Part 33

1642 Words
Lagi lagi Danen melihat Jivar yang mendatangi mansionnya. Pria itu terus menerus berusaha mendekati mantan kekasihnya walaupun hanya mendapat kediaman yang Aludra berikan kepadanya. Namun pria itu seperti tak punya malu untuk melakukannya terus menerus. Apa lagi ketika melihat Danen dan Aludra yang pergi bersama seperti saat ini. Jivar seperti pria yang kebakaran jenggot saat melihatnya. Hari ini memang jadwal mereka untuk mengambil obat obat untuk hewan hewannya. Danen terus mengendarai mobil miliknya dengan santai, Jivar yang terus mengikuti mobilnya dari belakang membuat Danen mengeluarkan senyum smirknya. Sepertinya ia ide untuk membuat hati pria itu semakin memanas. "Kekasihmu memang sangat protektif, Aludra." "Mantan, Danen. Aku tidak memiliki kekasih," Tekan Aludra kembali menghadapkan badannya ke belakang. Ia sangat heran melihat tingkah Jivar yang sangat protektif. Bahkan melebihi saat dulu mereka masih berpacaran. Danen menahan kekehan di wajahnya melihat raut beringas Aludra. Perempuan itu terlihat semakin cantik saat memasang wajah beringas nya, membuat Danen semakin gemas namun ia hanya bisa tersenyum tanpa melakukan apapun. Perempuan itu semakin memberengutkan wajahnya dengan lucu. Seperti Roxy yang memberengut kesal saat ia mengerjainya. Ekspresi itu terlihat sangat lucu di mata Danen. "Kenapa ke restoran, Danen?" "Aku lapar," Ujar Danen sambil menghentikan mobilnya di depan pintu masuk restoran mewah. Lalu turun dan melemparkan kunci mobilnya pada petugas valet dan berhenti sebentar di depan mobilnya, menunggu Aludra yang sedang turun dari mobil. "Lapar? Kita bahkan baru sarapan, Danen. Apa makan pagimu tidak cukup?" Aludra menutup pintu mobil dengan ekspresi tidak percayanya. Mengayunkan kakinya menghampiri Danen. "Jika cukup, aku tidak akan ke restoran ini, Aludra." Balas Danen yang langsung membungkam mulut Aludra saat perempuan itu hendak bersuara. Danen menggandeng tangan Aludra dan mulai memasuki restoran mewah itu sambil melirikkan mata pada mobil Jivar yang berhenti tidak jauh dari mereka. Ia mengedarkan pandangannya dan pilihannya jatuh pada bangku di pojokan dekat jendela yang hanya diperuntukkan untuk orang dua melihat bangku yang tersedia hanya dua. Danen pun melangkahkan kakinya kesana dan menarik satu bangku untuk Aludra serta satu lagi untuknya "Memangnya mau makan apalagi kau, Danen?" "Apa kau mau milkshake strawberry?" Danen mengangkat wajahnya dari menu untuk melihat wajah Aludra. "Kau saja, Danen." "Baiklah…." Danen menaruh menu di tangannya dan berkata sambil bersedekap d**a, "....Milkshake strawberry satu, affogato satu," Danen menaikkan satu alisnya saat melihat Aludra yang hendak protes, "Aku ingin kau menemaniku, Aludra. Tidak bisakah kau sekali saja mengabulkan permintaan ku?" Aludra memicingkan mata, "Aku sudah pernah mengabulkan permintaan mu, Danen." "Oh ya?" "Bukankah setiap malam kau meminum s**u vanila yang selalu kubuat?" "Ah… ya, kau benar. Tapi tetap saja kau tidak boleh menolak permintaan ku." "Apakah harus?" "Ya, tentu saja. Kau tahu bukan, aku tidak suka pembangkang. Jadi kau harus menuruti semua permintaan ku." "Itu tergantung pada permintaan mu, Danen." "Dan kenapa harus seperti itu? "Aku harus memilih mana permintaan yang harus ku turuti dan tidak. Bisa saja kau meminta hal yang aneh padaku." Danen berdecak, "Ck, kenapa kau sangat pemilih, Aludra." "Karena aku tahu, pasti ada salah satu dari permintaan mu yang akan membuatku kesusahan untuk melakukannya." Seketika Danen tersenyum lebar mendengarnya. Ya, ia memang akan meminta sesuatu yang pasti akan berat untuk Aludra lakukan, "Ya, kau benar. Bagaimana kau bisa tahu aku akan meminta hal seperti itu, Aludra?" "Hanya tahu saja," Aludra mengedikkan bahu, "Lagipula bukankah manusia memang seperti itu. Meminta hal yang aneh pada orang lain, itu hal yang biasa, Danen." Senyum Danen semakin lebar ketika mendengar penuturan Aludra. Danen pun mengulurkan tangannya untuk mengusap rambut perempuan itu dengan lembut. Dan tentu saja dengan tersenyum lebar. "Apapun permintaan ku, seharusnya kau tetap menurutinya, Aludra." "Dan bagaimana jika aku tidak mau?" "Kalau begitu kau harus mau melakukannya untukku. Meskipun itu dalam keadaan terpaksa sekalipun." **** Ketika keduanya menyelesaikan urusannya di klinik Dokter Faris, sebuah deringan menghentikan langkah keduanya. Panggilan masuk dari handphone Aludra. Perempuan itu meminta Danen menunggunya dengan tangan kanan yang memberi isyarat pada Danen. Aludra sedikit menyingkir. Dan Danen menunggu dengan santai dan menjadi pusat perhatian. Namun sudah lebih dari lima menit Aludra tak kembali. Dengan keraguan Danen melangkah mendekati arah yang dilalui Aludra tadi Danen terkejut ketika menemukan Aludra yang terkulai lemas dengan handphone yang terjatuh dengan keadaan menampilkan panggilan masuk. Dr. Tanesya. Nama yang sama yang pernah penelpon Aludra. Dokter yang menangani mama Aludra. "Halo… Aludra. Apa kau baik baik saja?" "Halo." Danen mengambil handphone Aludra yang tergeletak di bawa. "Iya? Apakah Aludra baik baik saja" "Sepertinya tidak? Ada yang bisa saya bantu." "Cukup ajak Aludra ke rumah sakit dengan selamat. Mamanya membutuhkannya." "Baik." Dan panggilan pun mati Danen merengkuh Aludra ke dekapannya. Memeluk perempuan itu dengan erat. Dengan spontan Aludra menyandar pada d**a bidang Danen. Ia merasa menjadi perhatian beberapa orang memperhatikan dirinya dan Aludra. Danen menggendong Aludra ala bridal style. Tak ada yang bisa dilakukan Aludra. Perempuan itu hanya bisa diam membisu. Entah berita apa yang membuat Aludra hanya terdiam. Dan hal itu membuat Danen merasakan cubitan di hatinya. Danen memasuki mobil bagian belakangnya dengan Aludra yang berada di pangkuannya. Mengusap punggung Aludra dengan pelan. Tak lama suara tangisan terdengar. Danen hanya diam dan terus menerus memberi usapan pada punggung Aludra. "Mama." Ucap Aludra dengan suara tangis yang lirih. "Ke Rumah sakit?" Tanya Danen dengan lembut. Entah setan dari mana yang membuat Danen merasa harus memberi kelembutan pada perempuan itu. Merasa anggukan dari Aludra. "Kalau begitu turun dulu dari pangkuanku." Terlihat wajah semu merah di pipi Aludra. Aludra turun dari pangkuan Danen dengan canggung. Keduanya pun pindah ke bangku depan dengan Danen yang menempati kursi kemudi. Mobil terasa sunyi, Danen yang berkonsentrasi dengan kemudinya dan Aludra yang terus melamun menghadap keluar jendela. Tiga puluh menit kemudian, mobil Danen sudah memasuki area parkir Dirgantara Hospitals. Tepat saat mobil Danen terparkir dengan benar. Aludra membuka pintu dengan cepat dan berlari memasuki Dirgantara hospitals. Sebenarnya seburuk apa keadaan mama Aludra? Sehingga membuat perempuan itu sekacau itu. Danen mengikuti Aludra dengan kaki panjangnya. Ia pun terkejut saat melihat Aludra yang terus menerus memeluk ibunya yang sudah terbujur kaku dan beberapa medis yang sedang membuka beberapa alat bantu penopang hidup pada mama Aludra. Meninggal. Satu kata yang spontan membuat Danen memundurkan langkahnya. Melihat Aludra yang memeluk ibunya yang telah tiada. Membuatnya terlempar pada kejadian empat belas tahun yang lalu. “Ayah? Ibu?” Pemuda itu bersimpuh di antara kedua orang tuanya yang saling bergandengan tangan dengan lemah. Menggoyang-goyang tubuh keduanya dengan pilu. Berusaha membuat keduanya kembali membuka mata. Tapi usahanya tetap tak membuahkan hasil. Kedua tubuh itu masih terbujur kaku dengan wajah pucat dan mata terpejam. Untuk selamanya. Danen menangis tersedu. Menggeleng-geleng tanpa daya. Kemudian, di antara sedu tangisnya, tiba-tiba suara mesin mobil terdengar mendekat. Semakin dekat dan Danen mengangkat wajahnya. Suara itu berasal dari halaman depan villanya. Dulu Danen benar benar tak berpikir akan melalui hal tersebut. Kehilangan orang tua tetap menjadi luka terdalam dari seorang anak. Sedikit merasa iri melihat Aludra bisa memeluk mamanya dan menangisi mama dan papa nya. Dulu ia benar benar tak bisa melakukan apapun. Yang ia lakukan hanya bisa terus bersembunyi dibalik pohon dengan rasa ketakutan yang amat sangat. Hanya bisa menangis melihat kedua orang tuanya yang sudah tak bernyawa dengan penuh luka luka di badannya. Danen berjalan mundur dan pergi meninggalkan Aludra yang masih memeluk mamanya dengan erat. Ia tak akan sanggup berdiri di sini. Melihat Aludra kehilangan mamanya seperti melihat dirinya sendiri ketika kehilangan kedua orang tuanta. Danen berusaha mengais udara dl sebanyak banyaknya. Berusaha menghilangkan baru besar yang tiba tiba terasa di dadanya. Danen mendudukan dirinya di dalam mobil. Hanya terdiam. Taka ada yang bisa dia lakukan. Rasa sakit itu masih sama. Danen berusaha tenang. Mengambil handphone miliknya dan menekan panggilan nomor satu. Ketika deringan pertama, seseorang tersebut sudah mengangkatnya. "Bram. Ke Dirgantara hospitals sekarang! Jangan lupa bawa sopir" " Baik Tuan. " Dan dua puluh menit kemudian, bunyi ketukan di kaca mobil Danen. Menyadarkan pria tersebut dari lamunannya. Danen membuka kunci pada mobilnya.Bram memasuki mobil dan duduk di kursi penumpang. "Bantu Aludra mempersiapkan pemakaman mamanya. Dan Temani Aludra." Ucap tegas Danen. Danen masih terdiam sebentar. Menarik nafas pelan dan menghembuskannya. Tak memperdulikan kebingungan yang terlihat di wajah Bram. "Baik.Tuan." Dengan menganggukan kepala. "Dan suruh sopir mengantarkan ku pulang. " sekali Bram menganggukan kepala. Kemudian tangan kanan Danen itu keluar dari mobil. Danen keluar dari mobil dan menduduki kursi penumpang bagian belakang. Dan tak lama seorang sopir memasuki mobil miliknya. "Pulang sekarang.! " "Baik Tuan." *** Danen memasuki kandang Max dengan beberapa daging segar di tangannya. Membuat sang raja hutan berdiri dengan tegap melihat majikan nya itu datang menemuinya. " Halo. Max." Sebuah sugan dari kucing besar itu menjawab salam Danen. Max mengibaskan bulu bulu lebatnya dengan semangat, kemudian berjalan mengelilingi Danen. Memahami maksud Max, Demen pun melemparkan daging dengan potongan satu kg itu. Dan dengan lincahnya Max menangkap dan memakan nya. Danen terkekeh melihat itu. Selesai dengan makan sorenya. Max pun duduk di singgasananya di dalam kandang. Danen menyandarkan tubuh besarnya pada sangat raja hutan yang tak merasa risih sama sekali dengan hal tersebut. Keduanya terdiam. Menikmati nyanyian dari suara angin yang berhembus dan daun daun yang bergoyang. Ketenangan. " Kau tau Max, mama dokter Aludra meninggal." Satu tangan Danen ia akat dan membelai bulu bulu pada leher Max. "Aku seperti melihat diriku empat belas tahun yang lalu ketika melihatnya memeluk mamanya untuk yang terakhir kali. Iri. Melihatnya melakukan tersebut. Sedangkan aku dulu hanya bisa mematung dan menangis tak berdaya. Melihat ibu dan ayah terbunuh. Rasa sakitnya masih sama. Bahkan semakin berat karena belum bisa menuntut keadilan atas kematian keduanya." Danen mencurahkan semua rasa sakit yang ia rasakan. Melihat orang tuanya terbunuh di depan matanya sendiri. Membuatnya sedikit trauma melihat kematian orang tersayang. Oleh karena itu Danen lebih memilih menyingkir ketika melihat bagaimana hancurnya Aludra saat melihat mama nya. "Apa aku salah jika masih ingin membalas dendam melalui dirinya Max?" Dan Max membalas dengan augan kerasnya. "Kau benar. Ini sudah terlanjur jauh. Aku harus segera menyelesaikan nya. Chandra harus segera mendapat balasannya." Tekat Danen. Lalu bagaimana dengan Aludra?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD