Bab 78 : Minggu Kedua

1272 Words
Akram tak punya nyali untuk sekadar menanyakan hal-hal penting pada Mia. Ia seolah membiarkan semua berjalan tanpa berniat m*****i waktu berharga mereka yang semakin hari semakin berkurang. Ini sudah memasuki minggu kedua. Di mana tantangan tiga puluh hari darinya nyatanya belum menampakkan hasil yang signifikan. "Minggu ini mau ke mana?" tanya Akram saat melihat Mia duduk melamun seorang diri. Mia menggeleng kecil. Ia tak punya rencana selain membaca buku atau sekadar menghabiskan waktu di kamar sendirian. "Nggak ada ide, Mas," jawab Mia asal. "Ikut aku yuk!" ajak Akram penuh semangat. Ia perhatikan semakin hari Mia semakin pendiam. "Ke mana?" "Jalan-jalan. Kita kencan lagi." Mia membelalak. Kencan? Akram menyeringai. Ia tentu bisa memahami tatapan itu. "Minggu pertama di bioskop. Harusnya kita nobar sampai akhir. Minggu kedua kita cari tempat yang nggak gelap," terang Akram. "Di mana?" "Ikut aja pokoknya. Sekarang ganti baju sana." Mia pun beranjak dari tempat itu untuk mempersiapkan diri. Sementara Akram berdiam diri sambil terus memikirkan mengapa Mia tidak mau bercerita seperti biasanya. [Waalaikumsalam. Iya, Kram. Waktu itu Mia sempat ke sini sendirian. Kalian nggak lagi ada masalah, kan?] Jawaban sekaligus pertanyaan dari ibu mertuanya justru membuat pikiran Akram semakin berkelana. Mia berbohong dan berusaha menutupinya. Ada apa sebenarnya? Maka demi menghormati keputusan istrinya, Akram menutup mata pada beberapa bagian termasuk perihal pertemuan Hilmi dan Mia. [Frans : Mia aku yang antar jemput. Ada berkas yang belum beres. Ingat, kamu nggak berhak ngalangin dia. Sudah cukup kamu buat dia terluka.] Pesan yang dikirimkan Frans justru bertolak belakang dengan Sufi. Sebenarnya mana yang benar? Apa mungkin Mia diam-diam bertemu Zaki? Atau memang ada hal lain yang harus gadis itu tutupi? Sayangnya Akram gagal mengungkapkan semua tanya karena saat Mia tepat ada di depannya ia justru tak bisa berkata-kata. "Udah siap?" Mia mengangguk mantap. Minggu kedua setelah pengakuan Akram tepatnya H-16 kepergiannya ke Irlandia, mereka akan kembali menghabiskan waktu bersama. "Eh lupa, Mas," ujar Mia saat akan mengunci pintu rumah mereka. "Apa?" "Kunci mobil." Akram menggeleng kecil seraya menyunggingkan senyum. "Naik motor aja." Mia melihat dirinya sendiri. Beruntung ia menggunakan kulot di mana lebih bisa leluasa saat membonceng Akram di belakang. "Lets go!" seru Akram. Mia sedikit tersipu saat akan menaiki motor itu. Terlebih tidak duduk menyamping seperti biasanya. Tentu sensasinya berbeda. Akram mengulum senyum. Di kencan kedua mereka harus ada yang berbeda. Ia ingin mengikat memori kebersamaan itu dengan baik. Namun, baru meninggalkan gerbang utama rumah mereka, tepatnya saat hendak membelok ke kanan satu pemandangan tak mengenakan terjadi. Plakkkkk!!! Cukup keras tamparan itu terdengar di telinga Mia dan Akram yang memang berkendara dengan pelan. "Pergi sekarang juga atau Mama yang keluar!" teriak perempuan dari sebelah rumah Mia dan Akram. Tepatnya di teras dengan pintu gerbang yang terbuka. "Anak nggak tau diri. Papa kamu meninggal karena mikirin kamu. Kerjaannya bikin kecewa aja! Kalau kamu bener kuliahnya, nggak mungkin papa meninggal!" sentak perempuan itu. Akram yang memang berkendara dengan cukup pelan sayup-sayup bisa mendengar. Ia juga melihat siapa gadis yang sedang dimaki dan ditampar itu. Sekuat hati Akram tak memedulikannya meski linangan air mata yang jatuh di pipi gadis itu tertangkap matanya. Akram tidak ingin goyah. Ia tentu perlu mengabaikan semua hal yang terjadi di rumah tetangganya. Meski kadang mendengar semacam barang pecah belah menghantam lantai juga kadang tanpa sengaja harus berpapasan dengan Nasha, ia harus menutup mata. Hubungan mereka sudah selesai. "Kita kebut ya, Mi." "Tapi, Mas...." "Pegangan," ujar Akram sambil mengencangkan gas di tangan kanan. Sontak membuat Mia mencengkeram kausnya. * Jauh dari angan-angan Mia sebelumnya. Akram mengajaknya berjalan-jalan ke sebuah bangunan yang sudah cukup lama tidak mereka kunjungi. Terutama untuk Mia. "Nggak salah, Mas?" Akram menggeleng. Hari ini ia ingin menyelesaikan segala bentuk kesalahpahaman. Ia ingin tahu apakah Mia masih mengingatnya. "Aku udah ijin. Aman kalau kita masuk," ucap Akram santai. "Oke, Mas." Akram berjalan memimpin langkah. Ada satu ruangan yang ingin sekali ia kunjungi dan menjadi tepat momennya saat ia merasakan ada yang berbeda dengan Mia. "Kamu ingat tempat itu?" tanya Akram menunjuk salah satu ruang penyimpanan sekolah mereka dulu. Mia mengangguk. Mana mungkin ia lupa? "Kalau itu?" tanya Akram lagi kali ini menunjuk lapangan basket tempatnya bermain kala itu. Mia kembali mengangguk. "Jelas ingat." "Syukurlah. Aku kira kamu lupa." Mia menggeleng. Meski singkat, kenangannya di sekolah menengah pertama sangat berkesan. "Sini dulu," ujar Akram seraya mendudukkan diri di selasar teras ruang kelas. Mia pun mengikutinya. Akram menatap ke arah lapangan basket. Ia pindai ulang setiap momen yang sudah berlalu itu. Tentu bayangan pertama yang muncul adalah siluet gadis dengan rambut sebahu yang tadi baru saja ditampar. Akram tersenyum kecil. "Dulu aku selalu mikir bakal sulit berjodoh dengan Nasha, Mi. Aku sadar diri banget keluarganya nggak bakal setuju andai aku melamar gadis itu." Deg! Ucapan Akram menyentak batin Mia. Mengapa malah membicarakan Nasha? "Dulu aku ngejalanin hubungan ya jalanin aja nggak pernah kepikiran bakal nikah muda sama orang yang berbeda pula," imbuh Akram. Ia sedang mengajak Mia masuk ke dunianya. "Sempet kepikiran sih sedikit kalau nasibku mungkin sama kaya Kak Delia dan Kak Dania. Lulus sekolah langsung dijodohin sama Ibu. Cuma aku nggak nyangka aja, dijodohinnya sama kamu." "Rezeki, jodoh dan mati kan emang rahasia Allah, Mas," timpal Mia. Akram tersenyum samar. Ya, ia tahu betul akan hal itu. Mana bisa ia menyangkalnya? "Maksudku, seorang kamu yang dari keluarga kaya, juragan, terpandang, kok dijodohinnya sama aku? Kenapa nggak nyari yang calon dokter apa lulusan luar negri misal." Akram sejatinya masih penasaran. Setelah ia mengakui akan mencoba membuka hati, justru ia mempertanyakan akan kualitas dirinya sebagai pendamping Mia. Mia terkekeh. Akram sepertinya sudah masuk dalam skenario yang pernah dibahas kakak angkatnya. Bagaimana pria itu seperti takut kehilangan dirinya. "Kok malah ketawa?" "Bapak sama ibu memang kerap menjodohkanku dengan pria lain, Mas. Sebelum mereka memberikan nama kamu ke aku. Cuma dari semuanya aku tolak. Karena aku merasa tidak cocok saja." "Tidak cocok? Lantas denganku yang nggak kamu kenal kamu langsung cocok?" Mia menggeleng kecil. "Nggak kenal kata kamu, Mas?" "Maaf ralat, kamu kenal aku. Kalau begitu kenapa kamu mau?" Mia mengukir senyum indah di wajahnya. "Aku percaya pilihan bapak sama ibu itu pasti tepat buat aku, Mas. Dan ketika nama yang diberikan adalah Danial Akram--seseorang yang aku kenal, aku iyakan saja." "Karena kamu sudah merasa kenal sebelumnya?" Mia mengangguk. Ia sendiri tak mengerti pasti kenapa bisa nama Akram yang diajukan oleh orangtuanya. Entah karena doanya yang terjawab atau memang takdir menggariskan demikian. "Kalau begitu aku mau balikin ini ke kamu, Mi." Akram menyodorkan secarik kertas lusuh, sedikit kumal dan tertekuk. "Ini sejak awal milik kamu bukan?" Mia membekam mulutnya. Ia tak mampu berkata-kata. Rupanya selama ini Akram menyimpan surat yang ia berikan untuknya. Ia kira surat itu tak pernah sampai. "Maafin aku, Mi. Selama ini aku mungkin sudah salah orang." Mia tak menjawab. Ia terpaku pada secarik kertas itu. Ya, selama ini ia kira surat itu hilang entah ke mana. Selama ini yang ia tahu Akram tak pernah mengingat namanya. Rupanya, kesalahpahamanlah yang menjadikan mereka tidak saling mengenal. "Aku juga minta maaf kalau selama kita nikah, kamu terus kuabaikan," imbuh Akram. Mia menatap ke dalam mata Akram. Ia menyelami seberapa banyak pantulan dirinya di sana. Ia coba yakinkan dirinya bahwa Akram pasti berubah. "Bagaimana? Apa hal ini bisa membantumu untuk tidak pergi? Apa ini cukup menjadi alasan agar kita bertahan?" Pertanyaan Akram tak langsung dijawab oleh Mia. Gadis itu hanya tersenyum sambil memilin kertas lusuh itu. Ragu turut serta membersamai setiap keputusannya. Sekali lagi ia perlu memastikan semuanya. Ia masih harus mencoba menguji seberapa besar cintanya untuk Danial Akram pun sebaliknya. Ia menjadi keras terhadap dirinya sendiri akibat dari ulah Akram. "Kita lihat nanti, Mas," jawab Mia sambil berdiri. Dorongan kuat dari dalam dirinya mengajaknya berjalan mendekat ke gudang penyimpanan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD