Bab 67 : Tak Bisa Menolak

1095 Words
Akram mengetuk pintu kamar mandi itu yang rupanya dikunci dari dalam oleh Mia. “Mia, buka, Mia!” seru Akram. Ia takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. “Mia! Baik-baik aja, kan?” ulang Akram. Ia menjadi semakin gusar. Mia bergeming. Air matanya menderas. Ia tidak bisa melepas bajunya akibat infus di tangan kiri. Ia merasa tak berdaya. “Mia, jangan aneh-aneh deh. Masa iya aku dobrak?” ujar Akram. Nada bicaranya meninggi. Tak ada jawab segera dari Mia. Gadis itu hanya bisa tergugu. Bayangan tentang foto suaminya dan mantan kekasih bertahta. Bagaimana senyum Akram begitu lepas untuk Nasha, bagaimana mereka sangat nyaman berbicara satu sama lain. Sungguh berbeda dengan keadaan mereka berdua. “Mia! Jawab aku Mia!” teriak Akram. Ia benar-benar tak tahan. “Kalau nggak kamu buka aku beneran dobrak. Aku itung, ya!” ujar Akram. Akram pun mundur beberapa langkah. Ia siap dengan kekuatan terbesarnya agar membuat pintu itu terbuka. Ia takut Mia kenapa-napa. “Nggak usah, Mas!” sahut Mia. “Apa?” “Nggak usah. Aku udah mau selesai.” Akram tidak salah dengar. Mia bilang sudah selesai. Akram pun menunda niatnya mendobrak pintu itu. “Kalau udah selesai buka sekarang. Kamu belum makan.” Mia kembali tak menjawab. Ia menyalakan kran wastafel dan berusaha menghilangkan jejak-jejak air matanya. Setelahnya Mia membuka kunci pintu kamar mandi. “Lama banget kalau ada apa....” Kalimat Akram terhenti. Mia keluar masih dengan pakaian yang sama. Artinya, gadis itu belum melakukan apa-apa. “Kamu kenapa?” Akram bisa dengan jelas melihat mata Mia yang masih terus menangis. Mia menggeleng. Ia harus menunjukkan pada suaminya kalau baik-baik saja. “Ada yang sakit?” tanya Akram penuh perhatian. Bisa jadi saat di kamar mandi Mia terpeleset atau mungkin terluka karena suatu hal. Mia mendorong pelan stand infus miliknya. Namun, Akram menahannya. “Aku baik-baik aja, Mas,” ucap Mia. Ia enggan memperpanjang perkara. “Tunggu,” ucap Akram masih berusaha menahan Mia.  “Aku tau masalah kamu. Aku bisa bantu,” lanjut Akram. Mia menggeleng. “Maaf, Mas. Kamu harus nemenin jin bau.” Gantian Akram menggeleng. Ia hanya bercanda. Tidak bermaksud menyinggung perasaan Mia. Akram pun memegang lengan Mia. “Aku suamimu. Aku akan bantu,” tutur Akram. Mia menepisnya. Hubungan mereka tidak sedekat itu. Ia sungkan meminta bantuan Akram. Mia pun kembali melangkah. “Apa perlu aku panggilkan kakak angkatmu? Biar dia yang membantumu?” Mia menghetikan langkahnya. “Apa orang yang tidak memiliki hubungan darah denganmu lebih berhak membantu kamu dalam urusan ini dibanding suamimu sendiri? Apa kamu wanita seperti itu?” Akram mempertanyakan sikap Mia. Jika dengan Frans gadis itu sangat mudah meminta bantuan, mengapa tidak dengannya. Mia terdiam. Sebagai seorang istri ia dikategorikan sudah membuat suaminya marah dan itu tidak dibenarkan dalam agamanya. “Bagaimana? Mau aku telfon sekarang? Aku yakin secepat kilat dia akan datang.” Akram beranjak dari posisinya. Ia hendak mengambil ponsel. Mia semakin dibuat salah dengan sikap suaminya itu. “Halo? Kamu di mana, Frans?” ujar Akram setelah nada sambung panggilannya terhubung. Sontak Mia terkejut karena Akram tidak main-main dengan ucapannya. “Mia butuh bantuanmu. Dia tidak mau aku yang bantu.” “Ibu? Aku minta ibu buat pulang. Kasihan sudah dua hari lebih nunggu Mia. Gimana? Kamu bisa?” Akram berbicara dengan Frans sambil menatap Mia. Seolah sengaja membuat gadis itu merasakan dilema. “Oke. Aku tunggu. Tak masalah misal harus satu jam lagi. Siapa tau saat denganmu ia mau membersihkan diri karena saat dengan aku dia justru enggan.” “Mas,” pekik Mia. Akram sudah sangat berlebihan. “Kenapa? Kamu mau bicara dengannya? Sebentar aku tanyakan dulu.” Akram menyerahkan ponselnya. Ia sengaja menyodorkan pada Mia. “Tutup ponselnya, Mas.” “Tutup?” Mia mengangguk. “Nggak usah panggil Kak Frans.” “Tapi kamu nggak mau dibantu aku, kan?” tantang Akram. Ia juga geram dengan sikap keras Mia. Selalu membantahnya. Mia memejamkan mata. Ia tidak mungkin menolak jika hubungan mereka baik-baik saja. Enam bulan ini mereka hanya orang asing, tidak saling mengenal dan terjebak dalam pernikahan. Halo? Terdengar suara dari ponsel Akram. Mia meraihnya. Segera ia matikan panggilan itu dan melemparkan ponsel milik suaminya ke brankar. “Mia!” seru Akram. “Udah malam kasihan Kak Frans, Mas. Kalau kamu nggak mau jagain aku, kamu bisa pergi. Aku nggak perlu dijaga.” Mia mulai putus asa. Ia tidak bisa menyembunyikan lagi kekalutannya. Air matanya menganak sungai. Akram pun geram. Ia sedang ingin membantu. Ia sedang akan membuka sedikit hatinya untuk Mia. Terlebih saat ia tahu gadis itu akan pergi ke Swiss untuk melanjutkan pendidikan dan itu semua karena dirinya. “Aku nggak perlu mandi, Mas. Aku nyaman dengan ini. Kalau Mas nggak nyaman, silakan pergi.” Mia kehabisan kesabaran. Emosinya sedang tidak bisa dikompromi. Akram mendesah. Tidak mungkin ia terus memaksa. Akram berjalan maju, mendekati Mia. Ia tatap gadis itu. Masih terlintas sedikit tapi tak sebanyak biasanya. Masih terngiang di telinga, tapi ak lagi mendominasi. Ia sudah bisa menyingkirkan Nasha. Ia akan menggantinya dengan seorang gadis di depannya. “Aku suamimu, aku mau bantu kamu. Jangan nolak karena aku suami kamu,” tegas Akram. Mia menggeleng. Ia tidak bisa, ia tidak mau. Namun, Akram sudah lebih dulu merengkuhnya. “Maafin aku nggak pernah perhatikan kamu. Maafin aku terlalu sibuk dengan duaniaku. Aku janji, nggak bakal begitu lagi.” Runtuh sudah pertahanan diri Mia. Ia sadar ia membutuhkan hal-hal semacam ini di saat tubuhnya sedang tidak terlalu baik. Ia sedang kacau. “Aku cuma mau bantu kamu bersihkan badan karena ibu kirim WA ke aku. Beliau khawatir sama kamu.” Mia berusaha mengurai rengkuhan Akram. Ia perhatikan apakah suaminya berbohong atau tidak. Menyadari akan hal itu, Akram mengukir senyum. “Mau aku tunjukkan?” Mia menggeleng. Dari kemarin ibunya memang selalu mengingatkan agar ia bersih-bersih. Hanya saja hari ini ia sangat malas karena telanjur memikirkan suaminya. “Kalaupun aku nggak baik jadi suami, jangan bikin aku gagal jadi menantu.” Mia semakin luluh. Ucapan semacam itu memang yang paling ia butuhkan. Selama ini ia menantikannya. Perlahan kepalanya mengangguk kecil. “Ayo,” ujar Akram saat merasakan anggukan itu. Ia tidak mau istrinya yang sedang labil karena sakit, berubah pikiran. Mia benar-benar pasrah. Ia mengikuti setiap arahan Akram. Pria itu membawanya kembali ke kamar mandi. “Ah, kerudung, Mi. Nggak apa-apa, kan?” Mia sedikit ragu. Ini kali kedua ia akan membukanya di depan Akram. Dulu, saat di vila di pantai ia pernah melakukannya dan tak ada respons berarti dari suaminya. Ia takut kali ini juga sama. Tangan Akram mulai terulur. Ia membantu Mia melepas bergo berwarna marun yang dipakainya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD