Bab 2. Rahasia Besar Olin

1800 Words
Olin masih tidak habis pikir kenapa Daniel harus menikahkannya dengan sang adik. Ini semua benar-benar keluar jalur dan terdengar konyol, bahkan alasan yang diberikan Daniel sangat klise. Olin sama sekali tidak peduli jika dia adalah cinta pertama Samuel. Memang apa hubungannya kejadian sepuluh tahun yang lalu dengan cinta pertama? Terlebih cinta pertama adiknya. Siapa pun, tolong jelaskan! Karena kepala Olin terasa tak mampu lagi menanggung banyaknya rentetan pertanyaan kenapa, mengapa, dan bagaimana yang terus memenuhi pikirannya. Demi Tuhan, sebanyak apa pun Olin memikirkan masalah itu, sebanyak itu pula pertanyaan demi pertanyaan baru terus bermunculan. Hari ini, Olin tidak bisa fokus bekerja. Soto ayam yang menjadi pilihannya di jam makan siang juga tak mampu menarik nafsu makannya yang mendadak ikut hilang. "Bisa nggak sih itu soto dimakan dulu. Terus sedihnya dilanjut lagi abis makan?" tegur Gemini–teman Olin sejak masih SMA. Olin tersentak untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya, meletakkan sendok dan mengakhiri makannya. "Setidaknya sedih juga butuh tenaga, O." "Aku nggak selera makan, Gem.” "Kalau nggak selera, kenapa pesen soto? Mana udah diaduk-aduk sampai nggak berbentuk," omel Gemini. "Lain kali kalau nggak nafsu makan, nggak usah dipaksain buat dimakan. Kalaupun pesen, biar aku yang makan, tapi tetep kamu yang bayar." Olin mencibir. "Ujung-ujungnya enak di kamu, nggak enak di aku." "Ya biarin, daripada mubazir gitu." Olin berdecak kesal. Dia tadi sudah menolak waktu diajak makan siang di kafe sebelah kantornya ini. Tapi Gemini memaksa dan dengan sadar menyeret dirinya sampai di sana. "Makan, O!" "Gem, aku udah sakit kepala gara-gara Pak Daniel. Kamu nggak usah ngajak debat dengan alasan nggak berbobot sama sekali. Mending kamu makan dengan tenang sambil mensyukuri hidupmu yang nggak pelik kayak hidupku. Oke?" Gemini mengedikkan bahu acuh. Dia sadar jika ucapan Olin barusan merupakan sindiran halus. Karena dibandingkan Olin, jalan hidupnya memang terbilang lebih mulus. "Arya udah tau soal ini belum?" Olin menceritakan apa saja pada Gemini, termasuk masalahnya saat ini. "Belum," jawab Olin malas. "Aku nggak tau mulai dari mana, Gem. Aku bingung," lanjutnya frustrasi. "Kasih taulah. Walau bagaimanapun, cepat atau lambat, sekarang atau nanti, Arya pasti bakal tau semuanya, O." Olin menatap sengit pada Gemini. "Kamu berdiri di pihak mana sih, Gem?!" "Aku netral, O. Aku nggak bela Pak Daniel ataupun bela kamu. Aku cuma mau memastikan kalau Arya tau soal ini semua dari mulutmu sendiri, bukan dari orang lain. Lagian nih ya, kalau aku jadi kamu, aku juga ogah disuruh nikah sama Samuel." "Nah itu kamu paham. Kenapa kamu malah terkesan dukung mereka? Otak tolong dipakai, Gem! Kamu bisa mikir sedikit nggak, sih?" Olin mendadak emosi. Hal yang memang wajar dia rasakan. Lagi juga wanita mana yang mau dipisahkan dengan lelaki yang dicintainya? Tidak ada! Terlebih lagi terikat dalam tali pernikahan dengan adik dari pembunuh orang tuanya. Walaupun Olin sudah memaafkan Daniel, bukan berarti luka-luka itu tertutup sempurna. Setiap kali Olin melihat Daniel, dia tidak bisa lupa jika kematian orang tuanya di masa lalu adalah karena lelaki itu. Definisi kalau tidak mengalami tidak akan paham, sepertinya patut untuk Gemini sandang. Semudah itu dia mengatakan hal yang bagi Olin sangat berat. "Tapi 'kan lebih bagus kalau Arya tau di awal-awal, O. Mungkin dia bisa mengambil langkah biar kamu nggak salah arah," saran Gemini. "Gem, Arya belum siap untuk menikah.” Arya memang punya sepasang adik kembar yang masih SMA. Lelaki itu juga pernah mengatakan pada Olin jika dia harus banyak menabung karena tahun depan adik kembarnya akan masuk universitas. Arya juga pernah jujur pada Olin. Jika Olin tidak bisa menunggunya, maka Arya akan coba merelakan gadis itu menikah dengan orang lain. Asal Olin bahagia, Arya juga akan bahagia. Arya takut jika dia tidak bisa membahagiakan Olin nanti. Namun, Olin tidak sependapat dengan hal itu. Cinta Olin sudah terpaut sepenuhnya pada Arya. Hal yang membuat gadis itu bingung dan ketakutan ketika Daniel mengirim sebuah pesan tentang pernikahannya dengan Samuel. Lalu sekarang Gemini memberinya saran untuk memberi tahu Arya di awal-awal? Itu sama saja dengan merusak kepercayaan Arya padanya. Tidak! Olin tidak setuju! "Walaupun begitu, Arya berhak untuk tau, O." "Tau soal apa?" Dua sahabat itu sontak menoleh ke arah yang sama. Olin tersentak. Sementara Gemini langsung terbatuk dan segera meraih air minum. "Kalian membicarakanku?" tanya Arya membagi pandang pada dua sahabat itu. "Uhuk! Emm … itu, Ar. Olin emp-!" Olin segera membekap mulut temannya. "Ka-kamu kok ada di sini?" Gadis itu segera berdiri setelah menarik tangannya yang membekap mulut Gemini. Sang teman hanya bisa mengumpat dalam hati, sementara Arya menatap keduanya dengan tatapan menerka. "Ar, kamu bikin aku terkejut deh. Lagian kok mendadak muncul sih," protes Olin coba mengalihkan pembicaraan. Ada tawa bodoh yang menyertai. Diam-diam Olin mencubit lengan atas temannya sebagai kode untuk tidak mengatakan apa pun. Gemini memberi respon dengan mendesis pelan, lalu menampik tangan Olin. "Aku memang mau kasih kejutan buat kamu, O, tapi sepertinya malah aku yang terkejut," kekeh Arya. Olin seketika melirik Gemini. “Apa Arya mendengar obrolan barusan?” batinnya. "Ada yang kamu sembunyikan dariku, O?" tanya Arya saat melihat Olin gugup. "Nggak ada, Ar. Aku sama Gemini cuman bahas hal ringan aja," kilahnya. Dahi Arya berkerut. Lelaki itu masih tidak ingin percaya. Sebab reaksi mereka seperti sedang tertangkap basah saat dirinya tiba-tiba menyahut obrolan tadi. "Kamu serius?" tanya Arya menuntut kejujuran. Olin mengangguk. "Aku serius, Ar." Dalam hati, Olin berjanji akan menyelesaikan masalah ini sesegera mungkin. Jadi, dia merasa kalau Arya tidak harus tahu apa-apa soal perjodohannya dengan Samuel. "Kamu ngapain ke sini?" tanya Olin sekali lagi demi mengalihkan pembicaraan. Arya pun terlihat mengangkat paper bag yang ada di tangan kanannya. "Ini buat kamu." Senyum Olin seketika merekah saat menerimanya. "Tapi ini apa?" "Sepatu wanita yang kamu tunjuk tempo hari di toko." Olin tercekat. "Benarkah?" "Maaf, aku baru bisa beliin, O." "Tapi, Ar, itu mahal." Olin bergegas membuka paper bag dan ternyata benar. Itu flat shoes yang kapan lalu dia tunjuk di sebuah toko saat mereka sedang berkeliling mall. Waktu itu Olin memang mengatakan jika flat shoes itu modelnya bagus. Namun, bukan berarti dia meminta Arya untuk membelikannya. Dia hanya berbasa-basi. Tidak ada niat memberi kode atau apalah itu pada pasangannya. Lalu karena Olin belum gajian, gadis itu meletakkan kembali flat shoes tersebut ke tempat semula. Kemudian pulang dengan tangan hampa. "Arya ...," gumam Olin, matanya mulai berkaca-kaca. Alih-alih tersenyum, Olin malah meneteskan air mata. Lihatlah, walau lelaki itu bekerja keras membiayai sekolah adik kembarnya, Arya masih ingat padanya. Terlepas dari bandrol flat shoes yang harganya sekitar tiga ratus ribuan, tetapi ini bukan soal nominal. Melainkan soal bagaimana cara pria itu memperlakukannya. Lalu, Daniel dengan seenaknya, meminta Olin untuk meninggalkan lelaki sepengertian, sebaik, dan setulus Arya? Tidak, itu tidak akan pernah terjadi. "O." Arya terkejut karena Olin mengusap air mata. "Olin ...." Olin terisak. "Apa kamu mau warna yang lain? Apa aku salah ukuran? Tapi aku yakin waktu itu tipe ini yang kamu pegang, O." Arya panik. Gemini yang menyaksikan mereka memilih untuk tetap diam. Dia hanya mengedikkan bahu dan menggeleng pelan saat Arya menatapnya seolah bertanya, Olin kenapa? "Olin, kamu kenapa?" "Ar, aku bahagia. Saking senengnya, aku malah nangis. Maaf." Olin tertawa di tengah tangisnya. Arya manggut-manggut. Kaum Hawa memang susah dipahami. Bahagia pun menangis. Aneh! "Aku suka flat shoes-nya, Ar. Aku suka. Makasih." Senyum Arya mengembang. Lalu mengangguk paham. "Mau langsung aku pakai boleh, kan?" kekeh Olin sembari mengusap air matanya lagi. "Sini, aku pasangin," tawar Arya. "Enggak usah, aku bisa sendiri," tolak Olin. Arya terlampau baik untuk disakiti. Oleh karena itu, Olin bertekad akan menggagalkan perjodohannya dengan Samuel, apa pun akan dia lakukan. Olin janji! Dering ponsel dari dalam saku celana gadis itu, membuatnya batal untuk memakai flat shoes barunya. Olin segera merogoh ponsel lalu menerima panggilan tersebut. "Halo, Iya, Mbak Gina," kata Olin setelah melihat nama yang ada di layar utama ternyata tetangganya. "Apa?!" pekik Olin. "Iya, Mbak, aku akan segera ke sana." Olin segera mengakhiri panggilan. "Ada apa, O?" tanya Arya penasaran. Olin menggeleng. "Nanti aku jelasin, Ar. Aku harus pergi sekarang," ucapnya kemudian berlalu dengan terburu. “Ada apa dengan Olin?” batin Arya yang segera menyusul langkah kekasihnya. Tapi terlambat, Arya melihat Olin masuk ke dalam taksi yang kemudian melesat pergi tanpa menunggunya. *** Setelah menutup laptop dan membuat coklat panas untuk dirinya sendiri, Samuel memijat pelan leher belakangnya yang terasa kaku. Kliennya tidak puas dengan desain yang dia kirim. Sebagai seorang ilustrator, Samuel memang dituntut untuk kreatif. Namun, kreativitas dalam dirinya seolah sirna begitu saja sejak Evan datang dengan segala kabar buruknya. Menjadi gelandangan tentu bukan impian Samuel. Namun, menikah dengan Olin juga bukan tujuan hidupnya. Walaupun gajinya menjadi ilustrator bisa dan cukup untuk membiayai dirinya sendiri. Akan tetapi, dicoret dari daftar ahli waris tentu saja menjadi mimpi buruk baginya. Samuel ingin melupakan masalah pelik itu untuk sejenak. Lelaki itu mendekat ke arah jendela guna melihat Menara Eiffel seperti biasanya. Samuel berharap dengan begini, pikirannya akan rileks kembali. "Sam," panggil Evan. Oh, astaga! Samuel segera memejam sembari menikmati coklat panas yang menyusuri kerongkongan. Yang mana rasa minuman favoritnya itu seketika hambar. Samuel lupa kalau ternyata dia tidak sendirian tinggal di sana sejak hari kemarin. Samuel pun menoleh, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Dia terlampau malas memberi respon, walau hanya dengan menjawab “iya”. "Tiket pesawatmu," sambung Evan, tangannya terulur. Samuel membuang napas kasar. Menara Eiffel, senja, dan coklat panasnya tidak lagi berarti. Semua kenikmatan itu runtuh diterpa selembar tiket yang dengan malas dia terima. "Kamu terbang ke Jakarta sendirian karena aku harus langsung ke Surabaya." Oh, baiklah, jawab Samuel dalam hati. Dia hanya mengangguk dua kali tanda mengerti atas interupsi Evan. Untuk apa Evan ke Surabaya, itu bukan urusannya! "Aku harus meninjau lokasi pembangunan pabrik baru di sana, Sam," ungkap Evan. "Aku tidak bertanya." "Aku pikir kamu mau tau," balas Evan polos. Samuel menahan diri untuk tidak memaki Evan. Dia seruput coklatnya lagi, lagi, dan lagi. Berharap emosinya larut bersama setiap sesapannya. "Ya sudah kalau begitu, aku mau mandi dulu," pamit Evan yang tidak ditanggapi Samuel. Lelaki itu sibuk memaksa diri untuk menikmati senja yang mulai minggu depan tidak dapat dia nikmati lagi karena harus pulang ke Jakarta. “Aku pasti akan merindukan tempat ini,” batin Samuel sedih. "Oh, iya, Sam." Samuel memejam. Kenapa laki-laki cerewet ini kembali lagi? "Mungkin untuk yang satu ini kau perlu untuk tau." "Kau yakin?" sarkas Samuel melirik Evan sekilas. Evan mengangguk. "Sayangnya, aku yang tidak yakin," geram Samuel karena setiap kata yang keluar dari mulut Evan hanya kabar buruk baginya. Lelaki itu terlihat sangat jegkel, tetapi Evan tidak peduli. Samuel sesap lagi coklat panasnya setelah melayangkan tatapan tidak suka pada Evan. "Yang pertama, tiket pesawat untuk penerbangan minggu depan, tidak ada. Jadi, kau terbang ke Indonesia besok lusa. Lalu yang kedua, Olin yang akan menjemputmu." "Apa?!" "Aku sangat yakin di poin yang kedua …," sambung Evan sambil tersenyum jahil kemudian melipir. Dia tinggalkan Samuel yang terbatuk tanpa henti. Benar dugaannya jika semua ucapan dari mulut Evan adalah kabar buruk baginya. Bersambung…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD