Herza Pratama

1140 Words
Aku selalu suka anak-anak, mulai dari tatapan mata, senyum, bicara, tawa, kepolosan dan keceriaan mereka bagai sebuah energi positif. Bagi sebagian orang bentuk healing perlu liburan, tapi bagiku di sini tempat terbaik untuk healing. Juga aku menemukan arti dari apa itu dunia bermain, dunia tanpa beban. Melihat anak-anak yang tumbuh di sini tanpa kasih sayang orang tua mereka, membuat aku terenyah. Aku tersentil mengingat aku yang hampir menyerah, mengeluh dan putus asa atas kepergian kedua orang tuaku. Seharusnya lebih bersyukur bahwa Tuhan memberi kesempatan, dari masa kecil hingga usia 25 tahun sudah dapat kasih sayang berlebih dari orang tua. Aku bisa makan apa pun yang aku mau. Bisa mengenyam pendidikan disekolah mana pun tanpa perlu memikirkan uang untuk biayanya. Hal yang seharusnya benar-benar aku syukuri setelah lihat anak-anak ini harus berbagi makanan setiap hari dengan saudaranya yang lain. Bukan hanya itu, mereka juga harus berbagi tempat tidur dan banyak hal lainnya. Meski terselip sedih, kecewa dan terluka yang kurasa saat lihat wajah polos anak-anak ini. Kok bisa sih ada manusia yang jahat dan tega membuang mereka? Sebagian anak yang ada di sini, aku tahu kalau mereka tidak semua terlahir yatim-piatu tapi ada yang sengaja di buang orang tuanya. Aku berdoa, semoga esok dimasa depan, Tuhan akan ganti kehidupan mereka dengan takdir yang lebih baik dari masa kecil ini. Satu jam tanpa terasa kuhabiskan waktu untuk bermain bersama anak-anak, barusan aku baru saja selesai membacakan satu buku dongeng. Mereka menularkan kebahagiaan melalui senyum tulus dan polos Mereka. Dikelilingi mereka bersama riuh tepuk tangan membuatku semangat, hal kecil yang kulakukan, di tempat ini sangat di hargai. Di tempat ini segala sesuatu tak dinilai dari harta, keberhasilan yang di punya. Aku memeluk erat tanpa menyakiti Dara, dia menoleh padaku. Bola mata indahnya berbinar, Aku menunduk mengecup rambut hitamnya yang harum, setelah puas aku menegakkan lagi wajahku dan saat itulah lagi-lagi mataku terpaku pada sosok laki-laki berkaus biru navy lengan panjang, juga ikut duduk tepat di belakang anak-anak. Aku menatap wajah yang sepertinya aku kenali, tepatnya akhir-akhir ini. Pria Itu. Ini hanya ilusiku saja atau apa? Aku tidak menyangka lagi-lagi bertemu dengannya, ini sudah ketiga kalinya? Kenapa bisa? Dia tersenyum padaku karena situasi yang belum kumengerti, aku malah memalingkan wajahku, ke mana pun asal tidak kembali menatapnya. Aku kembali berpikir, lalu kenapa aku harus menghindar? Sayangnya, ketika aku menatap ke tempat yang tadi. Pria itu sudah Berjalan masuk menuju pintu utama panti. Tadi baru bergabung di sini, firasatku seperti sedang diperhatikan memang benar-benar terjadi. Pria itu, lalu sebisa mungkin aku terlihat biasa dan pilih bermain dengan anak-anak. Sambil hatiku berpikir keras, coba mengingat. Pertemuan sampai tiga kali, kurasa bukan sesuatu kebetulan tak sengaja tanpa rencana semesta. Ah, tapi, aku tak mau berpikir terlalu jauh. Barang kali memang hanya kebetulan saja. "Ka Maya, aku lapar... ikut makan yuk!" Ajak Dara membuyarkan kesibukanku akan memikirkan pria tadi. Aku mengangguk, "ayo, Dara mau ka Maya suapi?" Dara menggeleng, "aku sudah besar." Aku gemas dan kembali mendekapnya, "ya kamu cepat sekali besarnya!" Ugh.. aku rasa-rasanya tidak mau pergi dari tempat ini. *** Setelah temui Bu panti untuk pamit pulang, Aku berpamitan juga pada anak-anak terutama Dara. Gadis cantik itu terlihat berat, aku berjanji akan datang dilain waktu bersama Mesya dan membawakan dia alat lukis karena Dara terobsesi bisa menggambar dan melukis seperti Mesya. Aku berjalan menuju mobilku yang terparkir di depan panti. Namun, langkahku terhenti, dadaku berdebar ketika melihat seseorang sudah berdiri dengan sedikit bersandar di depan mobilku. Tampak sengaja menungguku keluar, aku bukan percaya diri. Kalau bukan, apa tujuannya? "Hai" Sapanya ramah. Meski terkejut, aku berusaha menutupi tetap berekspresi biasa. "Hai" balasku "Hm, nggak menyangka ketemu lagi di sini" jujur benar-benar gugup saat ini. Terdengar kekehan kecil dari pria di depanku ini "aku juga terkejut, sama sepertimu." Aku tersenyum tipis. "Dalam Hidup ini nggak ada yang namanya kebetulan, Mbak" ada jeda, tepat saat itu sebuah daun jatuh antara kami. Dia menunduk mengambilnya tepat di dekat ujung sepatuku dan sepatunya. Daun itu sudah berada ditangan pria tanpa nama, dia menunjukkan padaku "termasuk selembar daun yang jatuh ini, nggak lepas dari kehendak semesta." Aku mengulas senyum kemudian melangkah mendekati. Namun, masih menyisakan dua langkah antara kami. "So.." aku mengulurkan tangan, "Maya" Aku mengenalkan namaku, hanya nama depanku Saja. "Tama." Dia menyambutnya. Aku akhirnya tahu namanya. "Hanya Tama?" "Hanya Maya?" Aku menyadari dia ternyata membaca caraku berkenalan, mengikutiku, kami tersadar dan sama-sama tertawa. "Herza Pratama, cukup Tama saja." Dia mendahului, memperbaiki cara perkenalan yang seharusnya. Sambil tersenyum tipis, aku pun mulai dengan benar "Maya Ayu Julianty." "Lahir dibulan Juli?" Aku meringis kecil, orang memang cukup gampang untuk tahu bulan apa aku lahir "Mudah sekali menebaknya?." Dia mengangguk kecil, "terlepas dari itu, nama yang indah sebab orang tua kita nggak mungkin memberi nama tanpa arti yang bermakna untuk mereka" Aku terlalu gampangan tidak sih, kalau aku tersipu hanya karena ucapannya barusan? Karena yang aku tangkap itu termasuk dalam pujian, kan? Dan caranya bicara sudah menggambarkan kalau pria di depanku punya pikiran yang luas, menyenangkan. "Mbak, juga sering datang ke sini?" "Maya saja, saya belum setua itu lho." Aku mengoreksi panggilannya, dia menyetujui. "Hm.. ya, sebulan sekali. Kalau Kamu?" "Baru beberapa bulan belakangan." Kata Tama. Lalu aku ingat ucapan pengurus panti tadi, kalau hari ini panti kedatangan Sponsor besar. Apa itu Tama? "Menghibur anak-anak panti menjadi hiburan buat saya." Kata Tama sambil memandangku, sepertinya dia tipe Pria yang mudah baca pikiran lawan bicaranya atau memang aku seperti buku terbuka, mudah dia baca? Ada hal lain yang menggangguku yaitu tatapan mata Tama. Aku tak tahu arti tatapan matanya, namun tatapan matanya sudah pasti membuatku salah tingkah. "Suka kopi?" Tanya Tama, Aku mengerjap, tawaran kah itu? "Ya, lumayan.. Artinya?" Aku menyambut. Dia menegakkan tubuh, namun aku tak paham saat tangannya terulur, "Saya nggak bawa mobil, kalau boleh?" Aku tersenyum simpul, namun tetap memberikan kunci mobilku, "boleh, saya harus mengantar kamu ke mana?" "Bukan ke rumah, hanya sampai ke tempat mengopi yang enak." Aku membiarkan dia menyetir, membawa mobil menuju tempat minum kopi pilihannya. Sepanjang perjalanan kami berbincang, kebanyakan tentang anak-anak panti. Sementara aku pintar-pintar melirik untuk melihat wajah Tama, aku berharap tidak harus sering bertemu atau berurusan langsung dengannya setelah hari ini. Karena yakin, aku akan naksir padanya, Dia jenis pria yang bagaikan keluar langsung dari pikiran dan impian para wanita sepertiku. Wajah rupawan, sikap gentleman dan isi kepala berisi pengalaman yang luas. Sudah pasti jadi karismatik tersendiri. Astaga, kok aku sok tahu? Sudah bisa nilai di pertemuan pertama kami?! Aku segera melupakan pikiran itu. Sebenarnya penilaianku wajar, sebab tiga kali pertemuan, aku bertemu dengan pria yang baik dan sopan. Pertama, dia bersama anak-anak penjaja koran sedang mentraktir tanpa sungkan. Kedua, dia menolongku saat insiden di basement Mall. Ketiga, hari ini ditempat yang mulia. Hanya orang-orang yang tergerak hatinya, yang datang ke tempat ini. Obrolan kami berlanjut dan untuk pertama kali aku membiarkan diriku beranggapan bahwa pertemuan kami ini mungkin memiliki arti yang istimewa.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD