Chapter 10. Tidak Ada Salahnya Berteman

2172 Words
Biasanya Ola tidak suka makan siang dengan orang selain keluarganya, atau seseorang yang benar-benar ia kenal seperti Stevan, Shane, dan beberapa rekan kerjanya. Namun, ia mendapati bahwa makan bersama pria yang hanya pernah ia dengar namanya ini, juga bukan sesuatu yang buruk. Bahkan, anehnya, Ola merasakan hal lain yang tidak pernah ia rasakan saat bersama dengan orang lain di sini. Mulutnya seakan bercerita tentang apapun dengan sendirinya, tanpa ia sempat memikirkannya. Seharusnya itu menjadi tanda bahaya baginya karena sebelum ini, Ola selalu pandai menyimpan rapat-rapat hal yang tidak ingin ia bagi bersama orang lain. Dan biasanya, itu selalu berhasil. Lalu kenapa sekarang dirinya mengatakan tentang ia yang tidak memiliki banyak teman untuk makan siang? Nero pasti akan menganggapnya menyedihkan karena ternyata jabatan tinggi pun tidak menjamin kau akan memiliki banyak teman. Padahal baginya, itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Sejak dulu, Ola memang tidak pernah dekat dengan siapapun selain anggota keluarganya. Dekat dengan orang lain berarti nyaman bersamanya. Dan jika kau sudah nyaman, kau akan bergantung padanya. Lalu, ketika apa yang kau harapkan dari orang tersebut tidak sesuai dengan kenyataan, hatimu akan patah dan akhirnya malah membenci orang tersebut. Jika sudah seperti itu, hubungan hanya akan memburuk dan berakhir. Ola tidak ingin memiliki jenis hubungan yang seperti itu. Jauh lebih aman berteman dengan dirinya sendiri, karena pada akhirnya, seseorang yang bisa kau andalkan hanyalah dirimu sendiri. Oke, dalam konteksnya, mungkin ia juga bisa mengandalkan keluarganya. Ia tahu itu dengan pasti. Mereka semua akan membantunya dengan senang hati jika ia butuh sesuatu. Tidak peduli apapun itu. Namun lagi-lagi, Ola bukan jenis wanita manja yang menggantungkan hidupnya pada orang lain. Apa yang ia miliki sekarang adalah bukti nyata bahwa hal terbaik yang pernah terjadi adalah tidak mengandalkan siapa-siapa dalam hidupnya. “Jadi biasanya kau hanya makan siang sendirian jika kebetulan tidak makan dengan Paman Stevan?” Pertanyaan itu lagi-lagi membuat Ola tersenyum. Biasanya, ia akan kesal jika ada orang yang sangat ingin tahu tentang hidupnya. Namun sekarang, ia tidak merasa kesal sama sekali. Justru, Ola memiliki keinginan untuk mengatakan alasannya pada Nero, dan ia memang melakukannya. “Kau tahu sulit bagiku mencari jenis makanan ‘aman’ di sini. Dan restoran halal ini membuatku bisa menyantap apa saja tanpa khawatir. Lagipula, makanan di sana memang luar biasa enaknya.” Nero mengangguk paham dan kembali menggigit kebabnya. Bahkan cara makan pria itu sangat elegan. Pantas saja Damar merasa insecure dengan pria ini. Ola sudah sangat ingin membahas itu. Akan tetapi, ia tidak bisa menemukan momen yang pas untuk menyinggungnya. Selain itu, ia takut jika suasana nyaman ini akan menghilang jika mereka membicarakan hal lain. Termasuk tentang Muti. Ola tidak pernah mengenal gadis itu secara dekat. Ia hanya beberapa kali bertemu dengannya jika Damar mengajaknya ke rumah saat kedua anak itu masih berusia sepuluh atau sebelas. Ola sudah berangkat ke New York saat Damar lulus dari sekolah dasar. Ia mengingat gadis itu sebagai seseorang yang tomboy dengan rambut pendeknya. Gadis itu juga suka membantu Opa di kebun, dan ia juga disukai semua keluarganya karena pembawaannya yang menyenangkan. Ketika dewasa, Ola hanya pernah satu atau dua kali bertemu Muti saat ia pulang ke Jakarta. Dan sejujurnya, gadis itu terlihat masih sama menyenangkannya seperti dulu. Masih selalu tersenyum dengan ceria setiap bertemu orang. Wajar jika Damar, juga pria ini, tidak bisa memalingkan hati mereka dari Muti. “Aku tidak menyangka jika Paman Stevan menyukai makanan Timur Tengah seperti ini,” ucap Nero membuyarkan lamunan Ola. Ola tersenyum sambil meraih ayam gorengnya. Restoran itu terkenal memiliki saus bumbu kari yang sangat enak dan cocok dipadukan dengan ayam goreng tersebut. Ia benar-benar tidak menyangka jika Stevan ternyata mengamati apa yang menjadi kesukaannya. Tentang kenapa pria itu merencanakan makan siang ini, ia masih penasaran. “Awalnya, dia hanya ingin membicarakan bisnis sambil makan siang. Ketika aku menolak semua restoran yang ia sebutkan, ia memintaku membawanya ke manapun yang kuinginkan, dan aku membawanya ke sana. Dia langsung jatuh cinta dengan saus kari ini.” Ola meraih mangkuk kecil berisi saus itu dan mencelupkan ayam gorengnya ke dalamnya sebelum menggigitnya dengan penuh kenikmatan. Ia selalu menyukai makanan, dan tidak peduli siapapun yang ada di hadapannya, Ola tidak akan menahan diri untuk berpura-pura tidak nafsu makan atau sedang diet. Ia tidak pernah mengenal diet. Mereka bermusuhan. Jika bentuk badannya tetap seperti ini meskipun ia sudah makan banyak, itu adalah karena ia selalu meluangkan waktu untuk berolahraga di sela waktu senggangnya. Atau mungkin juga, ia memang tidak memiliki bakat gemuk dalam dirinya. Selama beberapa saat, Ola hanya menikmati ayam goreng itu tanpa bicara apa-apa, tetapi ia mengerang saat saus kari mengenai rok putihnya. Lagi-lagi kecerobohannya membuat satu gaun mahalnya menjadi rusak. Ia selalu lupa diri jika sedang memakan ayam ini, juga lupa bahwa hari ini dirinya memakai rok putih. “Tampaknya aku harus kembali ke ruanganku,” katanya menyesal sambil menunjuk noda besar di roknya. “Kau bisa memakai kamar mandiku.” Nero bangkit sambil menunjukkan letak kamar mandi yang tersembunyi. Sejenak, Ola merasa ragu. Namun, ketika ia memandang Nero yang menatapnya dengan tulus, tidak terlihat memiliki maksud apapun, membuat Ola bangkit dan menghilang ke balik kamar mandi mewah milik pria itu. Tempat ini mirip dengan kamar mandi yang ada di ruangannya, tetapi belum memiliki sentuhan apapun di dalamnya. Nero mungkin bahkan belum pernah memakainya. Ola mendesah memandang noda basah yang baru saja ia lap dengan lembut. Nodanya hanya meninggalkan sedikit jejak kuning, tetapi kini noda basah itu membuatnya terlihat seperti baru saja mengompol. Seharusnya ia lebih berhati-hati tadi. Untung saja, ia memiliki beberapa pakaian ganti di ruangannya. “Tampaknya aku harus berganti pakaian sebelum ada orang lain yang melihatnya,” ucap Ola saat ia keluar dari kamar mandi. “Tetapi kau belum menghabiskan makan siang dan kopimu.” Kopi. Ola tidak tahu mengapa kopi itu terasa begitu nikmat. Jauh lebih nikmat dari kopi yang biasa ia buat, atau ia beli di Starbucks. Kopi itu memiliki jenis keharuman yang jauh lebih menggoda, dan rasa pahitnya yang pekat, terasa hingga ke tenggorokannya. Bertahan di sana selama beberapa saat sebelum menghilang. “Kau benar. Kopi,” kata Ola sambil duduk kembali di hadapan Nero. “Bagaimana kau bisa memiliki kopi seenak ini? Aku rasa pantry tidak pernah menyediakan kopi seperti ini sebelumnya.” Lagi-lagi Nero tersenyum dan Ola mendapati jika ia tidak bisa memalingkan wajah dari senyum itu. Pria ini pasti akan menjadi idola baru di kantor ini. Ola hanya pernah melihatnya dalam foto yang pernah diunggah Muti di sosial media, tetapi berada langsung di hadapannya, dan melihatnya lewat sebuah foto, jelas sesuatu yang berbeda. Nero bisa mendapatkan semua wanita yang ia inginkan dengan mudah. Namun nyatanya, pria itu bertahan dengan seseorang yang entah akan memberikan hatinya untuk siapa. Di satu sisi, itu menunjukkan jika pria tersebut adalah seseorang yang setia dengan perasaannya. Di sisi lain, itu juga menunjukkan jika Nero hanyalah satu dari banyak orang yang akhirnya termakan oleh godaan romantisme yang tiada arti. Lihat kan? Cinta tidak pernah memiliki akhir yang menyenangkan. Beberapa orang mungkin beruntung, seperti orang tuanya. Akan tetapi, jauh lebih banyak yang tidak beruntung tentang itu. “Ini biji kopi yang khusus kuminta pada Paman Stevan sebagai syarat aku mau bekerja di sini.” Ola mengangkat alisnya. Kopi sebagai syarat bekerja? Itu pasti hanya sebuah candaan kan? “Kau tidak mungkin serius!” Nero terkekeh pelan. “Memang tidak. Kau menyukainya?” Kopinya. Yang Nero maksud pasti apakah ia menyukai kopi itu, jadi ia hanya mengangguk dan kembali meminum sisa di cangkirnya. “Aku punya sebuah kafe. Tidak besar. Tetapi kadang aku meracik kopi sendiri di sana.” Seorang barista? Apa itu pekerjaan sampingan Nero jika tidak sedang bekerja di sekolah? Ola mendapati dirinya begitu penasaran ingin bertanya, tetapi Nero lebih dulu membuka mulutnya lagi. “Jadi kenapa kau tidak memakai nama keluargamu saat memperkenalkan diri tadi?” Itu dia! Akhirnya, pria itu yang lebih dulu membuka percakapan yang sangat ingin Ola ingin bahas. “Mungkin alasannya sama seperti kenapa kau tidak mengatakan pada orang tuaku jika kau anak James? Padahal aku yakin kau tidak menyembunyikan nama keluargamu seperti aku.” Lagi-lagi Nero tersenyum. Sungguh sebuah hal yang tidak biasa mengingat Damar sering berkata padanya jika Nero selalu berpura-pura cool dan jarang tersenyum karena ingin menarik perhatian Muti. Saat itu, Ola berpikir jika mungkin saja memang seperti itulah sifat Nero yang sesungguhnya. Para pria tampan memang selalu mahal senyum. Namun, saat melihat sudah beberapa kali pria itu tersenyum, bahkan tertawa, Ola mulai merasa jika Damar benar. “Apa kau memang suka sekali mendebat orang lain? Mungkin itu yang membuat ayahku menyukaimu hingga mengangkatmu menjadi direktur termuda?” Betapa mudahnya obrolan mereka berubah dari hal-hal remeh tentang makan siang dan kopi, dan kembali ke masalah pekerjaan. Ola tidak pernah menemukan orang yang begitu mudah diajak bicara seperti ini. Rasanya benar-benar seperti menemukan teman yang sefrekuensi dengannya. “Itu karena pekerjaanku sempurna,” sahut Ola dengan nada bangga yang tidak ia tutup-tutupi. “Aku direktur termuda yang pernah diangkat di perusahaan ini.” “Tidak salah lagi,” sahut Nero sambil mengangguk. “Kenapa kau tidak pulang ke Jakarta dan bekerja di yayasan milik keluargamu? Jika kau sehebat ini, ayahmu pasti sangat menginginkanmu bekerja di sana.” Ola mengembuskan napas sambil meletakkan cangkir kopinya. Setelah itu, ia menundukkan kepala menatap noda di roknya yang hampir mengering. “Apa kau pernah memiliki keinginan sekali saja, untuk membuktikan pada ayahmu bahwa kau mampu berdiri sendiri tanpa bayang-bayang nama besar Goldman?” Saat ia mengangkat kepalanya, Nero menatapnya dengan tertarik. Bukan tertarik secara fisik ataupun romantis. Pria itu tampak benar-benar menyukai apa yang sedang mereka bicarakan ini. Itu juga sesuatu yang jarang Ola temui. Biasanya, para pria tertarik bicara dengannya karena wajah cantik yang ia miliki. Oke, mungkin awalnya mereka membicarakan hal umum seperti pekerjaan, hobi, atau bahkan cuaca. Namun, pada akhirnya, Ola selalu melihat jika para pria yang tertarik dengannya itu karena mereka ingin menidurinya. Nero tidak seperti itu. Dan dari semua interaksi mereka selama makan siang ini, tidak pernah sekalipun ia menangkap ketertarikan fisik dari cara Nero menatap atau bicara padanya. “Itulah kenapa aku membuka kafe di Jakarta. Aku ingin menunjukkan pada Dad bahwa aku juga bisa memulai usahaku sendiri walaupun hanya kecil-kecilan.” “Seperti halnya aku yang ingin membuktikan pada ayah bahwa aku bisa memiliki karirku sendiri di sini tanpa bantuan nama besar keluargaku.” “Kau tidak ingin kembali dan bekerja di sekolah?” tanya Nero sambil mengerutkan kening. Ola tersenyum. “Kau pikir semua keturunan Widjaya hanya boleh bekerja di sekolah?” “Bukan begitu. Hanya saja…” “Aku tahu maksudmu,” potong Ola sebelum Nero selesai bicara. “Damar jauh lebih kompeten mengurus sekolah daripada aku. Sejak dulu, dia berkecimpung di dunia pendidikan.” Ia mengatakan itu sambil melihat reaksi Nero saat mendengar nama Damar ia sebutkan. Tidak ada perubahan ekspresi apa-apa. Apa ia harus menyebutkan nama Muti? “Dia memang seandal ayah dan kakekmu.” “Kau suka bekerja di sana?” Ketika pertanyaan itu terucap, Ola mengutuki diri sendiri di dalam hatinya. Kenapa ia begitu usil ingin tahu tentang hal-hal seperti ini. Pasti di dalam kopi tadi ada semacam obat untuk membuatnya membuka mulut. “Jauh lebih senang daripada aku bekerja di sini.” Jawaban itu membuat Ola menatap Nero dengan curiga. “Itu karena ada Muti di sana. Ya kan?” Seseorang, siapa saja, tolong tampar mulutnya sekarang. Kenapa ia terus mengatakan sesuatu yang di luar kebiasaannya hari ini? Seharusnya ia tetap diam dan tenang seperti yang selalu ia perlihatkan di hadapan semua orang. Untung saja, dewi keberuntungan sedang berpihak padanya karena tiba-tiba saja pintu diketuk sebelum ada dari mereka yang membuka mulut. Nero duduk dengan tegak sambil menyuruh siapapun itu untuk masuk. “Maaf mengganggu kalian, tetapi kita harus pergi ke LA sebentar lagi untuk rapat,” kata Stevan sambil tersenyum sopan. Ola menepuk keningnya sambil bangkit dengan cepat. “Astaga! Aku lupa. Berapa menit lagi kita berangkat?” Kenapa ia bisa sampai lupa rapat sepenting itu? Nero benar-benar telah membuatnya mengalami siang yang tidak pernah Ola alami sebelumnya. Biasanya, ia akan makan siang sambil mengecek pekerjaan, terutama jika ada rapat yang harus ia datangi seperti ini. “Apa…” Stevan melirik jam tangannya, “tiga puluh menit cukup bagimu untuk bersiap-siap?” “Itu…” “Kita akan berangkat jika kau sudah siap,” kata Nero memotong perkataan Ola. “Tidak usah terburu-buru.” Ia tidak ingin diperlakukan dengan istimewa seperti ini, terutama di hadapan Stevan. “Aku akan siap dalam tiga puluh menit.” “Viola…” Ia yang baru saja melangkah untuk keluar, kembali berhenti saat mendengar suara itu. Tidak pernah ada yang memanggilnya seperti itu selain ayahnya. Baginya, itu semacam panggilan yang istimewa. Ia juga selalu menyuruh orang memanggilnya ‘Ola’, atau seperti Stevan dan rekan kerjanya yang lain, Miss Aleyna. Namun, saat mendengar nama itu keluar dari bibir Nero, Ola merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Kehangatan, kenyamanan, dan juga sebuah rasa percaya. Tampaknya, berteman dengan Nero memang tidak ada salahnya. Pria ini jelas pria yang baik dan mudah diajak bicara. Ia menoleh pada pria itu dan tersenyum sebelum berkata, “tiga puluh menit. Tidak akan lebih.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD