Chapter 2 : Two Years Earlier

2113 Words
UPDOWN COURT, OAKLAND, SF TWO YEARS EARLIER. "Jadi, hari ini kau berencana untuk mengatakan perasaanmu pada Victor?" Lily bergerak hadir. Mengalungkan diri di leher Savana. Memeluk sahabatnya erat. "Ya. Dia bilang aku sudah bisa memikirkan cinta jika sudah tujuh belas tahun." Savana berdecak. Menaruh lipstik berwarna merah muda di meja rias. Memerhatikan lekuk pipinya yang bulat, melalui pantulan cermin dihadapannya. "Ck. Aku harap dia tidak menolak, agar hari ulang tahun mu tidak rusak," gumam Lily. Berdecak sebal. Lekas memundurkan diri. Lily tidak pernah suka Victor. Pria itu menyebalkan. Dingin, dan omongannya kadang pedas. Terlebih, Lily tahu pria seperti apa Victor. Perannya sebagai CEO di perusahaan besar milik Maxent, membuatnya untung. Terlebih dalam urusan cinta. Katanya, Victor banyak memiliki perempuan. "Kau sudah siap?" tanya Savana. Beranjak bangun. Berdiri tegap dari tempatnya duduk. Seketika, ujung gaun berwarna merah darah yang ia kenakan jatuh. Menyentuh lantai. Lily terdiam, membulatkan kedua mata. "Kau sangat dewasa. Cantik..." puji Lily berlebihan. Menelan ludahnya kasar, lalu turun ke arah belahan gaun tersebut. Cukup tinggi, memperlihatkan kaki panjang dan mulus Savana. Sempurna. "Menurutmu, aku pakai heels yang mana?" tanya Savana. Mengarahkan tatapan ke atas ranjang. Melirik tujuh pasang sepatu bermerk yang ia beli. Savana kesusahan memilih. Jadi ia memboyong semuanya dari toko. Apalagi, hari ini uang kontrak nya turun. Dalam usia muda, Savana telah mengantongi uang lima juta dollar di tabungannya. "Yang tengah saja!" tunjuk Lily memberi pendapat. Ingin penampilan Savana bersinar. Terlebih, ini acara ulang tahunnya ke tujuh belas. "Thanks, Lily." Savana tersenyum. Mengapresiasi. Menyetujui pendapat Lily. Kebetulan, Savana memang telah mengincar model itu. "My pleasure, princess!" puji Lily. Mendekat. Menyentuh bahu terbuka Savana, lalu berbisik. "Jika di terima Victor. Jangan langsung menyerahkan diri untuknya. Buat dia tergila-gila padamu. Okay!" "Aku berniat untuk melepas keperawanan ku malam ini," tegas Savana. "Kau serius?" Lily terkejut. Melangkah mundur. Menatap sahabatnya mulai ujung kaki hingga kepala. "Yes. Sangat serius!" Savana mengembuskan napas. Meraih botol parfum dan menyemprotkan kembali cairan tersebut ke tubuh. Bergegas meraih sepatu, lekas memakainya. "Jangan menatapku seperti itu, Lily. Aku sudah malu karena belum pernah berhubungan seks hingga sekarang." "Kita masih tujuh belas tahun," papar Lily. Menghela napas. "Gadis berusia tujuh belas tahun di Amerika, sudah hidup mandiri dan tinggal dengan pasangannya. Kita bahkan belum melakukan apapun," sanggah Savana. "Aku tidak mau tinggal dengan pria yang tidak bisa membawaku ke salon setiap hari!" sergah Lily. "Aku tidak butuh pria jika hanya ingin ke salon. Ayolah, aku ingin menikmati hidup dan menetapkan pilihan. Bibir untuk pria yang aku cintai, tubuh untuk pria yang akan ku buang!" "Kau sangat melankolis! Aku takut kau menjadi sinting, jika Victor menolak mu malam ini!" singgung Lily. "Dia tidak akan menolak ku. Victor sangat baik padaku. Dia pasti menyukaiku!" "Sebagai sahabat. Aku hanya akan mendoakan yang terbaik untukmu!" "Thanks, Lily. Ayo kita keluar!" Savana siap. Pesta ulang tahunnya akan dimulai. Tahun ini, gadis itu mengundang teman barunya. Sekaligus, melakukan perayaan atas penerimaan murid baru di kampus Resseauo. Maxent bilang, dia turut mengundang anggota keluarga pemilik universitas. Resseauo's Family. ______________ "Dad, apa masih lama?" tanya Vernon. Berbisik. Resah. Memegang gelas berisi lime juice, sambil menggaruk alis tebalnya dengan ibu jari. "Sebentar lagi. Kau harus ku kenalkan dengan seseorang. Lagipula, mereka semua yang ada di sini akan menjadi murid mu di kampus!" tahan Marck. Tanpa melepas pautannya dari Naomi. Menciptakan hubungan romantis yang sangat sulit dipisahkan. "Dad, kau setuju untuk merahasiakan namaku!" tegas Vernon. Terdengar jengah. "Aku tahu dan tepat janji!" timpal Marck. Melirik ke arah Naomi. Wanita anggun itu hanya mengulas senyum. Sesekali menggeleng kepala. Tidak berniat ikut campur. "Tapi, aku tidak...." "Mr. Resseaou!" Maxent menyela. Melempar senyum khas yang begitu mirip dengan Alexander. Marck turut menoleh, membalas Maxent dengan sambutan hangat. "Maxent Morgan!" "Maaf aku terlambat keluar. Kau sudah lama menunggu?" tanya Maxent. "Tidak. Kami baru sampai." "Syukurlah. Oh ya, kenalkan, dia istriku. Laura." papar Maxent. Ramah. Tanpa melepas pautan di pinggul wanita tersebut. Laura melempar senyum, menyalami istri Marck tanpa ragu. "Terimakasih karena telah mengundang. Aku juga punya hadiah kecil untuk putrimu," papar Naomi menyentuh punggung tangan Laura. Memegang dengan kedua tangan, sambil mengulur paperbag. "Kau harusnya tidak perlu repot, Mrs. Resseauo. Aku cukup senang melihatmu hadir di acara ulang tahun Savana," balas Laura. Lantas, saling melepas pautan. Tetap menerima hadiah. "Tidak masalah. Itu hanya hadiah kecil. Hm ya, Aku dengar putrimu juga lolos masuk ke Resseauo. Selamat!" tegas Marck. "Ya. Putriku memiliki keinginan kuat untuk bersaing dengan murid yang ada di Resseauo," ujar Maxent. "Semua orang ingin masuk ke Resseauo. Dia akan bertahan jika nilainya bagus," singgung Vernon. Spontan. Membuat tiap orang yang sejak tadi mengabaikannya lekas menoleh. Maxent mendengus. Tidak menanggapi Vernon serius. "Aku hampir lupa denganmu. Astaga. Mr. Morgan kenalkan, Dia...." "Vernon Zeke. Professor baru kelas Business." Vernon menyela sigap. Sebelum Marck mungkin hampir saja menghancurkan rencananya. Tidak ada yang boleh tahu identitasnya. Seorang Morgan sekalipun. "Putriku juga di kelas Bisnis," jelas Maxent. Menjabat tangan Vernon. Tegas. "Satu kehormatan jika bisa mengajarkan banyak ilmu pada putrimu, Mr. Morgan." papar Vernon. Melepas pautan. "Mr. Morgan," sebuah panggilan. Terdengar lebih tegas. Tajam. Menampilkan sosok pria bertubuh jangkung. Mata membulat, coklat. "Victor. Kemarilah! Kebetulan sekali. Kau juga harus mengenalnya," panggil Maxent. Membuat Victon menundukkan pandangan. Menyapa sopan. "Victor Ron West?" tanya Marck. Melengkapi. "Ya. Aku!" tepat Victor. "Senang melihatmu di sini. Kedepannya, kita akan bekerja sama. Kau CEO Alpha Technology, 'kan?" tanya Marck. Membuat Victor mengalihkan pandangan pada Maxent. "Ya. Dia CEO perusahaan milikku!" tegas Maxent. "Jangan membicarakan pekerjaan di tengah pesta," pinta Naomi. Menggeleng kepala, lalu mengusap lengan suaminya begitu lembut. "Aku terlalu bersemangat," kekeh Marck. "Maaf, aku harus menerima panggilan. Aku permisi dulu!" Vernon bergeser, sigap. Mempercepat langkah. Alasan. Ia hanya bosan. "Savana....." teriak beberapa orang. Kini mengalih perhatian. Vernon turut menghentikan langkah. Menangkap sosok gadis bergaun merah. Terlalu dewasa untuk usianya. Namun, Savana begitu cantik. Tampil memukau. Tampaknya, ia punya banyak pengagum. Damn! Savana membuat Vernon mengurungkan niat untuk kabur.  "Savana. Happy birthday!" gemuruh. Suara dari tiap sudut pekarangan mansion. Riuh dengan tepuk tangan. Tiap mata, memusatkan perhatian pada gadis muda itu. "Savana. Savana. Savana." pekik dari satu kelompok. Membuat Vernon turut menoleh. Waw! Gadis itu ternyata populer. "Thank you. Senang melihat kalian semua di sini," sapa Savana. Berdiri di depan kue setinggi Satu meter. Berwarna putih, lima tingkat. Lengkap dengan pita berwarna gold dan hiasan menyerupai bunga mawar.  Vernon mengerutkan kening. Mengedarkan pandangan matanya. Demi Tuhan, ia baru menyadari bahwa seluruh decorasi di tata dengan bunga hidup— Red roses. Wajar saja, sejak tadi Vernon mencium aroma bunga yang begitu wangi. Pekat. Lantas, Vernon mengernyitkan dahi. Begitu melihat Maxent dan Laura bersanding, tepat di sisi Savana. Sigap, Vernon merogoh saku. Memeriksa hadiah yang sempat ia siapkan. Parfum dengan aroma roses. Suatu kebetulan. Heh! Vernon mendengus. Berat. Menggaruk pelipisnya, lagi. Lalu memanggil seseorang wanita, yang kebetulan melintas, tepat dihadapannya. Cepat, wanita itu melirik. Menatap heran. "Bisa tolong aku untuk memberikan hadiah ini padanya?" tunjuk Vernon ke arah Savana. "Ya!" angguk wanita asing tersebut. Menyambut titipan Vernon. "Thanks." Vernon berujar. Kembali menempatkan pandangan ke arah Savana. Gadis itu tersenyum hangat. Menunggu untuk meniup lilin. "Jangan pulang sampai acara selesai!" tahan Marck. Muncul entah dari mana. Menahan pergerakan Vernon yang memang ingin kabur. "Dad." "Bertahanlah sebentar! Kita harus dekat dengan keluarga Morgan. Aku menaruh uang yang banyak di keluarga mereka untuk berbisnis." "Apa maksudmu?" tanya Vernon. Tidak paham. "Keluarga Morgan berpengaruh. Koneksi yang mereka miliki kuat. Daddy dan Maxent memiliki proyek besar. Jika berhasil, keluarga kita akan mendapatkan keuntungan besar!" "Lalu? Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Vernon. Serak. Langsung ke inti pembicaraan. "Aku hanya ingin kau tetap di sini. Mommy mu masih khawatir karena kau melepas nama Resseauo. Jadi, jangan buat keributan apapun di sini!" pinta Marck. Hanya ingin melakukan sesuatu hal yang menyangkut dengan istrinya. Vernon menghela napas. Melirik singkat ke arah Naomi. Mommy nya tampak senang. Mengobrol dengan beberapa istri tamu yang tampaknya berasal dari rekan bisnis Maxent yang juga di undang. Keberadaan Walikota San Francisco dan putrinya— Ruby Rovenstine, dan beberapa pejabat tinggi serta pengusaha terkenal turut hadir. Membuktikan betapa kuatnya koneksi yang dimiliki Maxent. Tidak heran, mereka Morgan's family. "Baiklah. Aku akan mencari angin segar, sambil melihat-lihat Mansion!" papar Vernon. Penuh janji. Membuat Marck mengangguk lega. Ia percaya putranya. Vernon pria yang penuh tanggungjawab. _________________ "Dad, kau lihat Victor?" tanya Savana. Menempel di bahu Maxent. "Savana. Mommy mencarimu sejak tadi. Kau..." "Mom kau lihat Victor?" tanya Savana. Berulang. Melempar senyum hormat ke arah tamu penting Maxent. "Tadi dia di sini, tapi sekarang entah. Mommy belum melihatnya lagi," ujar Laura. Ikut memerhatikan suasana. "Savana kau harus berkenalan dengan pemilik kampus, dia ada di sana!" tunjuk Maxent ke lain arah. Tepat pada Marck, asyik menikmati pesta. Berbincang ringan dengan Walikota. "Nanti saja. Aku cari Victor dulu, ya!" "Savana Saxon Morgan!" teriak Maxent. Menyebutkan nama lengkap putrinya. Meski demikian, Savana tetap mengabaikan. Berlari menghilang. Maxent marah. Savana tidak sopan dihadapan tamunya. Untungnya, Laura bersikap tanggap. Memegang lengan Maxent agar tetap menahan diri. "Maaf. Putriku sedikit keras kepala. Dia mirip kakeknya!" ujar Maxent. Menjelekkan Alexander, saat Savana bertingkah. Entah berapa kali ia menyebutkan kalimat itu. "Tidak masalah, putrimu mungkin di masa puber. Remaja biasa melakukan itu!" "Thanks." ________________ Setelah mendapatkan informasi keberadaan Victor. Savana berlari pergi. Melangkah dengan senyum lebar. Ia menata diri. Ingin tetap terlihat cantik. Langkahnya sudah bulat. Keputusan telah di ambil. Savana akan mengakui perasaannya selama ini terhadap Victor. Lalu, biarkan pria itu memilikinya. Selamanya yang ia inginkan. Savana menegakkan kepala. Tampak berani dan percaya diri. Langkah kakinya semakin dekat. Menuju halaman belalang mansion yang tidak digunakan untuk pesta. Di sana pasti sepi. "Victor!" panggil Savana. Ketika sampai. Menoleh ke sembarang tempat. Mencari pergerakan yang ia harapkan. Masih dengan bibir tersenyum, Savana begitu sigap. Mengelilingi backyard yang cukup luas. Savana lantas menghentikan langkah. Saat indra pendengaran nya memperoleh sesuatu. Ia menelan ludah. Melirik pada sebuah ruang kosong yang dijadikan gudang untuk mengisi beberapa barang bekas. Kening gadis itu mengerut. Heran. Sedikit berisik. Seperti dua orang tengah mengobrol. Lampunya pun terlihat hidup. Meski remang. Savana melenguh pelan. Memberanikan diri mendekati gudang. Ia mengambil napas. Memegang gagang pintu. "Vic!" berat. Suara wanita dari dalam ruangan. Savana kini yakin, bahwa Victor-nya berada di dalam. Savana penasaran, dengan siapa pria itu bicara. Maka dengan cepat Savana menekan gagang pintu dan lekas membukanya selebar mungkin. Savana mendongak. Langsung menatap tepat ke arah Victor. Pria itu b******u dengan seorang wanita. Mereka begitu asyik, bercinta, bahkan tidak menyadari kedatangannya. Savana bergetar. Lemas seketika. Bahkan, kata kecewa tidak mampu menggambarkan perasaannya saat ini. Savana geram. Lalu sengaja membanting pintu. Victor panik. Terpaksa menarik diri dan menoleh ke arah pintu. "Vic. Apa ada yang melihat kita?" tanya wanita yang menjadi lawan bercintanya. Victor lekas mengancing bawahan. Berlari mendekati pintu, guna memeriksa. Namun, hasilnya nihil. Savana bersembunyi. Lalu berlari menjauh saat Victor lengah. Kini, Savana berlari menuju ruang champagne. Sambil menyeka matanya yang basah. ____________ Vernon membakar sebatang rokok. Memerhatikan sekitar. Ia berdiam diri. Menemukan sebuah ruang kaca yang tampak berdiri tegak, bagai dua bangunan yang terpisah. Letak ruangan lebih menjorok ke dalam, underground. Terdapat pula kolam renang dengan sudut lancip. Letaknya cukup jauh dari mansion utama. Vernon tidak lagi mendengar hiruk-pikuk suara pesta Savana. Sepi. Bisu. Tenang. Namun, cukup terawat. "Champagne room," eja Vernon. Mengusap papan emas yang terpahat pada dinding batu, yang lebarnya hanya sekitar tiga puluh senti. "Free!" sambung Vernon. Mengulas senyum. Ia mengartikan, bahwa ruangan bebas di akses siapapun. Tanpa menunggu, Vernon memeriksa tempat. Kebetulan pintu kaca itu tidak terkunci. "Hmm. Cukup nyaman!" puji Vernon. Mengedarkan pandangan. Memerhatikan ratusan botol kaca tersusun rapi. Wah, tampaknya Maxent memiliki hobby unik. Vernon menemukan beberapa champagne mahal yang kini langkah dan puluhan botol minuman berusia ratusan tahun. Bergeser ke sebelah kanan. Kini, Vernon menemukan empat pasang sofa dan meja kaca, tempat tidur bulat dengan tirai penutup, mini kitchen, bathroom, dan perpustakaan. Tidak ada kamera pengawas. Benar-benar terlihat seperti secret room. "Sebaiknya aku tidak berada di sini!" keluh Vernon. Menyadari bahwa ia telah melanggar batas privasi. Meski memiliki tulisan Free. Bukan berarti ruangan bisa di gunakan untuk orang asing sepertinya. Vernon menarik napas, berniat undur diri. Segera, ia melangkah berat. Pranggg!! "Awww! f**k. f**k. f**k. f**k!!!!!" parau. Serak. Suara pecahan kaca, lalu di susul teriakan dari luar ruangan terdengar memprovokasi. Vernon terkejut. Langsung berlari keluar. Hendak memeriksa. Vernon bukan pengecut. Ia tidak akan kabur. "Savana?" kejut Vernon. Lepas begitu lancar. Memanggil nama gadis itu untuk pertama kalinya. Sontak, Savana yang semula terduduk di lantai, mengangkat pandangan, mendongak tinggi. Ia membulatkan kedua iris mata. Tertegun tanpa suara. "Kau ingin bunuh diri?" teriak Vernon. Memerhatikan pergelangan tangan kiri Savana mengeluarkan darah. Mengental. Sementara, yang kanan memegang pecahan Vas kaca. "Ha?" tanya Savana. Bingung. Menggaruk-garuk pelipisnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD