Bab 1 - Dia Ayahku?

1839 Words
Sekali lagi hembusan nafasku terasa sangat melelahkan, sinar matahari cukup terik hari ini dan langkahku semakin terasa berat padahal beberapa langkah lagi rumah yang ku tinggali akan terlihat. Mataku menatap jalanan dengan sedikit pandangan lesu tanpa sinaran ataupun keceriaan, kata orang dari mata kita bisa melihat banyak hal disana lalu apa yang bisa dirinya lihat di dalam sana? Apakah sebuah kelelahan atau kekalahan? Kucoba pelankan langkahku menatap segerombolan anak-anak yang tertawa lepas ditaman sana, mereka tertawa sangat Indah bahkan rasanya tak ingin menghentikannya. Melihat hal itu ingatannya kembali saat dunianya masih baik-baik saja. Anak-anak itu berlari saling mengejar satu sama lain diawasi oleh ibu mereka, ada sedikit rasa iri yang hadir di dalam dirinya. Mereka bisa bersama ibunya sedang ia? Kemana sebenarnya kehidupan yang dulu kenapa cepat sekali berubahnya? Mataku menatap interaksi mereka, aku hanya bisa tersenyum pedih akan itu. Ya aku pernah merasakan keindahan momen itu tetapi rasanya ingin kuulangi kembali agar sesuatu didalam diriku bisa menghilang. Aku mencoba menarik napas dan menghembuskannya kembali mencoba mengontrol diriku sendiri agar tak lepas kendali ditempat ramai seperti ini, apa yang akan kujawab jika hal itu terjadi? Saat jarakku dan rumah tinggal beberapa meter lagi pandanganku menajam untuk memastikan sesuatu, disana terdapat dua mobil terparkir rapi tepat didepan rumah dan mobil ayah juga sudah ada di tempat biasanya. "Apa mereka berusaha menjodohkan kak Siska lagi, bukannya ia ingin fokus pada dunia modeling-nya?"tanyaku pada diriku sendiri, ya kak Siska dia adalah kakak tiriku anak dari istri ayah yang baru sejak 6 tahun lalu tepat 2 tahun kepergian bunda menghadap Allah swt. Bunda? Aku kembali mengingat interaksi ibu dan anak di taman tadi rasanya ada kerinduan yang tak bisa kujelaskan didalam sana. Semoga bunda bahagia di alam sana, batinku. "Bagaimana Siska apakah kau menerima lamaran nak Gilang?"saat aku telah berdiri didepan pintu suara bariton milik ayah sudah menyambutku, ia sedang bertanya pada kak Siska apakah ia mau menerima pinangan laki-laki yang bernama Gilang itu. Aku masih berdiri didekat pintu menyaksikan ketegangan dari wajah didalam sana, mereka sepertinya sudah tidak sabaran ingin mendengar apa perkataan kak Siska selanjutnya. "Ya, saya menerimanya"itulah perkataan perempuan yang lebih tua 4 tahun dariku itu, sayup-sayup dapat kudengar semua yang hadir disana mengucapkan hamdala atas perjodohan itu. Rasanya baru saja kemarin kudengar perempuan yang selalu mementingkan penampilan itu mengatakan ingin fokus pada karier modelnya tetapi hari ini mungkin dia berubah fikiran dan memutuskan mengikuti keinginan ayah akan perjodohan ini. Aku cukup senang, mungkin kak Siska ingin memulai hidup barunya. Setelah melihat ibu membimbing mereka masuk kedalam yang sepertinya untuk makan bersama ,aku membawa langkahku masuk kedalam rumah berjalan menuju kamar akan tetapi perkataan seseorang dibelakangku membuatku terpaku hingga lagi dan lagi air mata yang sangat kubenci harus datang "Kau kemana saja Aila, kelayapan lagi? Apakah tak ada kerjaan selain menjual dirimu di tempat terlarang itu?, bukankah kau tau hari ini kita kedatangan tamu!"suara bariton ayah menyambutku, entah apa yang mereka katakan kepada ayah sehingga menuduhku sekeji itu padahal aku adalah Putri kandungnya 'Menjual dirimu' kenapa perkataan itu sangat menyesakkan saat masuk dalam pendengaranku, rasanya kenyataan ini sulit kuterima saat Cinta pertamaku sendiri menyebutkan kata rendah seperti itu. Mataku terpaku menatap nanar Ayah yang berdiri beberapa meter dariku, wajahnya terlihat sangat marah. Wajah teduh yang dulu selalu menatapku lembut kini menunjukkan kebencian pada anaknya sendiri, ini benar-benar sulit kuterima. Kenyataan yang tidak pernah kuberitahukan padanya adalah aku bekerja di sebuah kafe di ujung jalan sana, kafe yang tak jauh dari rumah. Aku selalu berusaha mencari waktu untuk berbicara empat mata dengan ayah tetapi dia selalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku harus bekerja bukan? Jika tidak kulakukan lalu bagaimana perutku bisa terisi dan keperluan kehidupanku terpenuhi. Tetapi kenapa sesuatu yang ayah tuduhkan padaku terlalu jauh melenceng seperti ini, bahkan diluar perkiraanku. "Ayah, biarkan saja Aila. Ayo kita ke ruang makan, putrimu itu pasti sangat lelah dari sana"begitulah yang terjadi ,setiap aku ingin menjelaskan sesuatu ibu selalu membawa ayah pergi dan laki-laki yang paling kucintai itu tidak sudi memandang Putri kandungnya lagi Mataku menatap nanar punggung kokoh yang berlalu itu, seseorang yang selalu memberiku pelukan hangat dulu kini malah menghakimiku tanpa alasan atau penjelasan apapun. Ayah, aku merindukan sosokmu disini. Aku juga tak mengerti apa yang terjadi, tepat setelah setahun pernikahan ayah dengan ibu Miranda semuanya berubah, ayah melemparkan selembar foto padaku dan menatapku dalam keadaan hina lalu pergi begitu saja hingga saat ini. Mungkin kehidupanku sudah dikatakan seperti dongeng yang mendapatkan ibu tiri jahat dan tak tau diri sepertinya, layaknya kehidupan dongeng cinderella itu. Tetapi bedanya dia masih memiliki dunianya tetapi aku? Cinderella masih disayang oleh ayahnya walaupun harus kehilangannya sedang aku? Ia masih hidup tetapi ingin melirikku pun enggan ia lakukan. Dan sejak saat itu kehidupanku berubah bagai kehidupan neraka dunia,ibu tak pernah memberiku uang sepeserpun dan semua Barang di kamarku di kosongkan, baju-bajuku tergeletak begitu saja dilantai. Bagaikan kapal pecah didalam sana. Ranjang, lemari, cermin Serta perkakas lainnya dikeluarkan. Aku hanya diberi selembar kain tipis untuk melapisi dinginnya lantai saat tertidur. Aku ingin berbicara pada Ayah tetapi ibu Miranda selalu saja datang entah dia memang mengawasiku atau mempunyai kekuatan magic seperti di kehidupan cinderlla tetapi kurasa opsi kedua itu salah. Dia memang sangat pandai memainkan dramanya sebagai ibu tiri yang sangat 'baik' Kakiku melangkah masuk kedalam kamar yang hanya terlihat seperti ruangan kosong. Setelah menutup pintu hatiku meraung, ini sungguh sakit. Hanya ayah yang ku punya tapi ia tdk mempercayaiku bahkan menatapku saja enggan. Bunda....tolong Aila.. "Apa yang sebenarnya engkau ingikan padaku takdir? Bukankah kau telah merenggut kasih sayang bunda dariku? Mengambil malaikat kesayanganku secara paksa dan menggantikannya dengan sosok yang berbanding terbalik dengan yang sebelumnya?" kakiku mencoba berdiri berjalan membuka jendela kamarku Menatap teriknya cahaya matahari diluar sana. Mataku terus menatap gamang kearah luar mencoba memikirkan sesuatu yang nyatanya tak bisa kupikirkan sama sekali, entah ini film atau sedang disutradarai kenapa setiap aku ingin berbicara pada Ayah selalu saja ada halangan. "Takdir, aku akan terus mencoba berdiri diatas harapanku akan kejutan rahasiamu tetapi jangan salahkan aku jika nantinya kamu malah menemukan aku tak berdaya di pojokan kegelapan tanpa ingin mengenal dunia lagi. Mungkin sekarang kubiarkan kamu berkuasa tetapi aku juga punya batas lelah." gumamku lirih diiringi air mata s****n yang paling ku benci kehadirannya. "Putri bunda harus sekuat pohon ditengah badai, jikalau pun nantinya harus tumbang maka itu akan terjadi saat semuanya memang tidak bisa lagi ia rasakan tetapi bunda yakin kamu adalah Aila-nya bunda takkan menyerah sampai kapanpun." Perkataan lembut dan menenangkan itu akhirnya datang padaku, sebuah mantra yang akan selalu kuingat sampai kapanpun. Dia malaikatku dengan segala harapan yang ia tumpukan padaku maka aku akan tetap menjadi seperti yang dia mau walaupun aku tidak tau kapan pertahanan ini ada. "Kuperingatkan tetap berada pada posisi awalmu Aila." aku menoleh dan mendapati wajah angkuh ibu Miranda yang sedang menatapku rendah. Pakaian mewahnya sangat kontraks dengan make up cantik yang ia pakai, serta rambut panjang sepinggulnya sedikit bergelombang mungkin ia memberikan sentuhan salon sebelum mengadakan pertemuan keluarga ini. Penampilannya sangat berbeda dengan bunda dulu, bunda malahan lebih suka tidak memakai make up walaupun memakainya sesekali tetapi tidak setebal milik Ibu Miranda. "Sebenarnya apa yang ibu inginkan dariku?" ucapku lirih sedang dia hanya tertawa sinis ditempat, sangat berbeda dengan sikapnya saat pertama kali diperkenalkan denganku beberapa tahun lalu. Suaranya yang sangat keibuan serta wajah tulusnya dan saat ini jika boleh jujur aku merindukan masa itu bukan seperti sekarang ini. "Memangnya apa yang pantas untukmu? Bukankah aku adalah ibumu serta istri dari ayahmu. Tidak salah bukan jika aku bertindak seperti ini?" "Tetapi apakah semua ini belum cukup? Bahkan sampai ini aku masih bingung apa yang membuat ayah selalu mengataiku." dapat kulihat dia tertawa pelan layaknya perempuan jahat yang selalu ku tonton saat kecil dulu "Bukankah kata itu memang cocok untukmu? Bukankah itu memang sudah menjadi pekerjaanmu anakku sayang?" perempuan pengganti bunda itu melembutkan nada suaranya di akhir kalimatnya, sangat lembut. "Aku bahkan tidak tau arti dari semua ini." lirihku lagi. "Sebentar lagi Siska akan menikah dengan laki-laki tadi. Contohlah kakak tirimu itu bukan malah menjual dirimu terus menerus." Aku menutup mataku sejenak saat kata itu terlontar lagi, apakah yang terjadi sebenarnya disini? Kenapa aku begitu bodoh hingga malah menjadi korban terus menerus seperti ini tanpa tau sebabnya. "Bukankah waktu awal kita bertemu Ibu begitu lembut dan begitu menyayangiku? Kenapa semuanya menjadi berbeda seperti ini? Apakah aku membuat kesalahan hingga Ibu berubah?" tanyaku pelan sambil memperhatikan ekspresi wajahnya. "Karena kurasa kamu tidak berhak atas semuanya Aila, kurasa dengan mengambil alih apa yang kamu miliki terasa menyenangkan dan aku bisa merasa puas serta merasa tidak rugi memilih menikah dengan ayahmu tentunya." jawabnya santai yang kubalas dengan helaan napas lelah. "Ibu cukup memintanya tak perlu memperlakukanku seperti ini, lagipula kita bisa bekerja sama serta membuat semuanya tetap pada jalurnya." Dia tertawa pelan mendengar perkataanku, selama beberapa detik ia terus tertawa hingga menatapku dengan sorot kebencian yang begitu jelas terlihat, "Tetap pada jalurmu jika tidak maka akan kulakukan sesuatu yang membuat ayahmu makin membenci keberadaanmu di rumah ini!" perempuan yang kuanggap pengganti bunda itu berlalu pergi setelah mengucapkan kalimat yang cukup sulit kuterima. Apa tadi aku terlalu sibuk melamunkan sesuatu hingga Ibu Miranda masuk kedalam kamar tapi tidak kusadari sama sekali, kembali kutatap pemandangan diluar jendela. Dan tanpa kusadari air mata itu datang lagi, sesekali aku membenci kelemahanku yang satu ini. Mau saja diperlakukan tidak baik didalam rumahku sendiri. (Luka yang kamu rasakan adalah sebuah pesan. Dengarkanlah mereka.-Rumi) Bersama air mata yang datang aku tersenyum pelan mengingat kata itu, luka ini harus harus kubiarkan merajalela karena melawan ibu Miranda sama saja dengan menyakiti diriku sendiri mungkin dengan membiarkannya semuanya akan membaik dengan sendirinya bukan? "Bunda... Tetap tunggu aku disana dan tetap temani aku disini. Bantu aku menjalani kehidupan tanpa kasih sayang ayah lagi hingga akhirnya nanti aku akan menyerah dengan sendirinya bersama daun musim gugur yang datang." lirihku dengan air mata tanpa henti. Diluar sana memang indah tetapi begitu menipu mata yang tak mau mencari tau bagaimana luasnya sesuatu itu, jemariku menghapus air mataku sendiri tetapi kenapa air mata ini tak mau berhenti sama sekali? Apakah begitu sesak dan sakit hingga harus sesedih ini? "Anak Bunda kalau mau nangis ya nangis aja yaa... Jangan ditahan sayang nanti dadanya sakit loh!" Suara lembut Bunda seakan menggema dalam pikiranku, itu adalah perkataannya saat aku masih berumur anak-anak yaitu pulang sekolah dengan tangis tertahan. Dia dengan senyum lembutnya berlutut didepanku, jemarinya mengusap pipiku dengan sayang sambil mengatakan kata itu. Bukannya berhenti menangis aku malah semakin terisak, membungkam mulutku agar suara tangis ini tidak terdengar bahkan pemandangan diluar jendela menjadi nanar terlihat karena air mata. Sungguh aku sangat menginginkan Bunda berada disini bersamaku, memelukku dengan sayang bersama suara menenangkannya bukan malah tatapan sinis serta perkataan pedas Ayah dan Ibu Miranda. "Aku ingin Bunda..." "Ayah..." "Aku merindukan keluarga utuh kita." "Aku ingin mengulang waktu dimana hanya kita bertiga tanpa adanya ribuan masalah yang datang... Hiks... Hiks.. Aku ingin kalian kembali dan aku menjadi anak kecil lagi dimana hanya gemaan tawa saja... Hiks... Hiks... Kenapa rasanya sangat menyesakkan." ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD