PROLOG

393 Words
Hari yang teramat cerah, untuk sebuah kedukaan. Sudah satu jam Dimas berada di dalam mobil yang terparkir di bahu jalan sebuah komplek pemakaman.. Tangannya memegang setir mobilnya dengan sangat erat. Ayahnya baru saja meninggal kemarin. Dimas menghela napas. Ia membuka pintu mobilnya, berjalan mendekat makam ayahnya. Menatap makam ayahnya yang bertabur banyak bunga diatasnya. Bagaimana rasanya berakhir, Ayah? Kini kau hanya seonggok daging yang terbaring dikubur tanah. Apakah kau puas akan hidupmu? Apa ambisimu kali ini? Sanggupkah ia mengambil nafasmu kembali? Seperti kau mengambil seluruh hidupku demi ambisimu. Sanggupkah ia mengeluarkanmu dari dalam tanah? Seperti ia melarangku untuk masuk ke dalam sebuah kejujuran tentang siapa seharusnya diriku ini. Dimas berjongkok, mendekatkan dirinya ke batu nisan yang tertulis nama Ayahnya. “Ayah, aku yakin kau bisa merasakanku disini. Aku yakin kau bisa mendengarku berbisik di dekat nisanmu. Lihatlah aku, aku Dimas, bukan lagi boneka Ayah. Kedukaan ini adalah sukacita bagiku. Akan kupastikan di dalam sana kau selalu berkabung karena kau telah kehilangan kendalimu atas segala hal.” Tangannya mengepal keras. Ia segera berdiri, Dimas masih menatap makam ayahnya. Matanya terasa panas, selang beberapa detik penglihatannya buram dipenuhi air mata yang berkumpul di kelopak. Dadanya pun terasa sesak. Ia tidak mengerti perasaan ini. Dimas bahkan tak percaya ia menangis, dan merasa sedih. Tak lama ada seseorang mendekat, ia segera menyeka air matanya. Ia melihat ada seorang perempuan berdiri di depannya, membawa setangkai bunga matahari yang diikatkan pita berwarna putih. Dimas menaikan alis tatkala perempuan itu berjongkok, menatap dan mengusap nisan ayahnya. "Siapa kamu?" Perempuan berambut sebahu, dengan dress selutut berwarna pastel itu pun melihat ke arah Dimas dengan tatapan datar. "Entah" jawabnya. "Apakah kamu mengenal seseorang yang baru saja dikubur disini?", Dimas kembali bertanya "Ayahmu? Tidak" Jawabnya "Kau tahu dia Ayahku?" "Kau bergumam keras sekali, aku tadi disana" Perempuan itu menunjuk kavling makam yang diatasnya terdapat setangkai bunga matahari yang sama, tidak jauh dari kavling makam Ayahnya Dimas. "Untuk apa kau kesini? Bukankah itu seperti mencampuri urusan orang lain?" Ujar Dimas, nadanya mulai kesal. Perempuan itu menyodorkan setangkai bunga matahari yang sedang ia pegang kepada Dimas. "Ambil lah" ucapnya, Dimas tidak mengerti mengapa tangannya menurut untuk mengambil bunga itu. Dimas menunjukkan ekspresi tidak mengerti. "Sebagai tanda selamat, untuk jiwa-jiwa yang akhirnya terbebas" Ucap perempuan itu. Kemudian perempuan itu pergi, meninggalkan Dimas yang masih dalam kebingungan. Dimas tidak mengerti akan rentetan momen yang terjadi hari ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD