Alya dan Fathia berjalan kaki menelusuri jalan, mereka juga sempat beberapa kali singgah di warung untuk sekedar membeli kue dan minuman.
Jarak kost dan warung bakso Mang Ujang memang cukup jauh bila berjalan kaki, namun karena Alya dan Fathia berjalan sambil bercerita, perjalanan itu malah sama sekali tak terasa.
"Al, kalau aku perhatiin, temennya Mas Arkan kayaknya demen deh sama kamu," kekeh Fathia.
Alya tersenyum tipis.
"Apaan sih Thia,"
"Iya Al, dari awal kita bertemu mereka, temennya Mas Arkan itu gak berhenti lihatin kamu, lagipula pria itu sangat tampan Al," kekeh Fathia.
Namun seperti biasa Alya selalu bersikap cuek. Ia berjalan dengan cepat dan meninggalkan Fathia.
Fathia menggeleng-gelengkan kepalanya, ia hanya bisa menepuk jidatnya.
"Kalau begini terus, kapan kamu menikah sih Al," ucap Fathia pada dirinya sendiri.
Melihat Alya yang mulai semakin menjauh, membuat Fathia terpaksa berlari kecil mengejar temannya itu.
Sesampainya di kost, Alya langsung mengganti pakaiannya dengan pakaian rumahan. Setelah itu Alya langsung membaringkan tubuhnya yang terasa pegal.
Beginilah hari-hari yang dilalui Alya semenjak dirinya hidup sebatang kara.
Alya hanya fokus bekerja dan juga beribadah, ia selalu berdoa kepada Allah SWT agar dosanya di masa lalu dapat di ampuni, Alya bahkan selalu menangis saat sedang sholat, namun setelah dua tahun meninggalkan pekerjaan haram itu, Alya masih saja dibayang-bayangi dosa masa lalunya.
Itu juga penyebab dirinya masih belum bisa membuka diri untuk siapapun, Alya selalu merasa dirinya adalah wanita hina yang tak pantas untuk pria manapun.
Alya memandang langit-langit kamarnya, ia ingin sekali rasanya pergi berziarah ke pemakaman Ibu dan Adiknya, namun kondisinya sangat tidak memungkinkan karena jarak yang sangat jauh.
"Aku rindu pada Ibu dan Ayla," ucap Alya.
Air mata bahkan meleleh di pipinya yang putih mulus.
"Ya Allah, sampai kapan aku merasakan penderitaan ini, aku benar-benar kesepian ya Allah," lirih Alya.
Alya akhirnya bisa tertidur dalam keadaan matanya masih terus mengalirkan air mata.
***
Biyan dan Ibunya telah sampai di rumah dimana arisan akan di laksanakan, dengan berat hati Biyan keluar dari mobil dan ikut masuk ke dalam rumah yang tampak cukup asri itu, rumah sederhana yang tak jauh berbeda dari rumah mereka.
Salma begitu semangat sampai ia tak sekalipun melepaskan senyuman dari bibirnya yang sudah tampak banyak kerutan.
Salma merangkul tangan Biyan, mereka masuk ke dalam rumah.
"Assalamu'alaikum-" panggil Salma.
Biyan melirik kesana kesini, kondisi rumah itu tampak sepi, namun sudah terlihat jelas ambal sudah terbentang di sekitar ruang tamu.
"Waalaikumsalam-" jawab Rosma.
"Eh... Bu Salma sudah sampai," sapa Rosma.
Rosma melirik ke arah Biyan, Biyan pun tersenyum dan dibalas balik oleh Rosma.
"Iya, nih Bu Rosma, bukankah kita ingin mengenalkan putraku dan putrimu, jadi kami datang lebih awal sebelum teman-teman yang lain," kekeh Salma.
Rosma menepuk pelan pundak Salma "Ah ... iya Bu Salma, saya hampir lupa," jawab Rosma.
"Ya sudah mari masuk," pinta Rosma.
Salma dan Biyan masuk ke dalam rumah, mereka duduk selonjoran di lantai yang sudah di alasi ambal.
"Sebentar Bu Salma, saya ke dalam sebentar mengambil minum dan cemilan dulu,"
Salma tersenyum dan mengangguk.
"Gimana menurut kamu Bi?"
"Apanya Bu?"
Salma mendesah pelan.
"Keluarga ini lah?"
"Ooo ...baik kok Bu,"
"Iyakan, keluarga mereka ini sama seperti kita, keluarga mereka sangat harmonis Bi, dan mereka juga hanya memiliki putri tunggal," ujar Salma.
"Iya Bu," jawab Biyan tampak cuek.
Melihat sikap cuek putranya membuat Salma harus lebih berjuang.
Tidak lama, Rosma datang dengan membawa nampan besi berisikan dua gelas teh manis panas dan beberapa jenis gorengan yang tampak lezat.
Rosma ikut duduk selonjoran bersama Biyan dan Salma.
Rosma melihat dengan seksama sosok Biyan, ia langsung suka dan pastinya merestui bila putra Salma mau menjadi pasangan putrinya itu mengingat putri tunggalnya sudah berusia dua puluh lima tahun dan selalu fokus pada pekerjaan.
"Ternyata yang dikatakan Ibumu benar nak Biyan, kamu itu tampan dan keren," puji Rosma.
Salma tertawa sedangkan Biyan hanya tersenyum tipis.
"Makasih Bu," jawab Biyan.
"Benarkan yang aku katakan, putraku dan putrimu pasti cocok, ngomong-ngomong mana Nak Savira," ucap Salma.
Biyan hanya bisa pasrah dengan semua ucapan sang Ibu, yang jelas ibunya sudah berjanji tidak akan memaksa dirinya untuk menyukai gadis pilihannya.
"Sebentar ya saya panggilkan Savira dulu,"
Rosma kembali berdiri dan masuk ke salah satu kamar yang tak jauh dari ruang tamu.
Salma terlihat antusias karena ia sudah mengenal Nabila, sedangkan Biyan kini malah sibuk memainkan gawainya.
Setelah beberapa menit, Rosma keluar dengan seorang gadis cantik yang mengenakan ijab, gadis itu menggunakan gamis polos berwarna coklat s**u dengan warna ijab yang senada, gadis itu memiliki tubuh yang cukup ideal, matanya bulat dengan bulu mata lentik, hidungnya kecil dan bibirnya cukup tebal di poles dengan lipstik berwarna nude.
Salma langsung berdiri, Biyan yang masih fokus dengan gawainya bahkan tak menyadari kehadiran Rosma dan Putrinya.
Melihat sikap cuek sang putra membuat Salma terpaksa menarik tangan putranya " Biyan-" bisik Salma.
Biyan yang kaget karena ditarik kasar ibunya langsung mendongakkan kepalanya ke atas dan melihat ke arah Rosma dan putrinya.
Biyan berdiri dan tersenyum tipis.
Gadis bernama Savira itu hanya menunduk, ia masih malu-malu untuk melihat Biyan secara langsung.
"Cantik sekali Nak Savira," puji Salma.
Savira yang masih malu-malu terpaksa mendekat ke arah Salma dan menjabat tangan calon mertuanya itu.
"Tante Salma juga cantik," jawab Savira.
Savira kini berhadapan dengan Biyan, ia mengulurkan tangannya.
Beberapa detik Biyan melihat ke arah gadis itu, namun baginya Alya masih jauh lebih menarik, entahlah mungkin karena ia sudah terlanjur menyukai Alya pada pandangan pertama.
"Alya jauh lebih cantik," batin Biyan.
Biyan tersenyum dan mengulurkan tangannya.
"Biyan,"
"Savira, boleh panggil Vira," lirihnya.
Biyan dengan cepat menarik tangannya.
Savira sedikit kaget, namun ia tak mau berpikir negatif.
Melihat sikap malu-malu kucing yang di tunjukkan oleh Biyan dan Savira malah membuat Salma dan Rosma merasa kalau keduanya sudah saling menyukai.
Salma menyenggol pundak Rosma "Sepertinya kita bakal besanan," bisik Salma sambil terkekeh.
"Iya Bu, saya sangat senang bila menjadi besan Bu Salma," jawab Rosma.
Mereka sekarang sudah duduk, Savira tampak beberapa kali curi-curi pandang, sedangkan Biyan masih saja tampak cuek.
"Ganteng banget," batin Savira saat melirik ke arah Biyan.
Tetapi ia juga sadar kalau sejak tadi Biyan malah tak melihat ke arah dirinya.
Salma dan Rosma yang asyik berbicara malah lupa untuk membuat Biyan dan Savira saling bertegur sapa.