PART 2 POV Adel

1502 Words
Menghirup oksigen lebih banyak, sambil menghitung ruas jari yang jumlahnya tetap sama walau sudah sekian kali aku menekurinya. Bahkan memilin antara, mana tahu saja berubah angka. "Ayahmu kerja di mana?" Aku kaget. Mengembalikan jari pada posisi normal. Berusaha terlihat rileks. Pertanyaan yang paling tidak ingin kudengar. Karena aku memang tak memiliki ayah. Merasa sang pencetak diri ini ke dunia sudah di belahan dimensi berbeda. Meski banyak yang bilang, bahagia dengan keluarga barunya. Aku menggeleng lemah. "Ayah saya sudah lama tanpa kabar pak," Jawabku jujur. Untuk pertama kali senyum menghiasi wajah tegang yang ada di hadapan. Debat tak menentu, seolah bertalu, apakah sedang ada pemain drumben lewat. Mengapa getar tabuh drumnya begitu terasa. Lelaki tinggi, hitam kelam, berhidung mungil, netra tajam tersenyum-- lagi. Aku mengerjit dahi. Kenapa jawabanku tadi lagi-lagi melahirkan senyum? "Mengapa kau katakan tak memiliki ayah, bukankah yang ada di hadapanmu ini bisa menjadi ayahmu?" Aku mengangkat kepala memberanikan diri menatap wajahnya. Ayahku? "Tinggallah di sini, kau akan menjadi kakak bagi Caca, semua biaya kuliahmu akan saya tanggung, bukankah tanggung jawab seorang ayah untuk membiayai anaknya," Ucapnya teduh, aku menatap tak percaya. Caca yang mendengar aku akan tinggal bersamanya melompat kegirangan. Memelukku dengan ekspresi yang sukar dilukiskan. * Kaki Bu Erma tak lagi bisa sempurna, kecelakaan itu telah merenggut aktifitas kesehariannya, aku memilih tinggal bersama keluarga Caca, yang akhirnya menjadi keluargaku. Mendampingi segala kebutuhan bu Erma, dari mulai memandikan, memakai baju bahkan mencuci kotorannya, begitu juga kebutuhan Caca. Semua tanpa terkecuali, menjadi pekerjaan yang rutin setiap hari. Pak Arman kembali bertugas mengamankan perbatasan. Kadang pulang sekali dalam dua Minggu. Jika kuliah, buk Neni tetangga sebelah akan menjaga di rumah hingga aku pulang, begitulah keseharian, terus berjalan. Aku menikmati rutinitas itu, karena bagiku Caca sudah menjadi bagian hidup. Aku menyayanginya, sungguh menyayangi. Hingga terkadang lupa kalau dia bukan anak ataupun adik kandungku. Lain waktu pak Arman pulang, kami akan pergi berjalan-jalan mengitari kota, atau ke tempat wisata. Pak Arman sosok yang sangat bertanggung jawab. Bu Erma selalu di bawa serta dengan bantuan kursi roda. Apapun kebutuhan kuliah semua terpenuhi, termasuk laptop dan printer baru ikut tersedia. Tak terasa Caca sudah kelas tiga sekolah dasar, ia mendapat rangking satu tiap semester dan kenaikan kelas. Panggilannya padaku tak bisa lagi berubah. Hingga suatu malam setelah rutinitas harian selesai ku kerjakan. Seperti biasa Caca terlelap dalam pelukan. Suara alarm yang kustel untuk tahajjud malam, mengejutkan mata yang masih ingin terlelap. Berangsur memindai se-isi kamar. Mataku melotot terkejut menatap sosok yang berbaring di samping kami. Pak Arman. Sejak kapan ia ada di sana. Selama ini meskipun satu rumah, aku sama sekali tidak pernah membuka aurat di hadapannya. Untuk pertama kali keteledoranku membiarkan pintu kamar terbuka, karena aku lupa jadwal ia pulang. Ia menatapku santai, seolah tak terjadi sesuatu yang luar biasa. Terdiam mematung beberapa saat, kesadaranku pulih, menghentak tangan mengambil mukena yang tepat berada di atas meja sisi tempat tidur. Aku berlari keluar kamar dengan ritme jantung tak karuan. "Del ... Apa kamu takut?" Pak Arman menyusulku ke ruang tamu. Dingin menjalar memenuhi ruangan, meskipun air conditioner telah mati enam jam yang lalu. Mulutku terkatup, tak hendak mengeluarkan kalimat. Menarik napas dalam-dalam, seolah oksigen akan menghilang dari bumi. Mengumpulkan kekuatan agar susunan kata yang akan ku keluarkan tidak membuat pak Arman tersinggung. Langkahnya semakin mendekat. Kulepas duduk berhadapan. "Maaf ... Pak, seharusnya bapak tidak tidur di kamar kami." Kami? Ah ... Darimana aku dapat kalimat itu, bukankah ini rumah dia, terserahnya mau masuk dan keluar sesuka hati. Hal yang selama ini aku takutkan. Bagaimanapun baiknya Bu Erma dan pak Arman, aku tetaplah orang luar. Tidak memiliki pertalian darah dengan mereka. Belum lagi desas-desus tetangga seolah mendukung aku menjadi ibu seutuhnya untuk Caca. Sudahlah, kok baper duluan. Bisa jadi pak Arman khilaf, atau ketika ia pulang tak sabar bertemu Caca. Karena Caca putri satu-satunya. Tentu rindu itu tidak tertahankan. Sehingga tanpa sengaja masuk dan tertidur di tempat tidur yang sama dengan kami. "Terimakasih, sudah menganggap itu kamar kamu. Saya hanya ... (menarik napasnya pelan) Kangen sekali dengan Caca. Maaf," jawabnya menelisik wajahku. "Ini rumah Bapak, mana mungkin saya melarang Bapak masuk ke kamar anaknya," jawabku mencoba tenang. Aku tak bisa kembali tidur. Meninggalkannya di ruang tamu tanpa menoleh atau berkata apapun lagi. Mengerjakan apa yang hendak kukerjakan. Waktu seakan begitu pelan merangkak berputar. Apakah rotasi bumi masih pada sumbunya? Atau bumi berpindah mengitari Pluto baru mengelilingi matahari. Mengapa pelan sekali dentang menuju pagi? Piring telah rapi tersusun bersih pada tempatnya, mesin cuci masih berputar, tudung saji sudah siap sedia dengan gulai ikan sale campur jengkol plus daun ubi, lauk favorit penghuni rumah termasuk aku, tinggal menggiling cabe sambal belacan. Aku mencoba menyibukkan diri di dapur. "Del." Suara berat menyebut namaku, postur tubuh tegap tinggi tepat berdiri membatas kepala pada pinggangnya lebih sedikit. Aku menoleh. Buru-buru membasuh tangan melangkah segera tanpa menghiraukan. "Del, Saya mau bicara!" Kaki itu menghalangi langkahku. "Kita bicara di ruang tamu saja pak," Jawabku pelan menunduk. Tak mampu sedikitpun beradu pandang dengan mata elang yang kini tengah menatapku begitu intens, Sekuat mungkin mengendalikan rasa yang campur aduk. malu, kesal, marah entah apalagi yang berhamburan memilin jantung. Tadi dia masuk ke kamarku, menyusul ke ruang tamu dengan tatapan yang aku tidak suka, sekarang berdiri santai di dapur berdua denganku. Besok apa lagi ? * Hening sekian menit berlalu. "Apakah kamu tulus menyayangi Caca, anak saya, Del?" Pertanyaan macam apa itu. Jika bukan karena Caca dan kebaikan Bu Erma aku tidak akan tinggal di rumah ini. "Maaf, Pak, besok saya akan pindah dari sini." Aku tak menjawab pertanyaannya. Berpikir selama kurun waktu aktivitas menjelang subuh. Hatiku bulat untuk meninggalkan rumah dan fokus kepada kuliah, sambil mencari pekerjaan lain. Selama ini, semua perlakuan pak Arman sebatas ayah dan anak, meskipun sering terdengar dari para saudaranya isu tak enak tentangku. Orang luar yang dibiayai kuliah plus gaji melebihi budget seorang pembantu. Padahal pekerjaan yang ku kerjakan tak lebih layak dari seorang pembantu. "Bicarakanlah besok dengan ibu!" Setelah mengatakan itu, ia berlalu masuk ke kamar mereka. Kuyakin Bu Erma mendengar karena setelahnya terdengar sayup mereka berbincang. * "Apa kamu tega meninggalkan saya dalam keadaan seperti ini, Del." Tangis Bu Erma pecah saat ku utarakan maksud kepergian. "Ibu sudah sehat, saya akan datang sesekali melihat ibu, bukankah buk Neni bisa menggantikan saya," kilahku, mengingat janda beranak lima yang biasa ikut membantu menyetrika di rumah akan senang mendapatkan pekerjaan dengan gaji setara dengan tenaga pengajar di sekolah Islam terpadu. "Neni akan menggantikan semua pekerjaan rumah yang kamu kerjakan, tapi kamu tetap harus di sini, mohon saya Del ... ! Tidak kah kamu kasihan melihat Caca." Rasa tak nyaman mendengar nama Caca disebutkan. Aku menggeleng, kukeraskan hati segera angkat kaki. Ada alasan yang jelas ini kulakukan. Masih segar di ingatan suara khas pak RT berbincang tawa bersama pak Arman, saat pulang subuh dari mesjid. "Cari tau siapa wali-nya, saya yang akan mengurus ke kantor KUA. Surat pernyataan sudah ditandatangani Bu Erma, itu urusan gampang lanjutannya." "Maaf Bu, niat saya sudah bulat," Jawabku tegas. "Kenapa mendadak, Del? Apa kamu tega meninggalkan Caca yang masih butuh kamu." "Caca itu sudah mandiri, sudah kelas tiga, seiring waktu dia akan terbiasa tanpa saya," Jawabku lagi. "Sekali lagi maaf Bu, saya harus segera pergi," Ucapku yakin. Aku mengemas barang, dan sekitar dua menit driver online akan menjemput, sebelum berbicara dengan Bu Erma lebih dulu memesan jasa dejol. Caca masih di sekolah, sebelum ia pulang aku harus segera pergi. Seraut wajah yang akhir-akhir ini menjebak detak jantungku tak lagi sehat, muncul merangkul Bu Erma, disusul Caca yang baru selesai membuka sepatunya. "Mama, mau pindah?" Tanya polos dari bibir mungil gadis kecil itu. Bu Erma dan Pak Arman menikmati suasana ambigu. Saling pandang. "Nanti mama akan sering kemari, Ca," Ucapku menenangkan keraguan, tak sanggup menemukan riak sedih di mata polos itu. tiiin tiiiinnn .... Klakson driver mencairkan keambiguan. Caca masih menatap tak percaya. "Saya pamit, Bu!" Aku mengulur tangan, Bu Erma tak bergeming, Caca berlari keluar, Pak Arman menyusul Caca. "Om, mama saya tidak jadi pergi, papa akan membayar ongkos dua kali lipat!" Gadis itu berbicara tegas pada driver. Aku terkejut dan memberi kode pada driver untuk tidak mendengarkan. "Adel." Suara itu. Ah ... Bulshit. Harus segera pergi. Tangan kekar dengan ukuran dua kali lipat tanganku, menahan pergelangan. Ritme jantung sudah tak karuan, detak napasku seakan berhenti. Getar frekuensi menjalar hingga aku tak mampu menoleh walau hanya sekedar melepas genggaman. "Sa ... saya harus pergi." Berat hati aku melepaskan paksa. "Adel," Ucapnya parau menyebut namaku. Memberanikan diri menatap retinanya adalah hal luar biasa yang pernah aku lakukan. Sendu, ada kesedihan di sana. Memaksa diri untuk maju, aku memeluk Caca. "Nanti mama ke sini lagi, Ca." "Pergilah! Jika ingin datang, kami menunggumu." Ucap suara itu berat. Aku tidak ingin melihat lagi kebelakang. Cukup sudah firasat yang akhir-akhir ini menghantui, mimpi buruk tentang dosa yang telah kulakukan dahulu. Apakah Tuhan akan memaafkan? Dengan mencintai Caca, kuharap Tuhan memaafkan masa lalu itu. Ternyata aku terperangkap, tidak hanya cinta pada gadis kecil itu. Tapi, sang ayah ikut mengrogoti jiwa dan hati ini. Tuhan ... Masih kah ada tempat buangan dosa untukku? * #TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD