Bab 3

1063 Words
Bab 3Memilih Mundur "Apa aku harus pulang ke rumah ibu saja ya? Aku tidak akan sanggup untuk tinggal di rumah itu dengan hati yang hancur. Bahkan membayangkan Kendra tidur dengan wanita itu saja, membuatnya ingin menjerit. Ya, sebaiknya aku memang harus kembali ke rumah ibu." Risma turun dari tempat tidur Sofi. Dia berjalan perlahan keluar dan langkahnya terhenti di ruang makan. Di sana dia mematung begitu melihat keharmonisan Rani bersama suami dan putrinya yang sedang makan malam yang membuat iri. Rani sendiri sejak tadi siang sudah beberapa kali membujuknya makan. Tapi dia menolak karena selera makan tidak ada sama sekali meskipun perutnya sangat perih. Begitu melihat Risma, Rani langsung tersenyum. “Akhirnya kamu keluar juga dari kamar. Ayo kita makan bersama! Dari tadi siang kamu belum makan lho.” Risma membisu beberapa saat sebelum akhirnya berbicara. “Aku belum ingin makan, mbak. Aku tidak berselera.” Mendengar itu, Rani menghelan nafas berat. Lalu dia mendekati Rani. “Mbak tau kamu sedang sangat sedih dan terluka. Tapi kamu tidak boleh menyiksa diri kamu sendiri dengan menahan lapar. Perut yang lapar tidak akan bisa membuat kamu berpikir dengan jernih. Saat ini bukankah kamu harus mengambil keputusan yang besar buat hidup kamu?” “Iya, mbak, aku tau itu. Nanti aku pasti akan makan. Namun untuk saat ini ada sesuatu yang ingin aku lakukan.” Dahi Rani mengerut. “Ada yang ingin kamu lakukan? Maksudmu?” "Aku... aku mau pulang mbak." Mata Rani melebar. "Lho, kok pulang? Kamu hanya akan sakit hati jika pulang? Ada istri muda suamimu di sana." "Tidak apa-apa, mbak. Lagian aku tidak bisa terus di sini. Keberadaanku di sini hanya akan membuat keluarga mbak tidak nyaman." Rani menggeleng tidak terima. "Tidak, siapa bilang kamu membuat keluarga mbak tidak nyaman. Bagi mbak kamu itu sudah seperti adik sendiri." "Aku tau itu, mbak. Tapi lebih baik aku pulang saja. Hari sudah malam." "Tapi suamimu tidak mencarimu, Ris. Itu artinya dia tidak perduli dengan perasaanmu. Mbak tidak ikhlas kamu pulang. Kamu pasti akan semakin sakit hati. Mbak saja yang tidak mengalaminya, merasa sakit hati. Apalagi kamu." "Aku tau dengan kemungkinan itu, mbak. Aku pasti akan sakit hati begitu pulang ke rumah." "Lalu?" "Aku pulang hanya untuk memastikan perasaanku saja. Jika aku tidak kuat, aku akan pulang ke rumah ibu. Aku akan memulai hidup baruku tanpa Mas Kendra di sana." Ada aura lega yang tersirat di wajah Rani begitu mendengar penjelasan Risma. "Kalau seperti itu, mbak setuju. Ingat, jangan menyakiti diri kamu setelah kamu juga disakiti oleh suamimu. Bila kamu tidak kuat, lepaskan. Turuti kata hati kamu." Risma mengangguk. "Iya, Mbak. Itu juga yang akan aku lakukan." "Risma." Risma mengalihkan pandang dari Rani pada Heru yang memanggilnya. Pria itu berdiri dan mendekatinya. "Jadi benar Kendra sudah menikah lagi?" Risma mengangguk. "Iya, mas. Dia sudah menikah lagi. Istri keduanya sekarang ada di rumahku." Heru menghela nafas berat. "Mas, ikut prihatin mendengar ini. Jika ada waktu bicara berdua nanti, Mas akan menasehati dia." "Tidak perlu, Mas. Tidak ada gunanya Mas menasehati sementara dia sudah terlanjur menikah. Aku tidak berani meminta Mas Kendra menceraikan istrinya. Aku tidak punya hak. Mungkin... aku saja yang mengalah. Aku yang akan mundur." Heru mengulum bibir bawahnya. Risma tidaklah salah. Menyuruh suami istri untuk bercerai adalah dosa. Sedangkan Kendra sudah terlanjur menikahi wanita itu. "Ya sudah. Kalau begitu terserah padamu saja. Kamu yang akan menjalani hidupmu. Aku hanya bisa mendoakan semoga kelak kamu bisa hidup dengan bahagia." "Terima kasih untuk doanya, Mas. Kalau begitu, aku pulang dulu. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Risma melangkah melangkah meninggalkan kediaman Rani dan Heru. Dia kembali ke rumahnya yang tepat berada di samping kanan rumah Rani. Rumahnya terlihat sepi. Entah sedang apa suaminya dan istri mudanya itu sekarang. Klak. Risma membuka pintu rumahnya perlahan, nyaris tanpa suara. Dengan langkah kaki pelan, Risma masuk ke dalam rumah. Dia tidak melihat suami dan istri barunya itu di ruang tamu, ruang tengah, dan ruang makan. Mungkin mereka ada di lantai dua, pikir Risma. Tapi lihatlah meja makan itu. Berantakan. Suami dan istri mudanya tidak mau membereskan meja makan setelah makan. Mereka benar-benar pemalas. Memangnya siapa yang akan mereka andalkan untuk membereskan meja makan itu? Sudah bisa dipastikan dia akan menjadi pembantu jika tetap berada di rumah ini. Sebelumnya itu tidak masalah untuknya karena itu sebagai bentuk pengabdian kepada suaminya. Tapi karena sekarang suaminya sudah mendapatkan istri baru, dia tidak sudi lagi untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Toh, dia akan pergi dari rumah ini. Dengan langkah yang pelan juga, Risma naik ke lantai dua. Begitu langkahnya sampai di depan pintu kamarnya, dia mendengar suara-suara mendesah yang menjijikan dari kamar tamu yang berada di samping kiri kamarnya. Jemari Risma mengepal kuat hingga urat-uratnya bertonjolan. Rasanya dia ingin menendang pintu itu dan memukul dua orang yang ada di dalam sana. Bisa-bisanya melakukan hal seperti itu di saat malam masih muda seperti ini. Dengan suara yang cukup kencang pula. Sungguh menjijikan. Risma masuk ke dalam kamar. Dia mengeluarkan koper dari dalam lemari dan mengisinya dengan beberapa lembar bajunya. Dia merasa tidak perlu membawa banyak pakaian karena di rumah ibunya masih ada pakaian-pakaian sewaktu dia masih gadis. Bukan hanya koper, Risma juga menyelempangkan tas kecil yang berisi dompet, ponsel, dan kunci rumah ibunya. Dia benar-benar mantap untuk meninggalkan rumah. Risma melihat kamar itu sekali lagi. Kamar yang sudah dua tahun dia tempati dan memberikan banyak kenangan. Rasa berat untuk meninggalkan itu ada. Tapi lebih berat lagi jika dia terus ada di rumah ini. Hatinya tidak akan kuat. Risma melangkah keluar kamar. Dia melangkah pelan seperti ketika naik ke lantai dua ini. Tapi suara koper yang diseret, jelas menimbulkan suara. Begitu kakinya menyentuh anak tangga teratas, pintu kamar tamu terbuka. Dari dalamnya Kendra dan Eva keluar dengan setengah telanjang. Kendra hanya menutupi bagian bawah tubuhnya dengan selembar handuk, sementara Eva menggulung selimut ke tubuhnya. pemandangan yang membuat emosi. "Kamu mau kemana, Ris?" tanya Kendra sembari melangkah mendekat pada Risma. Risma menoleh pada Kendra dengan tatapan sinis. "Aku pulang ke rumah ibu. Aku tidak akan kuat tinggal di sini dengan... istri muda Mas." Kendra menatap Risma lekat. "Pulang ke rumah ibu? Maksudnya apa?" Risma menghela nafas panjang. "Apa aku mesti menjawabnya Mas? Mas pasti sudah tau jawabannya. Aku memilih untuk mundur." Kendra terhenyak. "Oh, jadi maksudnya kamu ingin bercerai dariku?" Risma tidak menjawab. "Kamu tidak introspeksi diri. Kamu bercerai denganku maka kamu akan rugi. Kamu tidak bisa lagi hidup dengan kemewahan. Lagian pria mana yang mau menikah dengan wanita mandul sepertimu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD