Biasanya, perjalanan bisnis bersama James lebih banyak diisi dengan keheningan. Atau, jika mereka mengobrol, itu adalah tentang pekerjaan dan rapat yang akan mereka hadiri. Itu adalah jenis obrolan yang paling James toleransi. Artinya, pria itu bisa melakukannya selama berjam-jam tanpa bosan.
Tidak pernah ada pembicaraan mengenai hal lain, apalagi mengenai kehidupan pribadi mereka. Apalagi, dirinya dan James memang hanyalah atasan dan bawahan. Mereka berdua tidak cukup dekat untuk membicarakan mengenai apakah beban kerja yang James berikan membuatnya kesulitan. Toh, bayaran yang Ola terima, setimpal dengan beban tersebut. Bahkan sebenarnya jauh melebihi ekspektasi.
Jujur saja, tadi, Ola sempat kesal pada pertanyaan yang Nero ajukan. Pria itu jelas menuduhnya memiliki hubungan lain dengan ayahnya. Sebuah hubungan yang tidak professional mengingat cara pria itu menanyakannya, juga caranya memandang Ola dengan penuh selidik.
Apa Nero benar-benar berpikir seburuk itu tentangnya? Apa pria itu, sama seperti kebanyakan rekan kerjanya yang lain, menuduhnya memiliki hubungan khusus dengan James hanya karena ia diangkat menjadi direktur setelah masa kerjanya yang singkat?
Selama ini, Ola tidak pernah peduli dengan apa yang orang pikirkan tentang dirinya. Namun, ketika pemikiran itu datang dari Nero, kenapa ia merasa kesal? Kenapa ia tidak ingin Nero memiliki pikiran buruk tentang dirinya? Apa karena ini adalah pertama kalinya ia merasa nyaman dengan seseorang dan siap berteman dengannya?
Ini buruk. Seharusnya Ola tidak boleh seperti ini. Kenapa ia harus merasa nyaman berteman dengan seseorang seperti ini? Terlebih, setelah apa yang pria itu tanyakan padanya.
Selama ini, tidak pernah ada yang bertanya padanya seperti itu. Pekerjaan ini terasa berat? Apa ia kurang tidur? Apa James sering menyusahkannya?
Hanya satu ‘ya’ untuk tiga pertanyaan itu. Namun, sebelum ini, Ola juga tidak pernah terlalu memikirkan hal tersebut karena ia tahu jika ini adalah risiko dari semua pilihan hidupnya untuk tetap tinggal dan bekerja di kota ini.
Mendengar seseorang menanyakannya, dan terlebih dengan nada yang terdengar begitu peduli, membuat sisi rapuh dalam diri Ola, yang selama ini coba ia sembunyikan, menggeliat ingin membebaskan diri.
Ini jelas salah. Ia tidak pernah membiarkan dirinya bersikap lemah atau bergantung kepada orang lain. Sayangnya, fakta berkata sebaliknya, bahwa ia memang menyukai apa yang sedang terjadi padanya sekarang. Bahwa ada seseorang yang peduli padanya, dan itu bukan karena ketertarikan fisik.
Nero hanya tersenyum saat mendengar komentarnya tentang pria itu, dan lagi-lagi, Ola memiliki keinginan yang sangat besar untuk mendengar jawaban dari pertanyaan yang tadi tidak sempat Nero jawab.
“Kau sendiri, apa alasanmu lebih senang bekerja di Jakarta adalah karena Muti?” tanyanya lagi yang membuat senyum di bibir Nero sedikit meredup.
“Kau tahu bagaimana ayahku, juga bagaimana selama ini ia menjalani hidupnya,” jawabnya bijak, mencoba untuk menghindari topik tersebut.
“Ayahmu orang yang baik meskipun ia memang cukup dingin dan jarang tersenyum.”
Nero kembali menoleh padanya. “Tampaknya, kau juga menyukai ayahku seperti dia menyukaimu.”
“Dalam konteks pekerjaan, ya, kami berdua jelas sangat cocok. Tetapi apapun yang kau tuduhkan padaku tadi, itu sama sekali tidak benar.”
Ola merasa harus membela diri karena ia tidak ingin Nero terus-terusan berpikiran buruk tentangnya. Ia hanya berpikir bahwa setidaknya, ada orang yang benar-benar percaya bahwa ia tidak seperti yang dituduhkan selama ini.
Apa orang-orang selamanya harus memiliki pikiran negatif untuk setiap pencapaian yang diraih orang lain? Apa mereka tidak bisa melihat bagaimana selama ini kinerjanya? Bagaimana ia susah payah membuat laba perusahaan naik berkali-kali lipat daripada tahun sebelumnya? Bagaimana ia tetap berada di kantor ketika semua orang sudah pulang dan berada di apartemen mereka yang hangat?
Ola pikir, orang-orang yang iri dan dengki, juga selalu berkomentar pedas, itu hanya ada di Indonesia. Nyatanya, makhluk seperti itu ada di belahan dunia manapun. Selalu ada segolongan orang yang tidak akan senang dengan apa yang diraih orang lain.
Ia tidak tahu siapa yang pertama kali menyebarkan rumor itu. Kepalanya memang memiliki beberapa ‘kandidat’ penebar fitnah itu, tetapi Ola tidak ingin ambil pusing dengan mengonfrontasinya secara langsung. Baginya, apa yang paling penting adalah bahwa ia tidak seperti itu.
Lalu kenapa sekarang ia harus menjelaskannya kepada Nero? Itu adalah jenis pertanyaan yang tidak ingin Ola cari tahu jawabannya sekarang.
“Ia adalah atasan dan juga mentor yang luar biasa,” sambungnya lagi dengan kebanggaan yang nyata dalam suaranya.
Untuk hal tersebut, Ola tidak bisa membohongi diri sendiri atau siapapun. Jika ada satu hal pribadi yang Ola tahu, itu adalah bahwa pria tersebut bukan berasal dari latar belakang keluarga bersendok emas seperti dirinya.
James benar-benar memulai semua usahanya dari nol. Dari ia menjadi staff kecil di gudang perusahaan makanan, hingga akhirnya memiliki bisnis retail terbesar kedua di Amerika. James benar-benar tekun dalam bekerja hingga membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Ia bukanlah pria yang mewarisi kekayaan keluarga, yang membuatnya menjadi sekaya ini.
Ola berharap akan menemukan kebanggaan di mata Nero saat mendengarnya mengatakan hal tersebut. Namun, alih-alih bangga, ia malah mendengar pria itu mendengkus dan memalingkan mukanya untuk menatap gumpalan awan di sekeliling mereka.
Hal itu membuat benak Ola diliputi pertanyaan. Apa selama ini hubungan Nero dan James tidak sehangat hubungannya dengan sang ayah? Apa sebenarnya, yang tampak sempurna dan baik-baik saja di luar, ternyata tidak seperti itu di dalamnya?
“Apa sebelumnya, kau sudah pernah terjun langsung ke pekerjaan ini? Di cabang perusahaan Goldman yang lain?”
Bagi Ola, pembicaraan paling aman di dunia ini adalah tentang pekerjaannya. Potensi untuk sakit hati dengan apa yang dibicarakan, atau merasa tersinggung, sangat kecil daripada membicarakan hal yang lain.
Tampaknya itu berhasil karena Nero kembali menoleh padanya sambil menggeleng. “Ini yang pertama untukku, dan aku harap menjadi yang terakhir.”
“Kenapa?” tanya Ola dengan kening berkerut.
“Ini bukan duniaku. Aku tidak menyukai apa yang kulakukan sekarang.”
Kebanyakan orang memang jarang sekali bersyukur dengan apa yang dimilikinya, termasuk dirinya sendiri. Ola memiliki masa depan cerah dan mudah di yayasan milik keluarganya, atau di perusahaan manapun di mana keluarganya memiliki bagian saham, tetapi ia memilih untuk keluar dari zona nyaman tersebut dan menapaki karirnya sendiri.
Sama halnya dengan apa yang Nero katakan padanya barusan. Pria itu berkata bahwa ini bukanlah dunianya, begitulah dunia yayasan baginya. Ola tidak tahu apa yang menjadi ketertarikan Nero sebenarnya, tetapi rasanya menyebalkan karena Nero memiliki apapun yang diinginkan banyak orang, dan ia sama sekali tidak menjalaninya dengan suka cita.
Hanya saja, ia tidak bisa menyalahkan Nero sepenuhnya. Jika ada orang yang paling tahu bagaimana rasanya menjadi bagian dari keluarga yang hebat dan sangat ingin menunjukkan diri sendiri tanpa embel-embel nama besar keluarga, dirinyalah orangnya.
Menjadi bagian dari Widjaya tidak selalu mudah. Mungkin, orang akan melihat ia sebagai perempuan beruntung yang lahir dari keluarga terpandang, berlimpah harta, dan tidak perlu memusingkan apapun dalam hidupnya.
Kenyataannya, hidup tidak pernah seindah itu. Ketiga sepupunya yang lebih besar darinya, jauh lebih aman karena mereka tinggal di Swiss. Selama ini, orang selalu melihat dirinya yang adalah cucu perempuan satu-satunya di keluarga Widjaya.
Sejak kecil, Ola memang suka sekali belajar. Ia cerdas dan selalu menduduki peringkat pertama di setiap jenjang pendidikannya. Akan tetapi, setiap kali ia meraih itu semua, akan selalu ada omongan miring tentangnya.
‘Tentu saja dia yang terbaik, dia kan cucu pemilik sekolah.’ Sering sekali ia mendengar hal tersebut. Seandainya ia seperti Damar yang memiliki alasan untuk pindah sekolah, ia pasti juga akan melakukannya. Sayangnya, Ola tidak memiliki alasan tersebut. Ia bertahan di sekolahnya dari TK hingga SMU, dan selalu mendengar komentar miring tersebut setiap kali mendapatkan sebuah prestasi.
Hal itulah yang membuatnya tekadnya menjadi begitu kuat untuk tetap berada di New York dan meraih impiannya tanpa embel-embel ‘Widjaya’ di belakangnya. Namun, bahkan meskipun ia berhasil meraihnya, orang-orang di sekelilingnya masih memiliki pandangan negatif tentang dirinya. Sungguh sesuatu yang sangat ironis.
“Jadi kau hanya akan berada di sini hingga ayahmu sembuh?”
Nero mengangguk tanpa ragu. “Dad sangat menyukai apa yang ia miliki. Ia memuja pekerjaannya, dan aku yakin dirinya tidak akan betah berada di rumah sakit terlalu lama. Begitu ia kembali ke kantor, aku akan kembali ke Jakarta.”
“Untuk apa?” bisik Ola tanpa sempat memikirkannya. “Untuk menjaga Muti seperti yang kau lakukan selama ini?”
Selama beberapa saat, mereka berdua hanya saling memandang tanpa mengatakan apapun. Sorot mata Nero yang tajam tampak memikirkan begitu banyak hal. Sama seperti sorot mata Ola yang memikirkan berbagai pertanyaan.
“Kau juga tahu apa yang terjadi di antara kami?” tanya Nero beberapa saat kemudian sambil memutus tatapan mereka.
Ola menoleh ke arah lain dan menarik napas dengan gugup. Tidak pernah ada yang membuatnya merasa segugup ini. Bahkan James pun tidak pernah.
“Kisah cinta segitiga kalian sudah melegenda di keluarga Widjaya,” dengkus Ola dengan sinis.
Pada dasarnya, ia benci pada sikap Muti yang terkesan plin plan itu. Jika memang ia tidak memiliki perasaan apapun kepada Damar, seharusnya gadis itu menjauh. Bukannya malah sengaja bekerja di sekolah. Bukankah Muti seharusnya sadar bahwa satu saat Damar akan kembali dan menjalankan sekolah itu seperti Opa dan ayah?
“Kupikir kau jarang sekali pulang ke Jakarta,” jawab Nero sambil tersenyum. “Tidak kusangka kisah cintaku sampai kemari. Kau tidak mungkin mendengarnya dari ayahku atau Paman Stevan kan?”
“Sudah kubilang hubunganku dan ayahmu tidak sedekat itu untuk membuat kami menggosipkanmu. Aku bahkan tidak tahu jika Nero yang sering Damar bicarakan itu adalah atasanku.”
“Ayahku-lah atasanmu. Bukan aku,” bantah Nero tegas.
“Tetap saja sekarang kau adalah Presiden Direktur. Kau atasanku secara langsung.”
“Apa kau punya teman di sini?”
Lagi-lagi, arah pembicaraan yang cepat sekali berubah, membuat Ola terkejut. Nero selalu mengatakan atau menanyakan hal-hal yang sama sekali tidak ia duga.
“Punya. Dua orang,” jawab Ola kemudian dengan santai setelah rasa kagetnya hilang.
Nero bergerak dari duduknya, dan mencondongkan tubuh ke arah Ola dengan ingin tahu. “Siapa? Direktur pemasaran yang duduk di sebelahmu tadi?”
Ola memutar bola mata. “Shane? Tidak. Dia bukan seseorang yang kuanggap ‘seteman’ itu.”
Kerut penasaran sangat terlihat di wajah Nero saat pria itu tetap mengamatinya. “Dia tidak bekerja di kantor kita?”
Kantor kita. James selalu menyebut tempat itu sebagai kantorku atau perusahaanku. Tidak pernah pria itu mengatakan hal seperti Nero.
“Dia memang bekerja di sana.”
“Dia?” lagi-lagi kening Nero berkerut saat mendengar kata ganti laki-laki yang Ola gunakan. “Temanmu…seorang pria?”
Ola mengangguk.
“Aku membicarakan tentang teman, Viola. Bukan kekasih.”
Bibir Ola cemberut pada Nero. “Aku juga sedang tidak membicarakan kekasih. Kau memang menanyakan tentang teman kan?”
“Tidak pernah ada pertemanan murni antara pria dan wanita,” sahut Nero. “Pasti selalu ada yang memiliki perasaan lebih.”
Ola tertawa mendengarnya. “Maaf, itu mungkin terjadi di dunia pertemananmu, tetapi tidak dengan duniaku. Tidak ada perasaan lebih selain kasih sayang seorang teman kepada pria ini. Oh, kepada temanku yang lain, mungkin aku memiliki perasaan lebih.”
Nero mencibir. “Lihat kan? Kau tadi menyangkalnya, tetapi sekarang mengakuinya.”
“Bagaimana aku tidak memiliki perasaan lebih kepada diriku sendiri?” sahut Ola santai. “Aku mencintai diriku sendiri melebihi apapun di dunia ini.”
Sekarang, kening Nero kembali berkerut mendengar jawaban Ola hingga membuatnya tersenyum menatap pria itu.
“Salah satu teman itu adalah diriku sendiri,” jelas Ola masih dengan senyuman di bibirnya. “Dan aku mencintaiku.”
Apa ia terdengar menyedihkan sekarang karena tidak memiliki teman yang nyata dalam hidupnya? Apa Nero akan merasa kasihan kepadanya?
“Dan yang satunya? Siapa pria beruntung yang bisa menjadi temanmu di kantor?”
Tidak terdengar nada sinis atau kasihan di dalam suara Nero sehingga Ola bisa sedikit membuat kesimpulan bahwa Nero tidak mengasihaninya.
“Drew,” jawab Ola mantap. “Dia satu-satunya teman yang kupunya.”
“Drew?” ulang Nero sambil mengerutkan alisnya. “Apa dia ada di rapat tadi? Sepertinya tidak ada pria bernama Drew. Atau aku yang tidak memperhatikan?”
Ola tertawa geli melihat raut wajah Nero yang kebingungan. “Dia tidak ada di sana.”
“Jadi dia bukan Direktur atau pemegang saham,” bisik Nero lebih kepada dirinya sendiri sambil mengangguk kecil. Kemudian, pria itu kembali memandangnya.
“Viola,” panggilnya pelan tetapi mampu membuat Ola merasa kembali gugup.
“Ya?” cicitnya seperti tikus yang terjepit. Nero menatapnya dengan tajam dan tanpa berkedip. Jujur saja, itu membuat jantungnya berdentam-dentam dengan dahsyatnya.
“Kau…maukah kau menjadi temanku?”