tidak tertarik dengannya? Walau terbilang dingin, tempramen dan irit bicara, pesonanya tidak pernah diragukan. “Tolong cari tahu semua tentang gadis itu, perusahaan, dan keluarganya,” titah Arjuna pada sang asisten. Pria bertubuh atletis itu melangkah tergesa sambil memerintahkan asistennya. “Baik Tuan.” Tiba-tiba langkah kakinya berhenti saat suara dering ponsel berbunyi nyaring. Layar itu menampilkan sebuah nama Sweetheart. Arjuna tak bisa mengabaikan, tentunya. Tanpa membuang waktu, ia langsung menjawabanya. "Halo Sweety. No, I won't forget. I’ll be there in thirty minutes. Ok! See you. Bye!” Setelah panggilan berakhir, pria itu tersenyum tipis dan melanjutkan langkahnya kembali. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD