My rival

2212 Words
MY RIVAL **** "Hei kau, perempuan setengah jadi, mau kemana dengan pakain norak itu?" Tory menoleh, dan mendesah tak suka melihat Alex, musuh bebuyutannya disekolah tengah menatapnya angkuh.  Tory memang dikenal sebagai perempuan tomboy, melihat dia mengenakkan gaun jelas itu aneh terutama bagi Alex. "Berkencan, aku akan berkencan! Kau tau? Jangan urusi urusanku!" Alex menggeram. Hatinya terasa dongkol, kesal apalagi melihat Tory tampak cantik dengan gaun itu. Tory sudah hendak pergi, namun dicekal Alex. "Kita mempunyai tugas kelompok, kita harus mengerjakan hari ini juga!" Tory mendelik. "Kerjakan saja sendiri kau 'kan jenius! Lagi pula tugas itu dikumpul minggu depan, kenapa harus dikerjakan saat ini? Aku sibuk!" "Tidak! Aku mau hari ini!" "Tidak bisa, aku sibuk!" "Sibuk berkencan maksudmu?!" "Kalau iya kenapa?" sebenarnya hari ini Tory hanya ingin kerumah neneknya, dia mengenakkan gaun karena neneknya akan marah melihatnya berpakaian seperti laki-laki. "Tidak bisa!" "Aku bisa! Lepaskan aku!" Tory menendang kaki Alex, hingga laki-laki itu meringis. Dengan gesit gadis itu kabur. "Ah, sial!" umpat Alex menahan sakit. Permusuhan mereka berlangsung hingga tahun akhir mereka di sekolah menengah atas. Di hari kelulusan mereka, Alex tidak tau apa yang dipikirkannya saat itu. Setelah lulus, ia akan langsung terbang ke Amerika untuk berkuliah, ada rasa tak rela dan takut untuk berpisah dengan Tory. "Hei, perempuan setengah jadi!" panggil Alex pada Tory yang duduk termenung di halte bus. "Apa?" balas Tory malas-malasan. Dan satu kecupan mendarat di bibir Tory. Perempuan itu membeku tidak sempat mecerna apa yang terjadi. "Aku akan kembali lagi." dan setelah itu Alex pergi. Sejak hari itu Tory tak pernah lagi bertemu pria itu. Ia hilang bagai ditelan bumi. *** Tory mendesah. Sudah dua tahun dia lulus menjadi sarjana namun ia masih belum mendapatkan pekerjaan. Orang tuanya dirumah sudah mulai rewel bahkan mengancam Tory akan dijodohkan jika masih menganggur. Tory saat ini sedang menunggu gilirannya interview disalah satu perusahaan. Merasa gugup, wanita itu mengambil lipstiknya didalam tas dan menyapukan lipstik merahnya ke bibir. Tory menyesal sewaktu dia masih sekolah, dia menyia-nyiakan waktunya. Dia tidak pernah belajar hingga lulus dengan nilai pas-pasan. "Tory Rahasnya." Panggilan itu membuat Tory sedikit terkejut dan langsung berdiri dari kursinya. Buru-buru ia merapikan dirinya dan segera masuk kedalam ruangan interview. Disana terdapat tiga orang pria berbeda usia tampak menatapnya dengan bosan. "Baiklah Tory, perkenalkan dirimu." Tory menghela nafas panjang. "Nama saya Tory Rahasya, saya berusia 25 tahun saya lahir---," "Kami disini mencari pegawai, bukan siswa sekolah," sindir salah satu pria disana. Tory diam-diam meremas kemejanya. "Apa yang akan kamu lakukan jika kamu diterima sebagai karyawan di perusahaan kami?" tanya yang lain. "Saya akan memajukan—," "Ya, interview mu selesai, silahkan keluar." Tory tersentak kaget. Merasa kesal dan marah namun tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan dongkol akhirnya ia keluar dari ruangan itu sambil meremas berkas ditangannya. "Pria-pria tua b******k! Aku tau aku tidak menarik tapi seharusnya kalian dengarkan aku bicara! Ah sialan!" umpat wanita itu tanpa mempedulikan tatapan aneh orang-orang. Tory menoleh, menatap pantulan dirinya disalah satu sisi gedung. Kulit cokelat, rambut panjang, Tory sebenarnya cukup manis. Namun ia tidak bisa bergaya. Terlihat dari kemeja lusuh yang ia gunakan, celana jins dan jangan lupakan wajahnya yang polos tanpa riasan. Hanya bibirnya saja yang diberi polesan warna. Tory berjalan dengan kesal. Dan tiba-tiba saja sebuah mobil melewatinya dan mencipratkan air kotor keseluruh tubuhnya. Wanita itu melotot. Hatinya yang kesal semakin bergelora. Ia menoleh, melihat mobil itu berhenti didepan perusahaan tadi. Tory mengumpat. Menatap tajam sosok laki-laki berjas yang baru keluar dari mobil mewah tersebut. Gayanya sangat pogah, membuat emosi Tory yang di ubun-ubun siap meledak. Sudah melakukan kesalahan, tapi seperti orang tidak berdosa. Tory kehilangan akal. Dia langsung berjalan dengan cepat mendekati mobil itu. Saat jaraknya hanya tiga meter dari sosok pria berjas itu, wanita itu membuka sepatunya dan segera melemparnya dengan sadis ke pria tersebut. Hebatnya sepatu itu tepat mendarat di kepala sang pria. Semua orang yang berada disana tampak heboh. Mereka tampak berlomba-lomba bertanya mengenai keadaan pria tersebut, seolah-olah dia adalah orang terpenting. "Hai, kau!" Tory baru tersadar saat sosok itu memutar kepalanya dan menatapnya tajam. Awalnya dia ingin segera lari dari sana. Namun Tory mendadak membeku saat melihat wajah sosok yang sudah ia lempari sepatu. Dia Alex. Musuh bebuyutannya sejak SMA! Tampak security berlari hendak menangkapnya, namun Tory segera sadar dan langsung berlari cepat meninggalkan orang-orang yang mulai mengejarnya. Untung dia sering berolahraga, membuat Tory melesat dengan cepat. *** Begitu tiba dirumah, ibunya langsung menanyakannya mengenai sepatunya yang hanya sebelah. Tory tentu tidak akan mungkin memberitahu ibunya bahwa dia telah melempar sepatu itu kepada orang. "Masih belum diterima juga?" kata ibu yang sedang memasak didapur. Tory mendesah. "Ntahlah, Bu." Ibu berdecak menatap anak tadinya yang tampak tidak bersemangat. "Sudahlah, kalau memang tidak ada pekerjaan, kamu menikah saja, hidupmu akan jauh lebih terjamin. Daripada dirumah tidak ada kerjaan, lebih baik menikah dan mengurus suamimu." Tory menatap ibunya lesu. "Apa menikah akan membuatku bahagia?" Wajah ibu melunak, kemudian dia tersenyum. "Ibu tidak bisa menjamin. Kamu harus menjalaninya dulu sebelum tau." "Apa ibu bahagia menikah bersama ayah?" Detik itu juga ibu tersenyum hangat. "Kami tidak selalu bahagia, namun jika kamu menanyakan apakah aku bahagia bersamanya, aku jawab aku bahagia." Tory menghela nafas berat. "Baiklah, aku mau dijodohkan." Ibu langsung bersorak senang. *** Tory menelusuri lekuk wajah pria didepannya. Sangat tampan. Batinnya. "Jadi, Tory, apa pekerjaanmu?" "Belum. Aku belum memiliki pekerjaan," Pria itu, Toni tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Istri memang seharusnya dirumah menjaga anak-anak kelak. "A-apa?" Tory tersedak. Toni tersenyum. Pria berjas hitam itu meletakkan tangannya diatas tangan kecil Tory. "Kita dijodohkan, bukan hanya untuk jadi teman bukan? Kamu tau, aku sudah memiliki usaha kecil-kecilan, setidaknya cukup memenuhi kebutuhan keluarga kita nanti." Dalam hati, Tory mendadak ingin tertawa. Usaha kecil katanya? Bahkan perusahaan pria itu saat ini digadang-gadang perusahaan dengan nilai saham tinggi. Dalam segi apapun, Toni memang laki-laki sempurna. Namun... Dalam pernikahan bukan hanya hal ini yang Tory cari. Dia juga butuh kenyamanan dan Cinta. Suara ponsel Tory tiba-tiba berbunyi. Dia memutuskan kontak mata dan tangannya dari Toni. "Halo?" Toni memperhatikan Tory. "Kami dari perusahaan Ferandios, ingin memberi tahu bahwa anda diterima diperusahaan kami." Tory ternganga. "H-hah? Nama saya Tory Rahasya, apa anda tidak salah?" wanita itu masih ingat bagaimana perlakuan orang-orang perusahaan itu saat dirinya di interview. "Benar. Memang anda, kami butuh konfirmasi sekarang juga." "Baiklah, nanti saya kirimkan lewat email—" "Maaf, tapi kami butuh konfirmasi langsung." "Apa?" "Anda harus datang ke perusahaan sekarang juga, jika ingin diterima." "Haruskah? Saya memiliki—" "Maaf, ini perintah dari atasan secara langsung." "Hmm, baiklah, terimakasih." "Ada apa?" tanya Toni melihat raut wajah Tory. "Aku harus segera ke perusahaan Ferandios untuk mendapatkan pekerjaanku." Tory meringis. Ada raut kecewa diwajah Toni beberapa saat. Namun pria itu kembali tersenyum. "Sepertinya istri wanita karir tidak masalah juga," kekehnya. "Biar kuantar." "Eh? Tidak usah—" "Aku tidak terima penolakkan darimu." Akhirnya Toni mengantar Tory, walau wanita itu sedikit tidak enak karena menyelesaikan kencan mereka terlalu cepat. Toni membukakan pintu untuknya, lalu mengecup kening Tory lembut. "Hubungi aku jika kamu sudah selesai," Tory mematung, tidak menyangka perlakuan pria itu. Hingga mobil Toni menghilang, wanita itu tampak kebingungan. "Ah, aku harus cepat!" Tory memutar balik tubuhnya masuk kedalam gedung besar, perusahaan Fernandios. "Permisi, saya Tory—" "Oh, Tory Rahsaya? Anda sudah ditunggu, saya akan mengantar anda langsung." ucap resepsionis yang baru saja hendak Tory tanyai. "Oh, sebelum anda kesana, anda harus menanda tangani surat ini." Tory mengeryit. Sepertinya, kedatangannya seperti sudah direncakan, tapi untuk apa? Tanpa pikir panjang wanita itu menanda tangani kertas tersebut. Tory diantar oleh resepsionis itu hingga kesebuah pintu ruangan kaca. "Silahkan masuk Tory, anda sudah ditunggu," ucap resepsionis itu lalu pergi. "Ah, apa yang harus aku ucapkan nanti?" Tory bergumam. "Ah, masuk saja terserah nanti aku buat malu yang penting dapat pekerjaan." Saat pertama kalinya memasuki ruangan itu, Tory dibuat tercengang. Interiornya sangat mewah. Tentu saja. Ini kan ruang pemimpin. Aneh juga sebenarnya kenapa harus bertemu langsung dengan sang direktur? "Sudah datang Tory Rahasya?" Tory tersentak mendengar suara itu, wanita itu berbalik dan melihat pria kekar berjas menatapnya dengan tatapan tajam. "A-alex?" ucapnya tidak percaya. "Sedang apa kau disini?" "Aku pemilik perusahaan ini, apakah salah aku berada disini?" "A-apa? Perusahaanmu?" tanya Tory kaget. "Ka-kalau begitu aku tidak jadi bekerja disini." wanita itu tidak mau jika harus bertemu dengan pria di depannya. Tory tidak akan pernah lupa bagaimana pria itu memperlakukannya semena-mena. "Kau mau pergi ke mana?" Alex segera menahan lengannya. Tory melotot. "Lepaskan aku!" "Tidak. Kau sudah menanda tangani kontrak, berarti kau sudah menjadi kariawanku. Dan melanggar kontrak kau akan didenda atau dipenjara!" "A-apa?! Ja-jadi surat tadi..." Alex menyeringai. "Wah, ternyata kau masih bodoh seperti dirimu yang dulu." "Apa?!" Tory emosi. "Aku tidak mau bekerja denganmu! Biar aku bayar denda atau apapun itu dibandingkan harus bertemu denganmu lagi!" Belum sempat wanita itu melangkah, Alex terlebih dahulu menggendongnya bagai karung beras. Tory terbelalak dan merontak. "Apa yang kau lakukan i***t!" Alex memasuki sebuah ruangan disampingnya. Disana semua terlihat seperti kamar dengan kasur besar. "Kau mau apa! Lepaskan aku!" teriak Tory kesetanan. Alex membuka dasinya, mengikat tangan wanita itu diranjang. "Jangan kau pikir, karena kau punya kekasih kaya kau dapat bebas dariku!" "Apa maksudmu i***t! Hmmpp!!!" Alex menyumpal bibirnya dengan bibir pria itu. Dengan kesetenan Alex menciumi bibir Tory. Nafas Tory terengah-engah. "A-apa yang kau lakukan?" wanita berkulit cokelat itu bertanya panik ketika Alex membuka satu persatu pakaian yang ada ditubuhnya dan ditubuh pria itu sendiri. Mata Alex menggelap. "Aku akan melakukan sesuatu yang seharusnya aku lakukan sejak dulu," "Ja-jangan!!!" Alex menyentuh p****g merah muda Tory, tidak ada yang pernah menyentuh tubuhnya. "Ahhhhhh....," pria itu menjulurkan lidahnya, menjilat sensual p****g tersebut. Tory merasakan kepalanya pusing. Ia tidak dapat berfikir lagi ketika Alex meremas, memakan, dan bahkan jari pria itu mulai turun menyentuh k*********a. "Ahhhhh, A-alex jangan.... A-aku akan menikah...." tiba-tiba pikiran Tory terarah pada Toni. Walau mereka baru bertemu, namun pria itu jelas akan menjadi suaminya nanti. "Tidak, kau milikku." Alex kini membuka kedua paha Tory, lalu ia menjilati v****a wanita itu hingga sang empu terlonjak kaget merasakan sensasi itu. "Ahhhhh, a-apa yang kau lakukan jangan ji-jilat!! Ahhhhkhhh!!!" Tory berteriak tidak karuan ketika Alex memasukkan lidahnya ke v****a miliknya, mengeksplor seluruh bagian disana. "Aahhh ini nikmat...," geram Alex kini menyentuh v****a Tory dengan jari. "Mari kita ke menu utama" bisik Alex serak. Tory menoleh kebawah dengan mata melotot. Melihat sebuah benda panjang dan besar berada didepan k*********a. "Jangan! Aku mohon jangan! Aku— akhhhhhh!!!!!" Tory mengeluarkan air matanya saat sesuatu terasa merobek bagian dari dirinya. "Maafkan aku Tory, tapi aku tidak akan membiarkanmu bersama pria itu!" Alex mulai mengerakkan kejantanannya. "A-apa maksudmu?" Tory menangis tidak mengerti kelakuan Alex. Mereka baru bertemu setelah delapan tahun berlalu. Alex tak menjawab. Pria itu hanya terengah-engah menikmati penyatuan mereka. "Ahhhhkhh... Tory milikmu basah dan sempit!" "Ahhhh... " "Hahhhhhhh akhkkk!" Desahan mereka menyatu padu. Dan dalam sentakan berikutnya mereka memekik, merasakan pelepasannya datang. Cairan hangat Alex memenuhi rahim Tory. Tubuh mereka sama-sama lemas. Alex membuka ikatan tangan wanita itu sebelum tidur dan memeluk Tory. Nafas mereka masih terengah-engah. "Aku ingin membuat sebuah pengakuan," ucap Alex pelan. "Sejak delapan tahun lalu sebenernya aku menyukaimu," "A-apa?!" mata Tory terbelalak. Alex tambah mengeratkan pelukannya. "Aku tergila-gila padamu tapi kau malah menunjukkan ketidaksukaanmu padaku, aku bingung harus bagaimana aku mendekatimu, maka dari itu aku selalu meganggumu." "Alex—," "Dan saat melihat kau di kafe dengan seorang pria, aku kesal,  lalu aku langsung memerintahkan staf ku untuk menghubungimu, awalnya aku hanya ingin membuatmu menyukai secara perlahan, tapi ketika aku melihat pria itu menciummu, aku marah! Dan yang ada dikepalaku hanya ingin memilikimu." "Dan kau menyetubuhiku dihari pertama kita bertemu? Dan sejak kapan kau memata-mataiku?!" Tory melepaskan pelukkan Alex, bergerak tak nyaman. Alex meringis. "Itu karenamu! Kau membuatku cemburu! Dan berhenti bergerak-gerak atau aku akan kembali memasukimu!" wajah Tory memerah. "Ta-tapi sebelumnya... Aku sudah dijodohkan dengan Toni, lagi pula kau mendadak sekali muncul." Alex meremas p******a Tory. "Kau tau? Aku akan memberitahu ibumu jika kita sudah bersetubuh, dan... Kau tidak boleh meragukan spermaku dia kualitas unggul, kupastikan kau akan hamil." "Pria berengsek! Kau masih sama seperti dulu!" amuk Tory. "Terserah. Bagaimana pun juga aku akan memilikimu! Persetan pria itu! Aku akan menculikmu, menyetubuhi kau hingga hamil jika masih nekad menikah dengannya!" Tory mengerucutkan bibirnya. "Pria b******k!!" "Kau! Wanita sialan yang mambuatku tergila-gila padamu!" Nafas mereka kembali tidak beraturan. Alex menggenggam tangan Tory, mengecup bekas ikatan dasinya. "Menikah denganku atau kau aku culik dan setebuhi hingga hamil." "Ini lamaran atau ancaman?!" pekik wanita itu. "Hei, ayo jawab!" Alex meremas b****g Tory dan menamparnya. "Ahh! I-iya aku mau!" pekiknya kesal. Alex tersenyum lebar, memajukan tubuh melumat bibir Tory lembut, dan entah kenapa Tory ikut membals ciuman itu dengan tidak ahli. *** Alex memang mengerikan. Sebulan setelahnya mereka langsung mengadakan pernikahan. Setelah hari itu, Alex pergi ke rumah Tory, menemui ibu wanita itu untuk meminta restu. Dan ya, pria itu benar-benar mengatakan bahwa mereka telah melakukannya! Dan Toni, mau tak mau menyerah. Saat ini, usai pesta pernikahan mereka yang melelahkan, Alex memeluk tubuh telanjang Tory dari belakang. Mereka saat ini sedang berada di bathtub. "Aku mencintaimu," bisik serak Alex, tangannya bergerak meremas p******a Tory dari belakang. "Ahhh...," "Hei, ayo balas pernyataan Cinta suamimu!" "Ahh! Dasar m***m!" Tory terkaget saat salah satu jari Alex memasuki miliknya. "Ayo katakan kau mencintaiku," Muka Tory memerahnya dan untuk pertama kalinya ia berkata. "A-aku juga mencintaimu." Alex tersenyum lebar, memeluk Tory erat. "Aku lebih mencintaimu," tangan Alex berpindah ke perut Tory. "Tubuh yang baik anakku," "Memangnya aku hamil?" "Kita sudah beberapa kali melakukannya, dan ingat spermaku sangat top, tidak mungkin kau belum hamil." Muka Tory memerah, mencubit Alex. Entah sejak kapan rasa cintanya tubuh pada Alex, namun ia merasa bahwa hidup bersama musuhnya sewaktu sekolah dulu adalah pilihan yang terasa benar. Alex menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Tory, mereka menikmati momen itu dengan bahagia. END *** Ada ide untuk cerita berikutnya? Jangan lupa untuk vote+komen
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD