Chandani's LL 5. Arranged Marriage 1

2804 Words
            Ida mengerutkan keningnya, mendengar ucapan cucunya itu. Dia merasa jika cucunya seperti ingin mengatakan sesuatu. Chandani, dia berhenti melangkahkan kakinya. Tubuhnya kini berada tepat di depan Zhain yang lebih tinggi darinya. Chandani tidak berani menatap bola mata Zhain, karena tubuhnya yang hanya sebatas d**a Zhain. Chandani gemetar. Keringat sudah bercucuran di dahinya.             Zhain yang paham bahwa Chandani semakin ketakutan, dia lalu memecah suasana itu. Dia lalu melihat ke arah Lias, yang sedang melihat ke arah mereka. “Pak, Bapak pulanglah. Biar Eyang bersama denganku,” pintanya lalu diangguki iya oleh Lias.             Dia lalu melirik ke arah Chandani, yang berada di depannya. “Ranselmu, biar aku letakkan di bagasi mobil.” Zhain terus berwajah datar.             Chandani mengangguk ragu. Dia lalu melepas ransel dari bahunya. Dan memberikannya pada Zhain dengan sikap takut-takut. “Masuklah dan pasang safety belt mu,” pinta Zhain dan diikuti oleh Chandani.             Chandani lalu masuk ke dalam mobil dan memakai safety beltnya. Zhain menutup pintunya kembali. Dia lalu meletakkan ransel Chandani ke dalam bagasi mobil. Sedangkan Ida, dia tersenyum puas. Dia berharap, ini adalah awal yang baik untuk membentuk hubungan serius antara Chandani dengan cucu semata wayangnya, Zhain. Tidak peduli bagaimana masa lalu dan kondisi Chandani yang sebatang kara. Karena yang ada dihati Ida saat ini, dia percaya bahwa Chandani adalah gadis yang tulus dan penyayang keluarga. Terutama tidak suka mengincar harta dan kekayaan. … Di dalam perjalanan., Chandani gugup karena duduk di sebelah Zhain. Dia merasa tidak enak hati karena sudah mengganti posisi Eyangnya yang seharusnya duduk di sebelah cucunya.             Chandani ingin membuka suara untuk memecah keheningan, tetapi dia merasa ragu dan tidak pantas. “Icha … kamu tahu, Nak? Panggilan kamu itu sama persis seperti panggilan akrab Mamanya Zhain. Iya kan, Zhain?” Ida mencoba memecah keheningan. Sebab dia ingin menjadi penghubung antara cucunya, Zhain dengan Chandani.             Zhain melirik Eyangnya dari kaca spion depan mobil. Dia tahu kalau Eyangnya mencoba untuk membuat akrab antara dirinya dengan Chandani.             Eyangnya lalu melotot ke arahnya hingga Zhain menghela nafasnya pelan. “Iya, Eyang.” Zhain hanya menjawab singkat. Dia mengerti jika Eyangnya menyuruh dirinya untuk akrab dengan gadis yang duduk di sebelahnya saat ini.             Chandani yang mendengarnya semakin tidak enak hati. Dia merasa sudah tidak nyaman duduk di sebelah Zhain. Dia pun mencoba untuk tetap tenang dan menyambung pembicaraan Ida. “Sama-sama dipanggil Icha ya, Eyang ?” Tanya Chandani sedikit grogi karena takut salah bicara. “Iya, Nak. Nama Mamanya Zhain, Arisha Cantara. Tapi panggilan akrabnya juga Ica,” jelas Ida sambil tersenyum.             Zhain hanya diam mendengar perbincangan mereka disepanjang jalan. Dia fokus pada jalanan sambil mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. *** Rumah Zhakaria Afnan, Jakarta., Malam hari.,             Mereka sudah sampai di depan rumah yang terlihat seperti mansion. Sangat luas sekali. Dari depan pintu gerbang utama, terlihat begitu banyak cahaya putih menghiasi pekarangan mansion bak istana itu.             Seorang laki-laki yang diperkirakan seperti satpam itu lalu membuka pintu gerbangnya. Agar mobil mewah yang dibawa Zhain bisa masuk ke dalamnya.             Mobil itu lalu mengitari pekarangan yang sangat luas dan indah itu, karena terdapat banyak lampu warna warni menghiasi kebun bunga di area itu.             Chandani memandang takjub kebun yang sangat indah itu. Walau sudah malam, warna bunga-bunga disana tetap terlihat indah walau tidak terlihat dari jarak dekat. Mungkin karena cahaya-cahaya yang ada disana, pikirnya.             Zhain, dia melirik sekilas Chandani. Wajah sendu dan senyuman manisnya, entah kenapa mampu membuat sudut bibir kanannya terangkat ke atas. Seakan ikut bahagia dengan perasaan gadis bernama asli Chandani Oyuri itu. … “Icha, kita sudah sampai. Lihat, mereka sudah menunggu kita di depan pintu.” Ida mengarahkan pandangan Chandani ke depan rumah mereka. Karena pasalnya sudah ada sang pemilik rumah di depan sana.             Mobil mereka berhenti tepat di depan pintu utama rumah yang besar itu. seorang pria yang sudah berada disana, dia segera berlari membukakan pintu untuk Zhain.             Pria itu, yang tak lain adalah Lias. Dia membuka pintu mobil untuk Zhain. Dia lalu berlari untuk membuka pintu mobil untuk Ida. Chandani masih diam dalam duduknya. Dia berpikir sejenak, apakah dia akan menginap di rumah bak istana ini atau tidak. Melihat betapa megahnya rumah ini, membuat Chandani menjadi tidak yakin. Zhain yang hendak turun dari mobil, masih melihat Chandani yang hanya diam dan melamun. “Apa kau akan diam saja disitu?” tanya Zhain bersuara dingin dengan wajah datarnya. “Hah?” Chandani spontan melongo menatap Zhain.             Chandani lalu tersadar, dia segera membuka sabuk pengamannya. Dia bingung, turun atau tetap berada di mobil.             Sedangkan Zhain berlari ke pintu mobil sang Eyang. Tapi ternyata Mamanya, Arisha sudah membantunya turun.  Papa Zhain, Zhakaria mengernyitkan keningnya saat melihat seorang gadis turun dari mobil mereka. Arisha memandang gadis yang ada di depannya saat ini. Deg!! Arisha merasa wajah gadis di depannya saat ini, sangat familiar dan tidak asing baginya. Dia merasa pernah berjumpa dengan gadis ini. Tapi dimana, pikirnya bertanya-tanya. Kemudian dia mulai dengan pikiran logikanya bahwa gadis di hadapannya saat ini hanya seorang gadis lugu yang berpakaian lusuh. Dia mulai melihat gadis itu dengan tatapan tidak sukanya. Chandani, dia lalu memberanikan diri mendongakkan kepalanya. Deg!!             Chandani mulai mengingat sesuatu. Wajah seorang wanita yang ada dihadapannya saat ini sangat dia kenali. ‘Bukankah ibu ini?’ bathin Chandani mulai mengingat seorang ibu yang menjadi korban tabrak lari beberapa waktu lalu. Dia terdiam karena tatapan tajam dari mereka semua. Chandani yang dipandang lekat merasa risih dan seperti mau berlari keluar dari halaman rumah mereka. “Mari kita masuk dulu ke dalam. Aku akan menjelaskan kepada kalian, siapa gadis ini.” Ida mulai memecah keheningan. Lalu Arisha, dia menuntunnya masuk ke dalam. Sedangkan Zhain, dia sibuk membuka bagasi mobil, dan membawa ransel milik Chandani. … Ruang keluarga.,             Saat ini mereka semua sudah berada di ruang santai keluarga sambil menikmati minuman dan beberapa cemilan yang sudah disediakan oleh pembantu rumah tangga keluarga Zhakaria Afnan, Bi Atik dan Bi Susi.             Ida menceritakan awal pertemuannya dengan Chandani. Sedangkan Chandani, dia hanya diam saja duduk disebelah Ida.             Arisha menatap Chandani, dengan wajah semakin tidak suka. Pasalnya dia melihat Mama mertuanya sangat dekat sekali dengan Chandani seperti sudah lama sekali kenal. Dulu, saat berjumpa dengan Mama mertuanya pertama kali saja, Arisha harus melewati banyak rintangan. Bahkan tidak diajak berbicara walau sudah sering bertamu ke rumah ini. Sedangkan dia, baru jumpa dan belum 24 jam kenal saja sudah seakrab ini bagaikan Eyang dan cucunya, pikir Arisha.             Arisha memiliki firasat tidak enak tentang perlakuan Mama mertuanya, Ida terhadap Chandani. Dia merasa kalau Mama mertuanya akan menjodohkan Chandani dengan putra satu-satunya itu.             Sungguh Arisha sangat tidak setuju, jika anak semata wayangnya harus menikah dengan gadis yang asal usulnnya tidak jelas. Apalagi gadis tersebut adalah gadis biasa yang hanya tamatan SMA. Arisha akan sangat malu kepada seluruh keluarga besarnya dan teman-teman arisannya. Kalau sampai mereka tahu bahwa Zhain menikah dengan gadis yang tidak berkelas. Dia benar-benar tidak mengharapkan memiliki menantu yang tidak berpendidikan seperti Chandani. Lainnya halnya dengan Zhaka. Zhaka bersikap welcome terhadap Chandani. Bahkan dia juga merasa iba terhadap Chandani. Nasib hidup Chandani, yang sudah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya sejak usia 9 tahun. Dan Zhain, dia pura-pura tidak peduli dan fokus pada ponselnya. Padahal dia tentu saja mendengar pembicaraan mereka sedari tadi. “Saya jadi bingung. Mamanya Zhain juga disapa Ica. Dan kamu juga Icha. Gimana enaknya manggil kamu ya supaya bisa membedakannya,” ujar Zhaka tertawa pelan seraya bercanda. “Untuk apa dibedakan, Pa? Besok dia juga akan balik ke kampung halamannya. Dia juga tidak akan tinggal disini. Benarkan begitu, Chandani?” tanya Arisha tegas, seraya memberi kode pada Chandani, bahwa dia harus mengerti posisinya yang hanya tamu di rumah ini.             Chandani terkesiap. Dan langsung menjawabnya. “I-iya, Bu. Besok saya akan balik ke Medan,” jawab Chandani seraya takut-takut, tersenyum kecut. Dia pun mengerti bahwa Arisha merasa terganggu dengan kehadirannya di rumah ini. “Tapi kamu lebih cocok dipanggil Chandani, Nak Icha. Nama asli kamu cantik. Chandani Oyuri,” ujar Ida mengelus pelan punggung Chandani.             Arisha menatap sinis Chandani yang diperlakukan sangat lembut oleh Mama mertuanya yang terkenal galak dan susah diluluhkan itu. “Chandani Oyuri. Nama kamu secantik wajahmu, Nak.” Zhaka ikut memuji Chandani.             Chandani tersenyum kikuk sambil memainkan kedua tangannya. “Terkadang wajah bisa menipu banyak orang. Banyak manusia yang hatinya tidak secantik wajahnya,” ujar Arisha menyindir dan direspon tatapan tajam oleh suaminya, Zhaka. Zhain melirik sekilas ke arah Mamanya dan Chandani. Lalu dia beralih fokus ke ponselnya kembali. Dia sendiri pun tahu kenapa. Sejak dia berjumpa dengan Chandani, wanita itu selalu bersikap kaku dan grogi. Dia juga menyadari kalau Mamanya juga tidak menyukai Chandani sejak awal gadis itu menginjakkan kaki di rumah mereka. “Jadi, Chandani. Dimana rumah sahabat almarhum orang tua kamu, Nak?” tanya Zhaka bersuara lembut.             Arisha menatap suaminya dengan wajah tidak suka. Karena suaminya berbicara lembut pada Chandani sedari tadi. “Eumh, rumah keluarga angkat saya di Jalan Ketaren Dusun II, Pak. Dekat pasar minggu,” jawab Chandani sedikit menundukkan wajahnya ke bawah. “Oh, iya saya tahu itu.” Zhaka mengangguk kecil seraya paham. “Dekat dengan supir baru keluarga Santoso kan, Zhaka?” tanya Ida pada anaknya, Zhaka. “Iya, Ma. Supir baru Santoso, rumahnya di dekat situ juga.” Zhaka tersenyum ke arah Chandani. Entah kenapa, Zhaka merasa jika Mamanya sangat menyukai gadis ini. Dia memiliki firasat jika gadis ini akan dijodohkan oleh putranya, Zhain. “Jadi, kamu besok benar akan balik ke Medan, bukan?” tanya Arisha lagi seraya menegaskan. Karena dia tidak akan suka jika Icha yang mereka panggil Chandani itu ikut tinggal di rumah mereka.             Ida masih tersenyum menatap Chandani. Dia tahu Chandani grogi dan merasa tidak nyaman, maka dari itu dia tidak memperdulikan pertanyaan menantunya Arisha. Dia tahu kalau Arisha tidak menyukai Chandani dan belum bisa menerimanya. Dia paham karakter menantu satu-satunya itu. “Nak, mulai sekarang nama kamu Chandani. Kami akan panggil kamu Chandani,” ujar Ida menatapnya dengan senyuman tulusnya.             Arisha mengernyitkan keningnya. Dia berusaha menelaah ucapan sang Mama mertuanya. Dia pikir, apakah Mama mertuanya akan menyuruh Chandani untuk tinggal di rumah mereka atau akan dijodohkan oleh putranya? Sungguh untuk kedua pilihan itu, Arisha tidak akan pernah sudi untuk memilihnya. “Ma, besok dia akan pergi dari rumah ini. Kenapa Mama harus repot-repot berkata seperti itu?” Arisha tetap bersuara lembut, menolak ucapan Mama mertuanya barusan.             Zhain melirik sekilas ke arah sang Mama, Arisha. Dia sedikit tidak enak hati jika sang Mama bersikap seperti itu di hadapan Chandani. Walau dia sendiri juga tidak mau tahu apapun mengenai gadis itu.             Sedangkan Zhaka, dia sudah merasa kalau istrinya semakin menunjukkan rasa tidak sukanya itu di hadapan Chandani. Dia juga tahu, kalau sejak awal Arisha memang memandang Chandani dengan ekspresi menolak. “Iya, Ica. Tapi entah kenapa Mama pikir, kalau Chandani sangat cocok menjadi cucu menantu Mama.” Ida mengusap lembut rambut panjang Chandani, melirik cucunya, Zhain. Deg!             Yah! Icha bukan lagi Icha. Tapi panggilannya sekarang adalah Chandani. Sesuai dengan nama aslinya.             Chandani lalu menatap Ida dengan tatapan tak percaya. Dia kaget dengan ucapan Eyang Zhain itu. Sedangkan Arisha, dia melongo dan menggelengkan pelan kepalanya seraya tidak menerima. Bagaimana mungkin Mama mertunya bisa membuat keputusan secepat itu, pikirnya. Zhaka, dia langsung mengulum senyumnya. Karena dia juga merasa kalau Chandani adalah gadis baik-baik. Dia juga tidak mempermasalahkan masa lalu dan asal-usul Chandani. Dan dia juga tidak akan malu jika memang takdir mengatakan bahwa Chandani akan menjadi menantunya.             Tetapi yang saat ini dia pikirkan adalah apakah Zhain, putranya mau menerima Chandani sebagai istrinya. Pasalnya putranya itu tidak suka dengan sistem perjodohan. Apalagi jika berbicara soal hati. Sudah pasti akan sulit bagi putranya untuk bisa menerima Chandani dengan cepat, terutama ini soal pernikahan. Dia yakin anaknya Zhain pasti akan menolak perjodohan ini mentah-mentah.             Ida lalu menatap cucunya, Zhain yang masih terus sibuk dengan ponselnya itu. “Zhain, apa kau mau jika Eyang jodohkan kamu dengan Chandani?” tanya Ida dengan nada lembut kepada cucu satu-satunya itu.             Zhain terdiam. Dia sungguh ingin menolak perjodohan ini. Tapi melihat karakter Eyangnya yang sangat susah untuk diluluhkan hatinya itu. Dia pun angkat bicara. “Kalau Eyang merasa dia yang terbaik untuk Zhain, ya sudah.” Zhain pasrah melirik sekilas menatap Chandani, lalu kembali menatap ponselnya.             Ida tersenyum puas dengan jawaban cucunya itu. Dia sangat paham siapa Zhain, bahwa cucunya itu tidak akan pernah menolak ucapannya. Dia juga tahu, Zhain terpaksa mengiyakan ucapannya. Walau sebenarnya dia ingin menentang perjodohan darinya. Tapi Ida yakin Chandani adalah gadis yang baik dan penyayang keluarga, sangat pantas untuk menjadi istri cucu satu-satunya, Zhain yang super sibuk. Zhain mencoba untuk menghindar dengan keadaan. “Zhain permisi ke atas dulu. Sudah gerah dan ingin mandi,” ujar Zhain seraya menjelaskan alasannya pergi dari hadapan mereka karena dia tidak mau membuat Chandani merasa tidak enak hati.             Zhain lalu berjalan menuju tangga lantai dua. Dia tidak menghiraukan mereka yang masih berbicara disana.             Selang beberapa menit, Arisha langsung berdiri dan pergi dari hadapan mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi.             Chandani lalu melirik ke arah Arisha. Dia lalu menundukkan kepalanya lagi, tidak berani membuka suaranya.             Zhaka melihat sikap Chandani dengan perasaan iba. Dia kembali membuka suaranya. “Chandani? Kenapa kamu selalu menundukkan pandanganmu, Nak? Angkat wajahmu,” pinta Zhaka lembut seraya menghilangkan rasa canggung Chandani. “E-enggak apa-apa, Pak.” Chandani sedikit terbata dengan perasaan sungkan.             Zhaka tersenyum. Karena bahasa Chandani sangat kaku dan dia sedikit geli, pasalnya Chandani menyebutnya dengan panggilan Bapak. “Nak, kamu panggil Zhaka dengan sebutan Papa aja. Tidak masalah, Zhaka?” tanya Ida meminta persetujuan sang putra, dia masih terus menatap lembut ke arah Chandani. “Iya, Chandani. Papa tidak masalah kalau kamu panggil saya Papa. Supaya kamu terbiasa,” balas Zhaka seraya meyakinkan Chandani. “Ta-tapi, Pak? Eyang? Bukannya saya mau membantah—” Chandani mulai memberanikan dirinya untuk berbicara. “Tapi kalian baru mengenal saya. Saya juga tidak memiliki keluarga.”             Ida dan Zhaka menatap lekat Chandani. Hingga tatapan mereka direspon gugup oleh wanita berdarah campuran itu. “Mak-maksud saya … saya tidak pantas menjadi bagian dari keluarga ini. Dan … dan lagi saya tidak pantas menikah dengan Pak Zhain, Pak,” jelas Chandani kembali menundukkan pandangannya, tersenyum kikuk.             Ida dan Zhaka saling melirik satu sama lain. Mereka paham kalau keadaan ini terlalu cepat baginya.             Zhaka lalu memecahkan rasa khawatir di hati Chandani. “Ya sudah kamu istirahat saja dulu. Tapi—” Zhaka lalu berdiri sambil melirik ke arah dapur.             Ida yang melihat Zhaka lalu mengerti, dia lalu berdiri dari duduknya sambil memegang tangan Chandani. “Chandani tidur sama Eyang malam ini ya, Nak?” Ida tersenyum lembut menatap Chandani. “Ta-tapi Eyang?” Chandani ingin sekali menolak permintaan mereka, tapi kenapa rasanya ia tidak sanggup. “Iya, Chandani. Kamar tamu belum dibersihkan oleh Bi Atik dan Bi Susi. Besok, Papa akan menyuruh mereka menyiapkan kamar itu buat kamu.” Zhaka menegaskan. “Jangan! Masa calon cucu menantuku harus tidur dikamar tamu. Biar Chandani tidur sama Eyang, sampai dia menikah dengan Zhain. Gak apa-apa kan, Sayang?” tanya Ida lembut padanya.             Chandani menahan rona diwajahnya jika sudah menyinggung soal pernikahannya dengan Zhain. Dia sendiri pun tak yakin, apakah akan menerima perjodohan ini atau tidak. Dia merasa tidak pantas. Dia sadar dirinya hanyalah gadis yatim piatu yang tidak berpendidikan tinggi, bahkan hanya berasal dari kalangan biasa-biasa saja yang tidak memiliki tempat tinggal.             Mereka lalu masuk ke kamar mereka masing-masing. Sedangkan Chandani mengikuti Ida sampai di kamarnya. Ida lalu membuka pintu kamar, dan terlihat ruangan yang simple dengan barang-barang yang terbuat dari kayu mahoni asli.             Chandani memandang takjub. Ruangan kamar tidur yang luas baginya. Terlihat nyaman sekali. Dia lalu meletakkan ranselnya di lantai.             Ida lalu berjalan ke arah lemari khusus selimut tidurnya. “Nak, kesinilah. Pilih warna selimut mana yang kamu suka,” ujar Ida dan Chandani hanya diam menatap ke arah lemari itu. “Hmm … yang ini saja, Eyang.” Chandani memilih selimut berwarna pink. “Ya sudah. Kamu sikat gigi dulu ya. Disitu kamar mandinya atau mari kita sikat gigi sama-sama,” tawar Ida dan diangguki iya oleh Chandani.             Setelah mereka selesai dengan acara sebelum tidur mereka. Chandani sempat pamit untuk ke dapur sebentar. Dia haus, ingin mengambil air minum. Tapi Ida mencegahnya. Ida hendak menelepon salah satu pembantunya agar membawa minuman ke kamar mereka, tapi Chandani melarangnya dengan alasan tidak ingin mengganggu waktu istirahat mereka. Akhirnya Ida pun mengizinkan Chandani untuk ke dapur mengambil minumnya sendiri.             Chandani menuruni anak tangga yang sangat megah itu. Dia melihat seisi rumah yang penuh dengan barang-barang mahal. Dia celingak-celinguk mencari letak dapur.             Saat dia memasuki ruangan dapur. Dia sempat bingung mencari saklar lampu. Sebab seluruh ruangan bercahayakan remang-remang. Hanya diberi lampu seadanya di setiap sudut ruangan.             Chandani yang tidak ingin berlama-lama di dapur, akhirnya mengambil gelas di dalam lemari khusus gelas kaca. Dia lalu mengambil air putih biasa pada dispenser yang sudah tersedia.             Saat dia sedang minum. Suara itu membuatnya terkejut. “Pelet apa yang kau pakai sampai bisa meluluhkan hatinya, huh?” tanya seseorang yang berada disudut kamar mandi dapur.             Chandani tersedak, lalu menatap ke sumber suara. Deg!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD