02 | Pesta Menuju Hari Baru

2218 Words
Gahar melepas maskernya dan membuangnya dengan kasar, membebaskan pernapasannya dari halangan. Napasnya naik turun menatap bangunan Guna Mart yang saat ini dapat digambarkan hanya dengan satu kata yaitu, kacau. Semuanya. Kacau semua. Rasa-rasanya Gahar ingin memecat semua karyawan lalu membakar seluruh gedung dan isinya. Akan jauh lebih mudah membuat kapal dari nol, daripada harus memperbaiki kapal yang hampir karam. Ada terlalu banyak lubang tersebar di segala sisi sementara Gahar hanya dibekali dua tangan kosong untuk memperbaiki. Sungguh Gahar tidak tahu harus mulai memperbaikinya dari mana. Priska, alias kakaknya, alias nenek lampir, kebetulan sekali menelepon tepat saat Gahar akan menghidupkan mesin mobil. Nenek Lampir ini sengaja memberi Gahar misi tidak mungkin untuk membuat Gahar tampak buruk sehingga dinilai tidk pantas menjadi pewaris utama. “Gue dengar, ada yang nggak sabar kerja nih,” ujar Priska kental sekali dengan nada mengejek. “Wow, terima kasih perhatiannya,” desah Gahar, menjawab dengan malas-malasan. “Nggak perlu terima kasih, udah tugas gue sebagai kakak perhatian ke adiknya.” Gahar mendengus keras, Priska pasti sedang bercanda. Alih-alih sebagai kakak yang peduli, perhatian Priska selama ini lebih ke mengawasi. Semacam, ‘apa lagi yang sedang bocah ingusan itu lakukan?’. Hal itu tentu tidak berlangsung sejak Gahar lahir. Jujur saja, Gahar tidak ingat kapan tepatnya sikap Priska berubah jadi begitu antipati terhadapnya. Gahar punya masa kecil indah, dan  Priska menjadi bagian kenangan indah tersebut. Gahar, Priska, dan Prisil tumbuh bersama seperti saudara kandung pada umumnya yang rukun dan kompak. Namun, makin dewasa, perlahan semuanya berubah. Tak seperti Prisil yang sangat kalem, sering sekali memprotes kedua orangtua mereka, menganggap mereka selalu lebih mementingkan Gahar daripada dirinya dan Prisil hanya karena dia anak laki-laki satu-satunya di keluarga Gunawan. Ya, seingat Gahar dimulai dari situlah awal mula hubungan hate-care anatara dirinya dan sang kakak sulung, Priska Gunawan. “Beruntung banget gue punya Kakak mengawasi kegiatan adiknya kayak lo,” balas Gahar sinis. Tawa renyah Priska terdengar menyakiti gendang telinga Gahar. “Gimana? Masih ada waktu kalau mau nyerah.” Bibir Gahar menipis menahan geraman. Gahar berusaha keras untuk menampilkan sikap dewasa yaitu selalu tenang. Tetapi, Gahar tidak bisa, ujung-ujungnya emosinya meledak juga. “NGGAK AKAN. GUE NGGAK AKAN NYERAH!” teriak Gahar, sejurus kemudian mematikan sambungan teleponnya. Gahar berteriak melampiaskan emosi, membuat suara teriakannya memenuhi seluruh penjuru ruang mobil yang tak seberapa luas. Napas Gahar masih naik turun, belum sepenuhnya bisa menguasai emosi, ketika telepon lain masuk. Gahar langsung menjawabnya lantaran telepon itu dari Adit, salah satu temannya yang merupakan warga lokal Bali. Setiap kali Gahar liburan ke Bali yang mana itu bisa sebulan dua kali, Gahar pasti menyempatkan berpesta dengan teman-temannya yang ada di sini. “Woy, Har. Udah di Bali, kan? Gimana nanti malam mau ikut, nggak?” ujar Adit langsung pada inti, begitu Gahar mengucap kata ‘halo’ sebagai penanda telepon telah diangkat. Gahar memijit pelipis, entah mengapa ajakan Adit tak terdengar semenarik biasanya. Tadi rencananya ia akan langsung kembali ke hotel untuk mulai memetakan masalah yang tadi ditemukannya sambil memeriksa kembali laporan kinerja cabang agar segera bisa menyusun rencana kerja. Gahar mendesah, bukankah pesta adalah hal yang ia butuhkan sekarang untuk melepas stres-nya saat ini? Siapa tahu setelah dance, minum alkohol, dan mungkin sedikit sesi make out bisa membuat pikirannya lebih jernih sehingga keesokan harinya ia siap bertempur di medan perang. “Oke, deh. Di mana jadinya?” sambut Gahar tanpa pikir dua kali. Lupakan sejenak Gunamart sebab perjalanannya di sana masih sangat panjang. *** Puspa berjalan tergesa-gesa menuju ruang loker karyawan usai men-tap kartu karyawannya untuk menyatatkan jam kepulangan yang secara ajaib hari ini pas sesuai jadwal kerja semestinya. Itupun setelah ia memohon-mohon dan diomeli oleh managernya. Puspa menelan itu semua lantaran ia sungguh harus pulang segera. Tadi pagi ia meninggalkan Nando, kekasih yang telah dikencaninya selama 5 bulan itu sakit sendirian di kost. Sejak santer terdengar isu kebangkrutan Gunamart, pulang on time nyaris tidak pernah dirasakan lagi. Demi loyalitas pada perusahaan, semua karyawan dipaksa mau jam pulangnya mundur entah belasan menit, puluhan menit, atau bahkan hitungan jam. Maka tak heran satu per satu karyawan mengundurkan diri dan pihak HRD sama sekali tidak membuka lowongan untuk mencari pengganti sehingga karyawan yang bertahan makin yakin bahwa Gunamart memang terancam karam dan mereka merasa perlu buru-buru menyelamatkan diri sebelum tenggelam bersama supermarket ini. Puspa menjadi salah satu yang masih bertahan meski beberapa temannya sudah mengajak dengan menakut-nakuti dan memberi informasi lowongan pekerjaan lain. Tadinya Puspa juga ingin berencana resign, tapi tak jadi setelah pihak manajemen memeberinya bocoran bahwa manager toko yag sekarang akan diganti oleh store manajer baru yang langsung ditugaskan dari kator pusat Gunamart di Jakarta. Hal itu memberi semacam harapan baru bagi Puspa. Ia berharap di bawah kepemimpinan manager toko yang baru, Gunamart tempatnya bekerja selama 7 tahun ini bisa berjaya kembali. Ya, Puspa akan bertahan. Lagipula, ia seperti punya ikatan sendiri dengan Gunamart sehingga berat meninggalkannya. Dulu, di saat teman-temannya sibuk merencanakan mau kuliah di mana, Puspa sudah menetapkan tujuan mau kerja di mana. Puspa mengikuti jejak mendiang kedua orang tuanya yang semasa hidup dulu mengabdi di Gunamart. Meski sebenarnya ia mampu-mampu saja untuk melanjutkan jenjang pendidikan hingga sarjana, Puspa memutuskan untuk langsung kerja saja. Jika ditanya alasannya apa, maka tidak ada alasan. Puspa hanya sudah capek belajar. Lupakan soal Gunamart, usai mengambil barang-barangnya di loker, Puspa lantas keluar meninggalkan kantor sambil berlari-lari kecil menuju tempat parkir. Saking tidak sabarnya ingin pulang, Puspa sampai menahan kebelet kencing. Dalam perjalanan pulang, Puspa sempat mempir ke sebuah warung langganan untuk membeli soto daging sapi mereka yang sangat disukai Nando. Nando pasti sangat terkejut lantaran ia bisa pulang lebih awal setelah tadi sempat mengabari bahwa ia mungkin tidak mendapat izin pulang tepat waktu. Nando sudah menempati tempat kost ini cukup lama sementara Puspa belum lama di sini. Iya, mereka memutuskan tinggal bersama sejak dua bulan lalu dengan pertimbangan agar mudah saling bertemu. Lagipula, mereka sudah sama-sama dewasa dan hal semacam ini sudah sangat lumrah di lingkungan mereka. “Sayang,” seru Puspa begitu membuka pintu. “Puspa!” Puspa terkekeh geli lantaran dugaannya tepat, Nando sampai melompat bangun dari rebahannya saat Puspa masuk tadi. Wajahnya sangat tegang pucat, kedua matanya melotot, persis seperti sedang melihat hantu. “Kejutan banget, ya, karena aku udah pulang?” goda Puspa, menikmati raut lucu Nando. “K—katanya tadi baru pulang jam 6?” “Aku nggak ambil istirahat sama berantem sedikit sama manager aku karena aku nggak tenangan ninggalin kamu sakit-sakit begini,” jawab Puspa sembari menaruh semua barang-barang bawaannya—tas dan plastik makanan, lalu menghampiri Nando di ranjang. “Masih demam?” Tangan Puspa terumur menyentuh kening Nando. “E—udah enggak.” Nando menepis pelan tangan Puspa. Puspa menghela napas lega karena demam Nando ternyata sudah benar-benar turun. Namun ada sesuatu yang membuatnya mengerutkan kening, yaitu sorot mata Nando yang bergerak-gerak tak fokus seperti orang kebingungan. “Kamu beneran udah nggak apa-apa, Yang?” tanya Puspa memastikan. “Kamu habis minum obatnya?” tanya Puspa lagi lantaran kulit Nando sangat dingin serta muncul keringat di pelipisnya. “I—iya.” “Syukurlah, aku lega sekarang. Tadinya kalau demam kamu belum turun, aku mau bawa kamu ke dokter,” celoteh Puspa. “Oh, ya, lapar, nggak? Aku beli soto daging. Aku siapin sekarang, ya, tapi aku mau kencing dulu—“ Gerak Puspa ditahan oleh Nando. “Aku lagi nggak ingin makan daging sapi. Gimana kalau kita cari nasi campur aja?” “Enggak, kamu masih sakit. Jangan makan yang terlalu berbumbu dan berminyak.” “Kalau gitu bakso aja,” tawar Nando. “Kataya lagi nggak ingin makan daging sapi. Kamu kan nggak suka bakso ayam.” “Ehm …,” bola mata Nando berputar seolah-olah sedang berpikir, dan hal itu memancing kernyitan di dahu Puspa. “Ayo makan apa aja, deh, asal di luar. Kamu yang pilih. Aku lagi ingin cari udara segar.” Puspa menegakkan badan, menatap Nando penuh selidik. “Kamu aneh banget, Yang. Ini nggak mungkin efek dari demammu itu, kan?” “ehm … kayaknya ….” Jawaban ragu-ragu Nando malah membuatnya makin terlihat aneh. Sejurus kemudian terdengar benda terjatuh dari arah dalam kamar mandi, di saat yang sama pula tanpa sengaja pandangan Puspa menangkap sebuah objek di sebelah bantal yaitu ponsel yang jelas bukan miliknya atau milik Nando. Menyadari arah pandang Puspa, dengan gerakan halus Nando menggeser bantal berusaha menutupinya. Lelaki itu tak sadar bahwa tindakannya sia-sia karena Puspa bahkan meneenali ponsel milik siapa itu. “Kenapa handphone Selly ada di situ?” tanya Puspa dingin penuh kewaspadaan. “Hah? Apa? ….” Puspa menghela napas, sungguh akting yang sangat buruk. Mengikuti insting, Puspa beranjak dari posisinya dan menuju kamar mandi. “Yang, kamu mau ngapain? Katanya mau makan—“ “Lepas.” Puspa menepis cekalan Nando, hendak melarangnya ke kamar mandi. Tepat sebelum tangan Puspa meraih handle pintu, pintu di depannya lebih dulu dibuka dari dalam. Menampakkan sosok gadis berambut cokelat yang tak lain adalah Selly, si pemilik ponsel tadi, sekaligus tetangga yang tinggal persis di sebelah kamarnya. “Yang, kamu jangan mikir yang aneh-aneh, ya? Selly di sini cuma numpang ke kamar mandi karena air di kamarnya mampet.” Puspa memejam sesaat, tak habis pikir betapa bodohnya Nando. “Kalau air di kamar mandi dia mati, berati di sini juga mati.” “Maksud aku, saluran pembuangannya mapet—“ “Nando, sudah!” bentak Puspa hilang kendali. Ditatapnya Nando dan Selly bergantian, Nando kelihatan pucat sementara Selly terbilang cukup tenang. Puspa bukan anak polos kemarin sore, memangnya apa yang kira-kira dilakukan dua orang dewasa dalam kamar dengan si pria yang hanya pakai bokser tipis tanpa atasan, dan si wanita memakai daster rumahan dengan kunung kembar bentuk kerucut tanpa ditopang bra. Puspa menghela napas. Bisa-bisanya di umur 25 tahun ia diselingkuhi. Dua kali. “Yang … aku bisa jelasin.” “Diam,” desis Puspa dalam. Pikirannya saat ini kosong, perasaanya masih belum jelas. Namun ada satu yang sudah jelas, yakni Puspa merasa sangat terhina. Ditatapnya wajah Selly yang masih berdiri di ambang pintu kamar mandi. Apa sebenarnya yang Nando lihat dari dia? Izinkan Puspa body shamming sekali saja. Secara wajah, Puspa lebih ayu. Badannya putih dan langsing walau tak terlalu tinggi. Untuk masalah pekerjaan, Puspa sedikit lebih baik karena memiliki pekerjaan tetap meskipun gaji tidak banyak. Sedangkan Selly belum lama ini Puspa dengar dia keluar dari pekerjaannya dan sekarang masih cari-cari kerja. Jika berpacu pada standar mainstream orang Indonesia, Puspa jelas lebih cantik dari dia.  Paling-paling menang tetenya yang lebih besar dari punya Puspa. "Minggir," kata Puspa dingin. Lihat, selain jelek ternyata juga susah konek. Bukannya menyingkir Selly tidak bergerak. "Minggir, aku mau kencing. Ck," decak Puspa menggeser badan Selly sehingga tercipta celah untuk masuk ke kamar mandi. Puspa menutp pintu tepat di depan muka kedua orang itu. Perasaan ia menutupnya tanpa tenaga, tapi bagaimana pintu itu menimbulkan suara debaman seperti dibanting. Masih dengan pikiran setengah kosong, dengan santai Puspa menurunkan celana dan duduk di closet untuk kencing. Sialan, Puspa menyakiti kandung kemihnya dengan menahan kencing sekitar 40 menit dari tempat kerja ke kost hanya untuk memergoki pacarnya selingkuh. Gila saja, setelah semua yang Puspa sudah beri dan Nando masih merasa tak cukup juga? Sudah cukup bagi Puspa. Ia tidak akan membiarkan dirinya lebih lama terjebak dengan sampah di kandang sampah ini. Menyelesaikan hajat biologisnya, Puspa keluar dari kamar mandi. Di kamar tinggal Nando sendirian, Selly sepertinya sudah balik ke kamarnya sendiri. "Yang, aku jelasin dulu ya?" "Nggak perlu. Aku mau putus." "Aku nggak mau putus!" Puspa melirik Nando dan mendengus sinis. "Basi banget, sih. Ketahuan selingkuh tapi sok paling ingin mempertahankan." Tak tahan lama-lama seruangan dengan Nolan, dengan cepat Puspa meraih tasnya dan keluar kamar meski Nando masih berlagak mencegahnya. Di depan pintu, Puspa merasa seperti ada yang kurang. Merasa harus melakukan sesuatu sebelum pergi. Akhirnya ia masuk lagi dan melihat ke sekeliling padahal tak tahu apa yang sebenarnya dicari. "Yang, syukurlah kamu nggak jadi pergi." Puspa mengabaikan Nando dan meraih plastik berisi soto daging yang tadi dibelinya sambil resah memikirkan Nando. Dan, inilah yang ingin Puspa lakukan sebelum pergi. Tanpa perasaan, Puspa merobek plastik pembungkus dan mengguyur kuah soto yang sudah dingin itu ke kepala Nando. Sudah, sekarang baru plong.  ***  Sebelumnya, bagi Gahar, Bali adalah taman bermain yang menyenangkan. Tersebar banyak club-club malam sehingga kata bosan tidak ada dalam kasus ini. Tempat ini selalu jadi solusi setiap kali ia sedang suntuk dan mau menghindari sesuatu. Namun itu tinggal kenangan, tiga bulan mulai dari besok, Bali mungkin akan jadi tempat paling ia benci. Pukul 11 malam, Gahar keluar dari hotelnya dan mengendarai mobil menuju club malam yang disebut temannya. Ya, benar, ia akan membenci Bali mulai besok saja. Malam ini, biarkan Gahar menikmati Bali sebagaimana biasa menikmatinya. Tiba di sana, teman-temannya sudah membuka meja. Gahar langsung mengambil minumannya dan menyatu dengan musik serta suasana. Gahar mungkin akan pulang ke hotel dalam keadaan mabuk dan mungkin bersama wanita cantik? Tubuh Gahar semakin terasa ringan efek dari minuman beralkohol yang diminumnya, ia tak bisa menolak saat teman-temannya mengajak turun ke lantai dansa untuk ikut terbaur dengan puluhan orang lainnya. Saat sedang asik-asiknya menikmati entakan musik racikan disk jockey, mata Ahyar menangkap sesuatu tak asing.  Dengan keterbatasan cahaya, jarak pandang, serta orang lalu-lalang, Gahar menyipitkan mata. Meyakinkan diri apa benar pakaian yang sedang dipakai gadis yang sedang menenggak minumannya itu benar pakaian seragam Gunamart? Berani-beraninya dia memakai atribut kerja ke tempat seperti ini?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD