Bab 2

1091 Words
Takdir yang mempertemukan kita itu, apakah suatu pertanda? Pertanda agar aku sadar bahwa membencimu tak ada gunanya. Selatan Faldiano, lulusan S1 dan S2 dari UR. Dipanggil Atan oleh para fans dan Setan oleh para haters. Dia tipikal cowok yang fashionable dan tentu saja pintar. Perjalanan karirnya cukup bagus. Awalnya menjadi asisten dosen dan akhirnya menjadi dosen. Keinginannya yang belum terwujud adalah melanjutkan pendidikan S3 di luar negeri. Merasa tidak ada perkembangan sebagai dosen, ia memutuskan untuk resign dan mencoba pengalaman baru bekerja di perusahaan swasta di Jakarta. Pilihannya jatuh pada Tokokeren. Perusahaan e-commerce yang memberikan tantangan baru dan bukan sekedar yang mengutamakan keuntungan. Tokokeren juga peduli kepada masyarakat dengan program CSR yang berkomitmen. CSR itu semacam tanggung jawab perusahaan dalam menyejahterakan masyarakat yang ada dilingkungannya. CSR yang dilakukan Tokokeren dimulai dari bantuan pendidikan kepada penjual yang berkontribusi besar pada keuntungan perusahaan. Tokokeren peduli pada masyarakat dan berusaha mengikuti jejak CSR dari Starbucks, perusahaan internasional yang punya kepedulian tinggi terhadap petani kopi. Atan, cowok yang masih muda dan ingin terus maju. Tetapi tidak pernah menyingkirkan kepeduliannya terhadap masyarakat. "Sepertinya saya kenal kamu ya?" Trik Atan dalam menempatkan diri sebagai orang yang dikenal bukan orang yang mengenal. "Iya pak. Saya Misa, mahasiswa bapak semester 4." Misa memberikan tangannya untuk berjabat dan Atan membalasnya. Misa masih dalam zona canggung yang luar biasa. Mimik wajahnya dapat dibaca oleh Atan. "Ohh iya iya. Saya ingat, kamu itu yang pernah menemui saya di kantor kan. Trus...." "Iya pak. Iya. Itu saya!" seru Misa dengan wajah seakan menyuruh Atan untuk berhenti melanjutkan kata-katanya. Malu rasanya saat teman sekantor mengetahui bahwa Misa pernah mengulang mata kuliah. "Gue gak nyangka. Jadi Mas Atan dosennya Misa di UR? Dunia sempit ya ternyata." Sesil memandang kearah Misa seakan takjub. Apalagi UR salah satu universitas terbaik di Indonesia. "Tokokeren harusnya bangga ya. Punya staf luar biasa seperti kalian." Pak Tora tiba-tiba datang. Ikut nimbrung diantara staff yang sedang berkumpul di kubikel Misa. "Mas Atan adalah Senior Software Engineer dikantor ini. Artinya Misa akan banyak berdiskusi dengannya untuk setiap task yang diberikan. Saya sebagai leader ikut senang karena kalian sudah saling kenal. Jadi tidak perlu repot-repot membangun chemistry." Pak Tora tertawa. Semuanya tertawa. Sedangkan Misa dan Atan saling melepas pandangan. Wajah Misa diliputi kekhawatiran. Dia harus melihat wajah yang tak ia inginkan itu setiap hari. Sosok dihadapannya mengingatkan masa-masa tragis waktu ia kuliah. Misa mengaku bahwa waktu itu ia memang sedang dalam zona malas dan ogah-ogahan belajar. Nilai yang ia peroleh memang sangat minim dan tidak pantas untuk lulus. Tapi Misa selalu mengerjakan tugas dengan baik. Apakah itu tidak layak untuk dipertimbangkan? Misa melihat Atan yang sangat ramah dan bersahabat kepada seluruh staf. Sangat berbeda dengan sifatnya saat sedang mengajar dikampus. Labil dan tukang nyinyirin mahasiswa. Misa yakin kelakuannya memohon-mohon perbaikan nilai pasti disebarkan ke adik tingkat. "Misa, kalau ada yang sulit tanyakan pada saya." Atan mengatakannya sebelum kembali ke kubikelnya yang berada disebelah kanan pojok dari kubikel Misa. "Baik pak." *** Hari pertama kerja tak sesulit yang dibayangkan. Misa hanya diperkenalkan pada software yang digunakan dan fitur-fitur terkait hal itu. Sudah pukul 17.00 wib tetapi semuanya masih tampak sibuk. Misa melirik kekanan dan kekiri untuk melihat apa yang dikerjakan oleh teman sekantornya itu. Atan memperhatikannya. Atan beranjak dari tempat duduknya. "Misa, kalau mau pulang silahkan saja." "Ah, iya pak." "Kamu tidak perlu menunggu yang lain." "Baik pak. Kalau begitu saya pulang." Atan kembali ke kubikelnya yang memang didesain menghadap para juniornya. Jadi ia dapat dengan jelas memantau siapa saja. Misa mengemasi barang-barangnya untuk segera pulang. *** "Pengen resign!" keluh Misa sambil melemparkan tasnya ke sofa ruang tamu. April yang sedang mencicipi kue buatannya sampai tersendak. April sangat hobi membuat kue. Siapapun pasti mengira ia sudah salah jurusan. Kenapa dia tak mengambil jurusan tata boga saja. Waktu senggang yang banyak membuatnya sibuk di dapur. "What's going on Mi? Kalau lo bilang gak betah kerja karena digosipin atau apa. Plis, itu alasan yang engga banget." April meletakkan segelas air putih dihadapan Misa. Misa langsung meneguknya secara bar bar. "Gue sekantor sama Pak Atan. Not only that, gue setim sama dia." April terbelalak. Informasi itu lebih buruk daripada kabar memperpanjang masa kuliah baginya. Terlebih Misa sangat membenci Atan. Apa jadinya hidup berdampingan dengan orang yang dibenci? Mungkin akan jadi perang atau malah jadi cinta. "Lo masih hidup kan Pril?" "Hah? Iya. Gue cuma kaget aja. Kok bisa sih?" "Dunno." "Tapi gimana dia disana? Masih labil atau gimana?" "He wearing a mask. Ramah banget. Sampai menawarkan bantuan segala ke gua." Misa mempraktekkan gaya Atan menawarkan bantuan padanya. Bagaimana wajah Atan yang sendu dan tenang. Tak seperti dulu, labil dan berapi-api. "Kalau gitu sih gak masalah. Lo tinggal bersikap biasa aja sama dia." "Pril, itu sulit." "Jangan bilang sulit sebelum mencoba. Lagian kalau lo resign baru satu hari apa yang akan dibilang om sama tante. Mereka udah senang saat tahu lo kerja. Nyari kerja lagi butuh waktu Mi." "Itu yang gue pikirin. Tapi gue benci banget sama dia." "Itu tugas lo buat engga membencinya. Lagian Tuhan nyuruh agar tidak membenci sesama kan." "Apa yang disuruh Tuhan itu sulit." "Tapi bukan berarti gak mungkin." Misa diam. Dia tak bisa membantah bahwa apa yang dikatakan April itu benar. Ia segera mandi dan mencoba melupakan nama Atan dari benaknya. Setiap ia mengingat Atan, ia kembali pada keadaan saat itu. Saat dimana Misa menangis dan menelepon mamanya. "Ma, Misa gak lulus. Misa harus ngulang mata kuliah." Misa terisak-isak. Mamanya tentu saja pengertian dan menyuruhnya untuk tidak menangis. Menyemangatinya. Tapi itu adalah kegagalan pertamanya. Kegagalan yang membuatnya merasa bahwa ia tidak berguna. Disekolahkan jauh-jauh tetapi malah menjadi beban. "Makan dulu Mi!" teriak April saat melihat Misa baru selesai mandi. Misa segera berpakaian dan duduk dimeja makan. Makan malam itu tak kalah enak daripada sarapan pagi. Ada sphagetti carbonara dan puding untuk cuci mulut. "Pril, gimana seminarnya?" "Gue udah siap. Tapi harus ngumpulin mahasiswa minimal 20 orang biar bisa langsung seminar. Itu sih yang sulit." "Lo ajak adik kelas yang sekelas dulu aja Pril." "Iya. Maunya gitu Mi. Gue lagi nyari kontaknya. Semoga aja mereka berniat membantu gue." "Jangan sok drama gitu ah. Kalau mereka gak mau laporin ke gue. Gue siap jitakin satu-satu." "Haha. Yang ada lo dijitak balik." Tak butuh waktu lama untuk menghabiskan spageti buatan April. Rasanya yang lezat itu sulit untuk dilewatkan. April berencana membuka restoran jika sudah lulus. Walau kedua orangtuanya belum memberi izin. Orangtuanya adalah satu dari ribuan orangtua yang bangga jika anaknya kerja dikantoran. "Tentang Pak Atan jangan kasih tahu Airin dan Rumi dulu ya. Mereka pasti bakal histeris dan menganggap bahwa lo itu beruntung." "Ya. Gue juga gak berniat buat kasih tahu siapapun kalau gue kerja di Tokokeren."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD