Part 7

2067 Words
***** " E..hem."  Danen tersenyum simpul ketika melihat keterkejutan dari wajah perempuan di depannya. " Sepertinya saya tahu alasan dokter Aludra menolak tawaran saya."  " Apakah saya masih punya urusan dengan anda tuan Danendra? Sepertinya,Tidak." Penekanan kata 'Tidak' yang Aludra ucapkan seolah tak berpengaruh apapun bagi Danen. " Tak sepenuhnya benar, Dokter Aludra. Gaji yang saya tawarkan pasti tidak ada satu persenpun dari ATM berjalan anda."  Dengan santai Danen menunjuk keberadaan Jivar dan Augra dengan dagunya. Raut kemarahan terlihat di wajah Aludra, namun dalam satu detik berganti kecemasan saat Jivar menoleh ke arahnya. Danen tersenyum simpul. Ia memang mengikuti Aludra saat melihat Aludra keluar dari kamar mandi, bertepatan dengan dirinya  yang juga keluar dari kamar mandi.  Danen tahu jika Aludra khawatir apabila Jivar melihat kekasihnya itu berdua denganya. Namun, melihat mimik khawatir di wajah Aludra menjadi kesenangan sendiri baginya. Padahal seharusnya Aludra tak perlu khawatir. Danen berdiri tepat di belakang tiang penyangga sehingga dari arah Jivar pasti hanya terlihat Aludra. " Sa….."  Bunyi tellepon milik Aludra berhasil mengalihkan perhatian Aludra dari pria dihadapannya. Ia menundukkan kepala, menatap pada layar handphone nya yang menyala dan menampakkan id caller sang pemanggil. ' Dokter Tanesya' Danen membaca sekilas nama yang tertera pada layar handphone milik Aludra. Dan kecemasan semakin terlihat jelas ketika Aludra melihat nama si penelpon. " Halo,Dok." “.....” " Bi… bisa." Tubuh Aludra tiba tiba lemas membuatnya hampir terjatuh jika Danen tidak dengan cepat menangkap pinggang gadis tersebut. Entah kabar apa yang membuat perempuan di depannya itu terlihat  se pucat kertas putih yang polos hanya dalam sekejap " Sebaiknya kamu segera kesini, Nak."  Suara dari seberang hanya dijawab dengan anggukan oleh Aludra tanpa sadar. Sedangkan Danen hanya bisa menebak - nebak. Senyum smirk muncul di sudut bibir Danen ketika melihat Aludra bersandar pada  dadanya tanpa gadis itu sadari.  "  Senyaman itukah berada di pelukan saya, Nona Aludra?"  Sadar dengan sindiran pria yang merangkulnya, secepat kilat Aludra melepas diri dari Danen dan melangkahkan kakinya berjalan meninggalkan pria itu. Danen masih memperhatikan Aludra yang berjalan terburu buru menuju meja tempatnya makan bersama Jivar dan Augra. Aludra terlihat mengambil tas miliknya dan pergi tanpa berpamitan pada kedua pria yang berada di meja  tersebut. Perbuatan Aludra  membuat kedua pria berbeda usia itu saling menatap dengan sorot bertanya. Begitu Aludra menghilang dari pintu masuk Restoran, pandangan Danen beralih mengamati keakraban antara Augra dan Jivar. Keakraban yang sangat mengganjal bagi Danen. *****     Suara pukulan samsak terus terdengar nyaring dari arah ruangan latihan milik Danen. Ia terus menerus memukul pria asing tersebut dengan tanpa lelah seolah belum membuat dahaganya hilang. Danen terus memukuli samsak di depannya dengan membabi buta. Tenaganya seolah terisi hanya dengan melayangkan pukulan pada samsaknya.         “ Orang tua macam apa yang mendidik anaknya seperti ini.”     Tangan Danen semakin mengepal dengan sangat kuat mengingat perkataan pria asing tersebut.  Kemudian satu pukulan  yang teramat keras Danen berikan pada samsak di depannya. Membuat semua isi dalam perut pelampiasan Danen tersebut berceceran di lantai.        Bram memasuki ruangan latihan Danen dengan wajah datarnya ketika melihat banyak pasir yang berada di bawah kaki tuannya. Bukan hal baru, karena memang hampir beberapa bulan sekali bosnya itu akan membuat samsak samsak miliknya mengalami hal yang sama. Entah seberapa besar kekuatan Bosnya itu saat marah. Dan Bram tak tertarik untuk mencobanya. Bukan karena takut, lebih tepatnya karena Bram tahu ia memiliki hutang budi yang sangat besar pada Danen, sehingga ia bisa menjadi Bram yang sekarang. Seseorang yang hanya akan patuh pada perintah seorang Danendra Gunadhya.     Merasakan kedatangan Bram, Danen mengambil handuk yang berada di dekatnya dan membersihkan keringat yang berada di wajah dan lehernya. Meminum satu botol air ukuran sedang dengan sekali teguk.      Bram membungkukkan badannya ketika  Danen duduk. “ Maaf atas kelalaian saya, Tuan. Zeus sudah berada di dalam rumahnya. Sedangkan pria tadi ia adalah Satya Pamungkas, Tuan. Pemilik Angkasa Grub yang telah gulung tikar lima hari yang lalu. Ia mengaku bahwa sebelumnya Gunadhya Grup telah mengajaknya bekerja sama dalam proyek Haven House. Namun tiba-tiba Gunadhya Grup membatalkan semua kerja sama pada Angkasa Grup. Pembatalan kerja sama tersebut membuat semua sahamnya turun dan semua investor menarik semua sahamnya dan Angkasa Grup gulung tikar dalam satu hari. Bahkan pihak bank juga menyita semua aset yang milikinya. Dan di hari yang sama pula, anak dan istrinya meninggal dalam kecelakaan mobil.”   Danen merasa kejanggalan dalam informasi yang diberikan Bram. Nama Angkasa Grup saja Danen baru mengetahuinya sekarang, bagaimana  mungkin ia mengajak kerja sama pada perusahaan tersebut. Ia hanya akan bekerja sama dengan perusahaan yang kredibilitasnya tidak perlu di tanyakan kebagusannya. Dan tak sembarang perusahaan bisa menjadi partnernya dalam bisnis.     “ Bagaimana ia bisa tahu tentang kedatangan Zeus hari ini, Bram?"     “Itu yang masih saya selidiki tuan, karena tak ada yang tahu tentang kedatangan Zeus terkecuali kita  dan dokter Faris. Namun Satya sempat mengatakan bahwa ia melakukan semua itu karena setahunya anda  lah orang yang telah merekayasa kecelakaan mobil terhadap putri dan istrinya untuk menutupi hasil kebejatan anda. Yaitu anak yang di kandung putrinya.”            “ Omong kosong apa lagi ini.” Bram hanya bisa tertunduk melihat kemarahan tuannya itu.     Bram memberikan sebuah foto yang memperlihatkan pria yang bernama Satya tersebut dengan seorang yang sangat Danen hafal di luar kepala. Chandra.         “ Sialan, tua bangka itu memang tak tahu malu.” Danen benar benar tak habis pikir dengan  mantan kepercayaan papanya itu. Danen tahu bahwa Chandra masih terus berusaha untuk membangun El Dorado untuk dirinya sendiri dengan harta yang dimiliki orang tuanya. Tak puaskah dengan harta miliknya itu? Dan sekarang memfitnahnya dengan hal klasik.  Danen tak akan mempermudah jalan Chandra. Chandra harus sadar di mana derajatnya berada.         " Apa ada yang harus saya lakukan pada Chandra, Tuan?"     "Tidak. biarkan dia menikmati perbuatannya dulu. Berpura puralah tak terjadi  apapun pada hari ini. Belum saatnya memperlihatkan granat kita. Di mana Satya?"     " Penjara bawah tanah." Danen menganggukkan kepalanya.      "Kau boleh menghukumnya, tetapi jangan membunuhnya. Dan temukan penghianat tersebut dalam waktu 24 jam. Keluarlah!" " Apakah ada yang lain?" Karena Bram yang masih berdiri di tempatnya walaupun Danen sudah menyuruhnya keluar. Danen paham jika masih ada yang ingin Bram sampaikan. " Maaf tuan, tadi sore saya tidak sengaja bertemu dengan Dokter Aludra di rumah sakit Dirgantara.  Dia terlihat berantakan dan saya masih berusaha mencari tahu." Deringan suara handphone pribadi Danen menarik perhatian keduanya. Nomor tidak dikenal?  Tak semua orang tahu nomor pribadinya. Dan selama ini hanya Bram, Dokter Faris dan Aludra. Ia pernah memberikan nomor pribadinya pada Aludra. Entah kenapa Danen melakukannya. Ia sendiri tak tahu.      " Sepertinya tak perlu." Ujarnya dengan sorot geli yang muncul saat tahu siapa yang menghubunginya.  Danen mengangkat panggilan telepon tersebut tanpa sapaan apapun.  "....."        Danen menatap Bram dengan mengangkat satu alisnya ketika hanya kediaman yang Danen terima sesudah ia menerima panggilan dari unknown number itu. Dan Bram hanya terdiam, menunggu. "Sepertinya aku harus mengganti nomer pribadiku bram, semakin banyak orang yang tak di kenal menelpon dengan usil.” “ Ha…. halo.” “ Apakah anda meminta sumbangan? Baiklah, kirimkan saja nomor rekeningnya.” “ Bukan. Ini saya.” “ Saya? Saya Danendra.” Bram hanya tersenyum simpul melihat kelakuan jahil tuannya. Ini pertama kalinya ia melihat seorang Danendra Gunadhya bisa berbuat seusil itu kepada makhluk hidup selain hewan hewan buas peliharaannya. Suara helaan nafas terdengar dari seberang panggilan telepon  yang terdengar membuat Danen tersenyum tipis. “ Ini saya, Tuan Danendra. Dokter Aludra.” “ Dokter Aludra? “ Dengan nada yang di buat  se terkejut mungkin. “ Ada yang bisa saya bantu, Dokter Aludra?”    Keheningan kembali diciptakan oleh Aludra. Membuat Danen sedikit jengah. “Apakah tawaran anda masih berlaku sampai saat ini,  Tuan Danendra?”  Danen melirik arloji mewah yang melingkari pergelangan tangannya dengan indah. Pukul delapan malam. “Saya tunggu anda di kediaman saya dalam waktu satu jam kedepan!”    Tanpa menunggu jawaban dari Aludra, Danen menutup sambungan telfon mereka. ****  Saat jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam tepat seorang penjaga memanggil Danen dari telfon rumah dan mengabari bahwa Aludra sudah memasuki halaman Mansion miliknya.  Lima  menit kemudian Aludra sudah berada di dalam ruang tamu mansion Danen. Perempuan itu tidak pernah melepaskan tatapan kagumnya pada mansion mewah Danen selama pelayan menuntunnya untuk mencapai ruang tamu.  “Apa mansion saya terlihat indah di matamu?”  Mata Danen tak sekalipun lepas dari Aludra  yang terus mengalihkan pandangannya dari satu lukisan ke lukisan  lukisan indah lainnya  yang menempel dengan sempurna di dinding bercat abu-abu miliknya. Ketika tatapan kedua nya bertemu,  Danen dengan mudah bisa melihat kegugupan dalam manik mata hitam legam tersebut. Dengan gaya santainya Danen menatap Aludra dengan satu alis terangkat. Dan hal itu membuat perempuan itu malu bukan kepalang karena perbuatan norak nya diketahui pria itu.   “Memang seindah itu mansion saya, Dokter Aludra yang terhormat.” Ujar Danen dengan menyunggingkan senyum jahilnya. Matanya menatap geli pada Aludra yang menatapnya penuh dengan kegugupan. Entah kenapa, terkadang ketika melihat Aludra  Danen seperti melihat Felix. Kadang menggemaskan namun juga sangat buas secara bersamaan.   Danen mengarahkan tangan kanannya pada sofa biru dongker miliknya. Mempersilakan Aludra untuk duduk. “Anda terlambat tiga puluh menit.” “Maaf, tadi ada sedikit kendala.” Danen duduk pada sofa tunggal yang berada tepat di samping kanan Aludra. Duduk dengan menumpukan kaki kanannya pada kaki kiri dan mengayunkan nya. Dalam hati Danen merasa menang atas apa yang telah dilakukan Aludra sekarang.  “ Sebaiknya langsung saja, anda akan menerima tawaran saya untuk menjadi dokter pribadi hewan hewan-hewan saya. Benar?”  Aludra hanya menjawab dengan angukan.  “ Bram.” Suara tegas nan keras milik Danen menggema dalam ruangan tersebut. Tak berselang lama Bram datang dengan sebuah dokumen di tangannya. “ Baca lah dan jika ada yang kurang anda bisa menambahkannya sekarang.” Bram meletakan dokumen yang di bawanya di atas meja tepat di hadapan Aludra. Dan satu detik kemudian dokumen tersebut sudah berpindah ke tangan Aludra. Wanita di depannya terlihat hanya membaca sejenak. Sangat jelas terburu buru. “ Saya menerima semua syarat kecuali bisakah syarat yang  saya harus tinggal di mansion ini diganti? Tak mungkin saya tinggal di rumah ini sedangkan kita bukanlah orang yang dekat, Tuan Danendra.” “Tidak bisa, saya membutuhkan anda sewaktu-waktu, Dokter Aludra. Apalagi hewan-hewan kesayangan saya. Kita tak akan tahu kapan hewan-hewan saya sakit, walaupun saya akan menjamin semua kesehatan mereka. Ada lagi?”         Suara panggilan masuk pada handphone milik Aludra mengalihkan perhatian keduannya. ‘Jivar ❤’ Danen dapat membaca nama tersebut ketika handphone milik Aludra, perempuan itu keluarkan dari tas selempang yang Aludra kenakan.  Aludra tampak gugup   dan ia pun membiarkan panggilan tersebut sampai mati dengan sendirinya.    “Apa itu ada hubungannya dengan kekasihmu?”  Aludra menggelengkan kepala sebagai jawabannya.  Dan Danen bisa melihat sedikit kebohongan yang  sangat  jelas di mata legam milik Aludra.  “ Ada tambahan lagi?”  Seperti ada keraguan di dalam mata perempuan tersebut. Aludra pun menghela nafas sejenak. “ Soal gaji….bisa kah anda memberikan gaji bulan ini untuk sekarang?” Danen hanya mengangguk anggukan kepalanya mendengar perkataan Aludra. Sesuka itukah Aludra dengan uang? ternyata sesederhana apapun perempuan  mereka tak akan pernah jauh dengan uang.  Danen hampir saja tertawa terbahak ketika mendengar kalimat Aludra tersebut. “ Baiklah. Setelah anda menandatangani dokumen tersebut.”  Perempuan dengan sweater hijau tosca tersebut membuka tas miliknya dan mengobrak-abrik isinya. Tahu dengan apa yang dicari Aludra, Danen pun mengambil pulpen dari laci meja kecil di samping sofa tempat duduknya. Aludra menerima pulpen mahal tersebut dengan wajah yang terlihat malu dan dengan cepat menandatangani dokumen tersebut.  “ Nomor rekening anda, Dokter Aludra.” Aludra menyebutkan nomor rekeningnya miliknya. Beberapa detik kemudian suara notifikasi terdengar dari handphone milik Aludra. Dan seketika mata perempuan itu terbelalak melihat jumlah digit yang  masuk dalam rekeningnya. “ Bukankah ini terlalu banyak, Tuan Danedra?” “ Itu hanya setengah dari gaji anda, Dokter Aludra. Sisanya akan saya beri setelah anda resmi bekerja. Dan saya minta besok anda sudah pindah ke sini dan mulai bekerja.” Aludra hanya diam menanggapi perkataan Danen. Danen menghela nafasnya sejenak. Sudah sepuluh menit yang lalu Aludra meninggalkan mansionnya, namun masih terasa mengganjal  bagi Danen ketika seorang Aludra membahas soal uang. Bukan kah Chandra selalu mengirim uang pada rekening Aludra? Danen tersenyum miring ketika teringat sesuatu. Ah.. ia melupakan satu hal. Like father like daughter. Jika ayahnya suka uang maka tak menjamin anaknya juga tidak suka uang. Dan Danen tak masalah mengeluarkan uang sebanyak apapun yang terpenting balas dendamnya terwujud. Bahkan nominal uang yang ia keluarkan tidak ada apa-apa nya jika dibandingkan dengan nyawa kedua orangtuanya yang direnggut dengan paksa oleh pria bangka sialan itu. Dan sebentar lagi dendam itu akan teksanakan.  ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD