PART 3

2076 Words
Papan tulis di depannya telah penuh dengan rumus-rumus fisika yang ditulis Pak Herman lima belas menit yang lalu. Pria paruh baya yang rambut bagian sampingnya telah memutih itu duduk di tepi meja - matanya fokus pada buku bewarna hijau yang tergeletak di pangkuannya. Tangannya masih memegang spidol hitam, tanpa mengatakan seutas suara pun, tangannya kembali menulis rumus-rumus di papan tulis - hanya tersisa sedikit tempat di pinggir yang membuat tulisannya semakin mengecil. Setelah masuk ke kelas tadi, Pak Herman menyuruh muridnya untuk menyalin apa yang ia tulis di papan tulis dan itulah yang kini Elle lakukan. Setelah pertemuannya dengan Pak Junet seminggu yang lalu, Elle masih berpikir bagaimana cara untuk mendapatkan nilai fisika yang memuaskan semester ini. Pak Herman adalah tipe guru yang memberikan nilai dari ulangan harian dan ujian semester. Semua tugas ataupun PR tidak akan masuk perhitungannya karena ia tahu hanya satu murid yang mengerjakannya. Sebelumnya Elle tidak menyadari itu, namun setelah menerima penjelasan kakaknya sewaktu kelas sepuluh dulu, Elle tahu kenapa nilai fisikanya tidak karuan meskipun ia mengerjakan tugas dengan rajin. Setelah mengetahui itu, ia tidak terlalu khawatir mengenai tugas dan hanya belajar ketika mendekati ujian semester. Nilainya tetap tidak berubah, tapi ia bisa menghemat tenaga karena tidak perlu mengerjakan tugas Pak Herman yang selalu beranak setiap minggu. Elle sempat berpikir untuk mengikuti bimbel atau les privat seperti murid pada umumnnya. Namun, dengan melihat tingkahnya di kelas seperti ini, Elle tahu ia hanya akan menghabiskan uang untuk tertidur di tempat lesnya nanti. Ia sudah pernah mengikuti les privat dan ternyata suasana rumah semakin membuatnya mengantuk dengan cepat. Mungkin ia akan mengikuti bimbel online yang bisa ia tonton dengan santai di rumah, ia berharap materi yang mereka tampilkan tidak membuatnya menutup mata setelah sepuluh menit. Kalau tidak, sepertinya ia akan membentuk kelompok kecil untuk belajar bersama beberapa kenalannya yang cukup pintar. Ia telah lama memikirkan ini dan sekelebat nama muncul di kepalanya meminta perhatian. Sebuah bisikan di telinganya membuat Elle menoleh dan mendapati Nency sedang membulatkan matanya. Perempuan itu menunjuk sebuah penghapus yang berada di sebelah kiri mejanya. Elle masih mengingat bagaimana sahabatnya itu masih santai sedangkan ujian nasional akan datang semakin cepat. "Kenapa kamu membahas hal itu?Kita masih semester satu, Elle. Ujian masih lama. Kita baru masuk dua bulan, aku yang akan mengambil kedokteran saja belum pernah memikirkannya." "Apa? Kamu mau mengambil kedokteran? Kamu serius?" "Iya. Ayahku menyuruhku mengikuti jejak kakak sepupuku yang telah menjadi dokter mata di Singapura," kata Nency lemah. "Tetapi aku tidak keberatan sama sekali. Setidaknya di sana aku akan menemukan banyak lelaki tampan dengan jas putih dan kacamata baca yang seksi. Kamu tahu tidak kalau jas dokter itu membuat semua laki-laki terlihat lebih menarik?" Elle menggelengkan kepalanya dengan patuh. Tidak ingin mendengar perkataan Nency yang menurutnya sangat tidak beralasan. "Kamu terlalu bersemangat, itu sangat bukan dirimu, El. Sejak kapan kamu peduli dengan kemajuan akademik kita? Waktu kita masih banyak, bahkan aku belum mendaftar murid baru yang menggemaskan itu sampai lengkap. Aku belum puas melihat para adik kelas yang lucu dan penurut itu," kata Nency, membuat Elle kembali menggelengkan kepalanya tak percaya dengan pikiran konyolnya. "Biarlah ini menjadi pekerjaan Pak Junet dengan Bu Reni, aku tahu Bu Reni selama ini hanya sibuk menegur anak yang merokok di belakang sekolah. Melihatnya sering tebar pesona dengan muridnya, aku semakin yakin ia butuh pekerjaan yang lebih banyak." Bukan, ini salah Elle sepenuhnya karena mengharap mendapat jawaban yang masuk akal dari mulut perempuan itu. Setelah memberikan penghapus pensil itu kepada sahabatnya, Elle kembali menulis rumusnya dengan pikiran kosong. *** "Kak El." Teriakan Sonia membuat Elle memutar kepalanya ke arah adiknya yang sedang menatapnya dengan mata berbinar di depan pintu kamarnya. Sonia menggulung rambut panjangnya ke belakang, ia memakai kaos polos bewarna biru muda dan celana kain pendek. Matanya berbinar sempurna, bulu matanya yang lentik tampak menggantung dan sedikit basah. Aroma sabun mandi yang seperti percampuran bunga lavender dan madu menyerbu indra penciuman Elle. Tangan putih Sonia menarik bantal yang tergeletak di samping tempat tidur Elle dan duduk bersila di sana. Elle mendesah pelan, ia sedang mengerjakan makalah sejarah yang harus dikumpulkan rabu nanti dan kedatangan adiknya ke kamarnya akan menyita banyak waktu Elle.  "Kamu tidak akan ke kamarku kalau tidak ada sesuatu yang penting. Apa kamu memecahkan piring kesukaan ibu lagi? Kalau itu masalahnya, aku tidak bisa membantumu. Uang mingguanku sudah habis. Aku baru saja membeli buku baru." Sonia menarik kursi kecilnya menuju pinggir tempat tidur Elle. Ia menatap Elle dengan serius. Elle pernah melihat adiknya itu menampilkan ekspresi yang sama dua tahun yang lalu, ketika Sonia meminta ijin kepada ibunya untuk menonton konser penyanyi kesukaannya di Korea Selatan. "Bukan. Ini lebih serius. Astaga!" Sonia menarik tangan Elle dan menggenggamnya dengan erat. Ia meletakkan tangan kakaknya itu di dadanya, tetapi Elle dengan cepat menarik tangannya kembali. "Aku bahkan tidak bisa mengatakannya sekarang. Rasanya jantungku seperti meledak. Sepertinya aku benar-benar jatuh cinta, kak. Bagaimana ini?" ucap Sonia sambil menutup kedua matanya. " Aku benar-benar telah jatuh cinta." "Aku tahu apa yang kamu maksud. Aku harus menyelesaikan makalah sialan ini malam ini juga, Son. Kalau kamu mau bercerita tentang aktor-aktor korea itu lagi, aku akan mengusirmu sekarang juga. Berhenti berkhayal tentang mereka." Suara langkah kaki dan pintu tertutup terdengar di samping kamarnya. Kakaknya, Abra, pasti baru pulang setelah tadi pagi pamit kepada ibunya untuk mengunjungi rumah teman lamanya. Setelah kuliah di Bandung cukup lama, kakaknya itu memang jarang pulang dan lebih memilih menghabiskan waktu liburannya di Bandung. Namun, entah apa yang terjadi, kemarin kakaknya itu mengetuk pintu rumah tengah malam dan membuat ibunya hampir pingsan karena berada di depan pintu dengan pakaian serba hitam. Hubungan Elle dan kakaknya tidak seperti dulu lagi, kini ia jarang menertawakan hal-hal remeh dengan kakaknya. Mereka jarang mengunjungi taman bermain hanya untuk membeli arum manis kesukaan Elle, mereka jarang menghabiskan akhir pekan bersama lagi, bahkan kakaknya tidak mau lagi menemaninya mencari foto setiap minggu sore seperti yang sering mereka lakukan dulu. Elle sempat berpikir mungkin karena kakaknya sudah bertambah dewasa. Mungkin Abra punya prioritasnya sendiri sekarang, ia sudah menjadi mahasiswa dan ibunya tidak akan melarangnya untuk pacaran lagi. Abra adalah laki-laki yang cukup populer di kalangan perempuan. Tatapan matanya yang intens dan bentuk mukanya yang keras namun manis telah membuatnya sempat ditawari sebagai model pakaian - yang langsung ditolaknya mentah-mentah. Selama di rumah ini, Abra sering pergi pagi dan kembali malam hari seperti sekarang. Ia akan menghindari Elle ketika perempuan itu ingin menanyakan sesuatu paadanya. Kakaknya pasti tahu bahwa Elle akan menanyakan tentang Revan padanya, makanya laki-laki itu selalu menghindar. Elle menduga kakaknya dan Revan masih belum berbaikan. "Aku serius, Kak. Aku bertemu dengan seseorang," ujar Sonia, menarik Elle kembali ke dari lamunan panjangnya. "Akhirnya aku menemukan seseorang yang membuat jantungku bergetar hebat. Aku menyukainya pada pandangan pertama. Dia lelaki paling tampan yang pernah aku temui langsung. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya seminggu belakangan ini." "Kamu sudah mengatakan hal seperti ini dua kali selama sebulan terakhir." "Kali ini aku yakin. Aku tidak pernah merasakannya dengan siapapun sebelum ini. Namanya Rei. Sayangnya, hanya itu yang aku tahu tentangnya." "Rei?" "Ya, dia anak akselerasi. Aku bertemu dengannya di laboratorium komputer. Dia hanya lewat di depanku dan menatapku sekilas. Tatapannya itu - aku tidak bisa mengatakannya dengan kata-kata. Mata terindah yang pernah aku lihat. Bahkan aku tidak pernah membayangkan akan ada mata seindah itu." "Sepertinya kamu terlalu berlebihan. Kamu terlalu banyak menonton drama korea, Son. Laki-laki seperti itu hanya ada di dunia fiksi," kata Elle sambil mengambil pengisi baterai laptop di meja belajarnya yang terletak di dekat pintu. Ia melihat kakaknya berjalan melalui pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Laki-laki itu memakai kaos hitam dan celana pendek. Sebuah handuk kecil berada di atas kepalanya yang basah. "Aku tidak bercanda. Kamu akan mengakuinya ketika kamu bertemu dengannya langsung. Dia - dia seperti pangeran Eropa yang tersasar di sekolah kita, Kak. Semua sesuatu di sekitarnya tampak hanya sebuah dinding gelap. Dia terlalu bersinar." Sonia membuka ponselnya dengan cepat - masih dengan senyuman konyol yang tidak pernah redup sejak percakapan pertamanya. "Aku sudah mencari akun media sosialnya. Aku sudah menelusuri semua anak SMA Bakti Luhur dan aku tidak menemukannya. Aku tidak menyangka ada yang tidak punya ** di zaman sekarang - tentu saja, kamu pengeculian - maksudku, dengan wajahnya itu, cowok itu bisa melakukan apapun yang orang inginkan. Maksudku - ketenaran dan uang - mungkin. " "Kalau laki-laki itu sesempurna yang kamu katakan tadi, pasti aku sudah mengenalnya atau minimal Nency sudah meneriakannya di telingaku. Tapi apa yang terjadi? Aku tidak tahu mengenai laki-laki bernama Rei itu." Sonia berdiri dari duduknya dan berjalan menuju rak kayu di kamar Elle yang berada di samping kamar tidurnya. Mengambil sebuah foto - kakaknya dan seorang laki-laki berambut coklat di puncak sebuah gunung dengan senyuman lebar. Kakaknya segera merebut foto kecil yang sudah mulai menguning itu dari tangan Sonia. Sudah dua tahun sejak foto itu diambil. Kemarin, tanpa sengaja Elle memecahkan kaca figura foto itu. Ia harus segera membeli figura lagi agar foto itu tetap berdiri di sana. Di tempatnya yang semestinya. "Sudah selesai menceritakan laki-laki bernama Rei itu? Aku harus menyelesaikan makalah ini." "Sejak kapan Kak Elle menjadi rajin seperti ini? Sekedar memberitahu, ini malam minggu, Kak. Meskipun aku tahu Kakak tidak punya pacar, tetapi Kakak bisa pergi dengan Kak Nency - atau dengan Kak Abra mungkin. Setidaknya jangan mengurung diri di kamar terlalu lama." Sonia melirik foto yang di sembunyikan Elle di bawah buku sejarahnya. Pinggiran foto tersebut mencuat keluar - seperti meminta perhatian Sonia. "Aku sudah lama ingin menanyakan hal ini. Apa Kakak masih menyukai Kak Revan?" "Itu bukan urusanmu." "Ya ampun, Kak. Tiga tahun sudah berlalu. Kamu masih ingat apa yang dikatakan Kak Abra, bukan? Sudah saatnya kamu melupakan laki-laki itu dan mencari laki-laki yang lebih baik." Tentu saja kakaknya itu sangat cantik. Wajahnya kecil, dengan mata besar yang jernih dan lembut. Ketika tersenyum, lesung di dagunya terlihat dan akan membuat siapapun yang melihat itu takjub. Hidungnya mancung, kulitnya putih - sedikit pucat meskipun Elle bisa menutupinya dengan pewarna bibir yang sedikit merah. Walaupun tubuhnya tidak terlalu tinggi, tetapi Elle cukup beruntung mempunyai sepasang kaki yang jenjang dan tubuh yang ramping. Dengan penampilan seperti itu, seharusnya Elle bisa mendapatkan semua laki-laki yang ia mau. Bahkan banyak lelaki yang terang-terangan mendekatinya, tidak sedikit juga perempuan yang menatapnya sinis karena merasa iri. Namun, Sonia tahu kakaknya itu tidak pernah memperhatikan semua itu dengan kepala cantiknya. Kakaknya sudah terpaku pada seseorang yang tidak akan pernah dapat ia miliki. Meskipun tidak pernah menunjukkannya langsung, Sonia tahu bahwa Revan hanya menganggap Elle sebagai adik. Sonia tahu bahwa laki-laki yang disukai kakaknya itu tidak pernah menganggap kakaknya sebagai perempuan. Laki-laki itu memiliki seribu keinginan yang akan selalu ia pilih daripada sebuah hubungan. Ia tahu laki-laki seperti apa Revan. Laki-laki itu berjalan di sekitar Elle dengan cahaya terang yang menyilaukan, membuat Elle bungkam dan menumbuhkan benih-benih perasaan di hatinya. Namun, semua orang tahu cahaya itu bukan untuk Elle, cahaya itu memang telah lama berada di sana - di diri Revan, cahaya itu ada hanya untuk hidupnya sendiri dan semua yang mengelilinginya. Sonia tahu semua itu karena ia juga merasakan cahaya itu, tidak ada perlakuan istimewa Revan pada kakaknya, yang ada hanyalah Revan selalu melakukan hal itu kepada semua orang. Laki-laki itu menjunjung tinggi persahabatan, kasih sayang, kemanusian, tantangan, dan semua yang hinggap di kepalanya. Termasuk hal jahat yang menyelinap sesekali. "Kak Abra tidak akan tinggal diam saat mengetahui kamu masih menyimpan perasaan pada laki-laki itu." "Kak Abra - Abra, aku tidak tahu apakah aku masih bodoh seperti dulu ketika di depannya atau tidak. Aku terlalu mudah menerima penilaiannya terhadap hidupku. Ia mengatakan bahwa Kak Revan berbahaya bagiku, tetapi apa yang membuatnya bahaya? Kalau dia pikir geng motor, merokok, dan mempermainkan perempuan itu berbahaya, maka sekarang dialah yang berbahaya. Sekarang aku tidak akan membiarkannya ikut campur dengan urusanku lagi. Hanya aku yang bisa memutuskan kepada siapa aku akan menaruh kepercayaanku nanti," kata Elle panjang. Ia mengeluarkan foto itu lagi dan melihatnya lama. "Sebaiknya kamu juga tidak perlu ikut campur, Sonia." Sonia mendesah pelan. Kakaknya benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya ia lakukan. Kakaknya sedang terjebak dalam suatu jerat bernama cinta dan Sonia tidak bisa menolong kakaknya itu, karena dia sendiri sedang terkurung pada kubangan yang sama. Sonia sedang menikmati sebuah perasaan yang akhir-akhir ini menyergapnya itu sebelum perasaan itu berbalik untuk menikmatinya. Sebelum semuanya menjadi rumit dan tak terkendali lagi. Karena kita tidak tahu apa yang menunggu kita di persimpangan jalan yang akan kita lewati nanti. Karena masa depan seperti permainan kartu - dimana kita tidak akan tahu siapa pemenangnya - dan tidak akan tahu siapa yang menyembunyikan kartu yang dapat mengubah semuanya. Sementara ini, untuk laki-laki bernama Rei yang menarik perhatiannya itu, Sonia akan meminta bantuan pada Nency, sahabat kakaknya. Siapapun tahu bahwa perempuan itu sangat menyukai apapun yang berbau laki-laki tampan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD