Awal dari Semuanya

1081 Words
Apakah itu takut … atau penasaran? Rasa yang dapat kau jabarkan atas keberadaan sesuatu yang 'Tak Terlihat'. *** Pintu kaca otomatis di sebuah lobi mall terbuka sendiri saat Keysha Adeysa menginjakkan kakinya di lantai berbatu granit mewah gedung belasan tingkat tersebut. Aroma dingin dan khas dari pendingin udara, menguar menyentuh indera penciuman Kesha, membuat senyum terbit di wajahnya yang oval. Tangannya menggengam erat tali tas rajut yang ia selempangkan di bahunya. “Key … loe yakin mau kerja di sini?”  Sebuah suara membuat Keysha berpaling. Lutfi, sahabatnya sejak SMA dan kini menjadi teman sekampusnya, berdiri di sampingnya dan menatapnya dengan sorot mata cemas.  “Ya!” Keysha menjawab pertanyaan cowok kurus itu dengan cepat. Ia sangat bersemangat.  “Gak takut?” tanya Lutfi lagi. Pelan.  Keysha mengulum senyum. Bukan … ia bukan menertawakan kekhawatiran Lutfi yang sudah diutarakan Lutfi dari kemarin. Melainkan karena mata sipit Lutfi semakin menyipit dan kini terlihat hanya seperti garis. Namun meskipun begitu, wajah Lutfi tetap saja tampan. Ditambah dengan potongan rambut ala curtain haircut, Lutfi semakin mirip dengan aktor Korea. Pantas saja cewek-cewek di kampus tidak sedikit yang menaruh hati padanya. Namun sampai saat ini, Lutfi tidak menanggapi satu pun dari mereka dan selalu ada di sisi Keysha. Pipi Keysha memerah. Ia memalingkan wajahnya agar Lutfi tidak mengetahui isi hati yang berusaha ia sembunyikan dalam-dalam. Lutfi pernah mengatakan, bahwa selamanya ia ingin Keysha menjadi sahabatnya. Dan Keysha tidak ingin merusak itu dengan perasaan sepihaknya. “Key … Loe tau, kan? Gosipnya di mall ini ….” Ucapan Lutfi terhenti. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, seolah-olah takut perkataannya didengar oleh seseorang, atau sesuatu. “Alah, itu kan cuma gosip!” Keysha mengibaskan tangannya. “Lagipula, ini sudah zaman modern. Gak ada tuh cerita tumbal-tumbal atau apa.” “Tapi Key. Bahkan tadi gue merinding waktu kita masuk ke parkiran. Mana tempatnya gelap dan lembap lagi!” Lutfi meringis. Tanpa sadar ia mengusap lengannya di mana bulu-bulu halusnya menegak saat ia teringat tempat di mana sepeda motor maticnya saat ini terparkir. “Sstt! Malu-maluin, ih! Lu itu jadi cowok penakut amat!” Keysha mencebik. Ini adalah satu-satunya kelemahan Lutfi yang tidak Keysha senangi. Lutfi terlalu penakut dan paranoid tentang banyak hal.  “Gue bukan takut, Key. Tapi gue bisa merasakannya! Gue yakin, ada sesuatu yang salah di mall ini!” Lutfi masih bersikeras. “Di mana-mana basement pasti gelap, lembap, sepi! Loe kayak baru kali ini aja parkir di basement,” cibir Keysha.  Perkataan Lutfi tidak terlalu berpengaruh pada Keysha. Lutfi selalu begitu saat di tempat gelap. Ia selalu mengatakan bahwa ia bisa merasakan sesuatu tengah mengintainya dalam kegelapan. Cowok itu bahkan tidak mau menemani Keysha nonton ke bioskop dengan alasan tersebut. Jadi, Keysha tidak terlalu menganggap serius perkataan Lutfi kali ini. Bila seseorang merasa takut, sedikit hal saja bisa dibesar-besarkan. Lutfi terlihat kesal karena Keysha tidak percaya padanya. Ia mengusap rambutnya dengan kasar hingga rambut lurusnya itu sedikit kusut. Keysha refleks mengulurkan tangannya dan merapikan helaian rambut Lutfi. Lutfi tidak mencegahnya. Keysha sudah sering melakukan itu untuknya. “Loe jangan terlalu khawatir dan mikir yang aneh-aneh Fi. Loe tahu, kan? Betapa sulitnya cari pekerjaan di masa-masa resesi seperti sekarang ini? Gue butuh kerjaan ini, Fi.” Keysha menatap Lutfi dengan sorot mata sendu.  Lutfi menelan ludah. Ia tahu, yang dibutuhkan Keysa di saat ini adalah dorongan dan motivasi darinya. Bukan kekhawatiran yang selalu Lutfi ungkapkan sejak Keysha memberi kabar bahwa ia diterima bekerja di salah satu butik yang cukup terkenal di mall ini. Seharusnya Lutfi menyemangatinya, tapi …. Lutfi tidak melepaskan pandangannya dari Keysha. Tekad Keysha membuatnya salut. Lutfi paham betapa sulitnya keadaan Keysha. Ia butuh pekerjaan ini untuk membiayai kuliahnya yang nyaris terancam DO.  Keysha sudah lama menjadi anak yatim. Kehidupan ia dan kedua adiknya sepenuhnya bersandar pada ibunya yang menerima jahitan sambil berjualan kecil-kecilan di rumah mereka. Tahun ini, kedua adik Keysha serentak naik ke jenjang SMA dan SMP. Semua itu tentu saja butuh biaya yang tidak murah. Sebab meskipun uang sekolah gratis, tetapi tetap saja seragam, tas dan buku, semua harus beli.  Keysha seringkali bercerita kali dengan suara tertahan, betapa ia tidak ingin tega menambah beban di pundak ibunya dengan tagihan uang kuliah yang harus dibayar.  “Kalau saja gue bisa bantu, loe …” Raut wajah Lutfi berubah sendu. Namun kondisi keluarganya juga tidak terlalu baik pasca ayahnya ‘dirumahkan’. Untungnya, kakak sulungnya mau mengulurkan tangan dan menjamin biaya kuliah Lutfi. Kakak iparnya juga memberikan sebuah sepeda motor untuk memudahkan mobilitasnya. Lutfi sudah merasa sangat berutang budi hingga ia merasa sungkan untuk meminta lebih pada kakaknya yang telah berumah tangga itu. Keysha menatap Lutfi dengan haru. “Loe mau antar jemput gue, itu aja udah terima kasih banget.” Keysha mengembangkan senyum. “Ya, kali, loe mau nyambung angkot berapa kali dari rumah loe ke sini? Bisa-bisa gaji loe habis buat ongkos doang. Tapi loe janji, kan, mau traktir gue ntar kalau udah gajian.” Lutfi mengingatkan Keysha pada janjinya. Lutfi sama sekali tidak serius, hanya bergurau saja. Kalaupun Keysha memaksa mentraktirnya, paling ia hanya meminta ditraktir semangkok mie ayam di warung langganan mereka selama ini. Tidak terlalu mahal. “Iyee. Aman. Ntar loe mau makan apa, gue traktir! Ha … ha … ha ….” Keysha tertawa sambil merangkul Lutfi. “Ayo, masuk. Udah diliatin Pak Satpam, tuh! Dari tadi kita ngobrol doang di depan pintu, tapi gak masuk-masuk!”  Keysha menunjukkan arah dengan dagunya di mana seorang satpam yang bertubuh kekar memandangi mereka dengan sorot mata tajam. “Iya. Tapi jangan dirangkul gini, dong. Susah jalannya tahu!” sergah Lutfi. Ia tampak jengah karena lengan Keysha nangkring di bahunya dan melingkari lehernya dengan erat. “Ah, iya!” Keysha langsung melepas rangkulannya pada Lutfi.  “Lagian loe itu cewek, jangan sembarangan ngerangkul cowok.” Lutfi ngeloyor sambil bergumam pelan. “Apa?” Keysha melangkah lebar sambil mensejajarkan langkahnya dengan Lutfi. “Barusan loe bilang apa, Fi?” tanya Keysha lagi yang memang tidak terlalu mendengar apa yang dikatakan Lutfi barusan. “Gak ngomong apa-apa,” elak Lutfi. “Hiss! Gue yakin tadi loe ngomong sesuatu, deh!” Keysha masih ngotot.  Pintu kaca mall yang tadi telah tertutup kembali terbuka, membiarkan Keysha dan Lutfi memasukinya dengan ayunan langkah yang tepat berbarengan. Keduanya yang masih asyik mengobrol tidak menyadari hal itu. Sama halnya mereka tidak menyadari bahwa petugas satpam bertubuh kekar yang mereka lihat tadi, mendengkus dengan tatapan permusuhan saat mereka melewatinya. Satpam itu tidak melepaskan pandangannya dari Keysha dan Lutfi hingga tubuh mereka menghilang di antara pengunjung mall yang lain. Bersambung

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD