ADIK IPAR-4

3444 Words
Happy Reading ---------------- Alarm membangunkan Ruby dari tidurnya. Ia menggeliat dalam selimut lembut. Meraih ponsel dari meja nakas untuk mematikan alarm yang dipasang di ponselnya. Ruby mengucek bola mata, masih berbaring sembari memeriksa ponselnya. Pesan dari kekasih membuatnya semangat pagi ini. [Good morning my love ] pesan Topaz. Ruby tersenyum membacanya, kedua ibu jarinya bergerak aktif membalas pesan Topaz. [Morning too dear] Balas Ruby. Ruby meletakkan ponsel di sampingnya. Ia meregangkan tubuh kemudian turun dari tempat tidur sambil menguap lebar-lebar. Ia berjalan menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Setelah menghabiskan tiga puluh menit di kamar mandi. Ruby kembali ke kamar mandi dengan handuk melilit di tubuhnya. Rambutnya di bungkus handuk. Ia melangkah menuju meja rias di samping tempat tidur. Memeriksa ponsel. Topaz memberinya pesan. [Semalam kakak Iparmu ke rumah? Dia ngapain?] Ruby segera mengirim balasan. [Aku punya kabar baik untukmu. Ajak aku kencan] [Hari ini bang Emer balik ke singapore. Kamu mau ikut antar ke Bandara? Sekalian kencan.] balas Topaz. Ruby menjitak jidatnya sendiri, ia lupa calon abang ipar hari ini pulang ke negara tetangga. Ruby memikirkan tawaran Topaz, untuk ikut mengantar ke Bandara. Kebetulan hari Ruby tidak kemana-mana. Daripada busuk berbaring di rumah, mendingan jalan sama kekasih. lantas Ruby menjawab pesan Topaz. [Jam berapa? Aku langsung ke rumah aja naik ojek online.] balas Ruby. Ruby meletakkan ponsel di atas meja rias, berjalan ke arah lemari besar miliknya. ia memilihkan pakaian untuk tubuh mungilnya, blouse model sabrina dan dengan celana jeans. Ruby mulai menata penampilannya yang urakan supaya tampak cantik dimata ...Topaz tentunya. Ruby mengenakan pakaiannya di depan kaca besar dalam kamar itu. Untuk memberikan efek kaki jenjang, Ruby memasukkan atasan ke dalam celana jeans. Ruby berputar di depan kaca besar. Penampilannya cukup menarik. Ponselnya berdenting, bergegas mengambil dari meja rias dan membaca isi pesan dari Topaz. [Kita berangkat ke Bandara jam sepuluh pagi. Aku tunggu dirumah, ya. Hati-hati dijalan dan jaga jarak dengan tukang ojeknya.] pesan Topaz. Cih, Ruby mengetik balasan dengan cepat [Memangnya kenapa?] [Selain Corona aku sangat cemburu kau di bonceng orang asing.] balasan Topaz. Dasar! Ruby tersenyum membalas pesan Topaz. [Ruby akan kesana. Ini sudah mau jalan.] Balas Ruby. Ruby mengeringkan rambutnya dengan hair dryer, mengikat menjadi ekor kuda, ia menggunakan pelembab wajah dan tidak lupa mengoleskan lip gloss ke bibir tipisnya. Ruby mengambil sneakers putih dari rak sepatu, mengenakan Kemudian meraih tas selempang dari rak tas. Ia melihat waktu dalam layar ponselnya, delapan tiga puluh. Sembari memesan ojek online Ruby berjalan menuruni anak tangga dan menuju ruang makan. Kening Ruby berkerut tebal saat tidak melihat kedua orang tuanya berada di rumah. Biasanya mama Kalimaya, sibuk di dapur membuatkan sarapan untuk mereka. Sementara Papa Gemma berolahraga di halaman depan rumah. Terutama saat akhir pekan. Ruby penasaran, kembali menaiki anak tangga menuju kamar kedua orang tuanya. Ruby mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Ruby menekan gagang pintu dan mendorong masuk. "Pa, Ma?" panggil Ruby, kosong. Ruby membawa dirinya masuk ke dalam kamar. "Mama, Papa." Panggilnya. "Aneh pada kemana sih?" gumam Ruby, ia menghubungi nomor Gemma. Tersambung tetapi, tidak ada jawaban. Apa Papa dan Mama lari pagi? Tapi, biasanya selalu bangunin Ruby. Ah, mungkin mereka marah sama Ruby gara-gara kak Safir menarik ucapannya menikah Ruby. Ruby meninggalkan kamar orang tuanya. Ponselnya berbunyi, ojek online menelpon. Ruby menekan jawab, dan mendekatkan ponsel telinga. "Halo," sapanya, ia berjalan keluar dari kamar orang tuanya. "Oh, tunggu sebentar ya, pak." Ruby mematikan sambungan teleponnya. Memutuskan pergi tanpa pamit. "Sesuai titik ya, pak." Ruby mengenakan masker dan helm kemudian naik ke atas motor. "Sudah, Mbak?" "Sudah pak," Tukang ojek mengemudi dengan kecepatan biasa. Ruby masih sangat penasaran, kemana kedua orang tuanya di pagi hari tanpa membangunkannya. Ia mencoba menghubungi papa Gemma dan tersambung dan tidak diangkat. Ruby berdecak, sekarang giliran Kalimaya dan hasilnya …, diabaikan. Ada apa sih? Ruby jengkel, ia menyimpan ponselnya ke dalam tas. Dan memasang raut wajah muram. **** Emerald memeluk Topaz sembari menepuk-nepuk pelan pundak adiknya. "jaga dirimu, oke?" pesan Emerald melepas pelukannya. "Jika abang lupa menghubungimu, hubungi aku, oke?" tambah Emerald. "Iya bang," ucap Topaz. Emerald melihat ke arah Ruby. "Titip Topaz, Ruby. Kalau dia bertingkah kabari aku. Aku akan menegurnya." Ruby mengangguk kemudian mengulurkan tangan pada Emerald dan menjabat tangan pria itu. "Selamat sampai tujuan ya, Bang." ucap Ruby. Emerald mengangguk. "Sampai ketemu Ruby, kami tunggu kabar hubungan kalian," ucap Cempaka, mencium pipi kiri dan kana Ruby. "Iya, kak. Doakan supaya hubungan kami berjalan lancar." "Pasti." ucap Cempaka yakin. Ruby mencubit pipi bayi dalam gendongan Cempaka. "Hei … sampai ketemu lagi ya, jangan cengen di pesawat. Uhhh imutnya." Ruby gemes. Kini giliran Cempaka dan Topaz yang berpamitan. "Jangan sungkan sama kakak, Topaz. Apapun yang kamu butuhkan hubungi abangmu." Pesan Cempaka. "Pasti kak," Topaz menyalami tangan Cempaka kemudian mencubit ponakannya. "Ya sudah kami masuk ya," kata Emerald mengakhiri pertemuan itu. "Iya Bang." Sekali lagi Topaz memeluk Emerald. Ada kaca-kaca di manik mata mereka yang tertahan. Kemudian saling melepas, Emerald mendorong troli koper masuk ke dalam untuk melakukan cek in. Topaz menghapuss sudut matanya yang berair, Ruby menggenggam tangan Topaz seraya memperhatikan keluarga Emerald menghilang dari pandangan mereka. "Ayo kita pulang," ajak Topaz, menarik tangan Ruby menjauh dari tempat itu. "Sudah berapa lama mereka tinggal disana, kak?" Ruby mengikuti langkah Topaz menuju parkiran motor. "Umm, sekitar lima tahunan. Mereka ketemu disana dan jodoh." ujar Topaz. Ruby berhenti melangkah saat merasakan ponselnya bergetar dalam tas, ia merogoh dan melihat pemanggil. Kak Safir ngapain nelpon? "Siapa, By?" tanya Topaz. "Kak Safir," lirih Ruby. "Dahlah matiin aja, By. Ayo kita pulang." ujar Topaz, raut wajahnya masam. Ruby memutus panggilan itu, dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Mengejar Topaz yang sudah menjauh darinya. "Semalam dia ngapain ke rumah kamu, By?" tanya Topaz, mengambil helm dari gantungan motor. "Kak Safir membatalkan niatnya untuk menikahi Ruby," Topaz memasangkan helm di kepala Ruby, hati pria itu merasa lega. "Seharusnya begitu kan, By. Lalu apa tanggapan orang tua kamu?" Ruby menaikkan kedua bahunya, "kelihatannya mereka nggak suka deh, saat Ruby tiba dirumah mereka mendiami Ruby." "Yang sabar ya, By. Mmm, jadi kapan aku dikenalkan secara formal?" tanya Topaz, ia menghidupkan mesin motornya. "Ruby akan kabari kalau keadaan kami sudah membaik. Aku pasti kenalin kak Topaz sama Papa Mama. Tunggu mereka lupa sama perjodohan itu." jawab Ruby. Topaz mengangguk, ia mengulurkan tangan untuk membantu Ruby naik ke atas motornya. Drrrt ...drrtttt … Raungan ponsel dari tas Ruby membatalkan dia naik ke atas motor. Ruby mengeluarkan ponselnya dan melihat nama Safir kembali menelpon. "Dia lagi?" tanya Topaz mencuri pandang pada layar ponsel. "Umm, aku angkat aja deh, takutnya ada yang penting." ujar Ruby seraya melepas helm dan mendekatkan ponselnya. Topaz berdecak sebal. "Apa, kak?" "Ruby kamu dimana?" tanya Safir, suara pria itu terdengar cemas. "Di Bandara, kak." "Ngapain?" Suara Safir meninggi. "pulang By, Ayah ada di rumah sakit."ucapnya kemudian. Ruby tercengang, "Apa?" "Ayah sakit. Kakak kirim nama rumah sakitnya. Cepat kemari." ucap Safir. "P-papa, masuk rumah sakit." lirihnya Ruby terpaku di tempatnya. "Kenapa Ruby?" tanya Topaz melihat wajah pucat Ruby. "Papa masuk rumah sakit, kak." "Papa kamu?" "Iya, memangnya papa siapa lagi?" "Aku pikir Papa iparmu," "Ngapain dia nelpon aku kalau papanya sakit, lagian dia yatim." "Ya sudah naik, kita berangkat." Topaz mengulurkan tangan, membantu Ruby naik. "Sudah siap?" tanya Topaz. "Sudah kak, cepat tapi, hati-hati, ya." "Iya," Topaz mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Ruby membaca pesan dari Safir, alamat rumah sakit. Ya Tuhan, semoga Papa nggak kenapa-napa. Perasaan tadi malam baik-baik aja deh. Topaz melihat wajah tegang Ruby lewat spion, ia menarik tangan Ruby dan melingkarkan di perutnya. "Jangan cemas, By. Kita akan sampai dalam satu jam." ucap Topaz. Jakarta selatan ke bandara Soeta? Satu jam? Ruby ragu. Dia mencoba di boncengan Topaz. Tuhan aku mohon, jaga Papa. Perjalanan mereka akhirnya tiba, Topaz melepas helm dari kepala Ruby. Gadis itu merapikan rambutnya yang kusut karena helm. "Ayo kak," ajak Ruby. Topaz merapikan rambutnya sebelum berlari mengejar langkah Ruby. Ruby menghubungi Safir meminta mengirim tempat Gemma dirawat. “Dimana kak?" tanya Ruby begitu tersambung. "Oh ya sudah baiklah." "Dimana?" tanya Topaz menyamakan langkah kaki mereka. "Ada di lantai atas kak," Topaz memimpin jalan menuju lift dan menekan tombol. Mereka masuk. "Tenang,By. Jangan terlalu panik." "Tadi pagi aku nggak lihat mereka kak. Ruby ketemu kak Topaz tanpa pamit. Tau-tau Papa masuk rumah sakit. Siapa yang nggak panik coba?" Ruby mendongak seraya memecah air mata yang hendak mengalir dari manik matanya. Topaz menarik Ruby ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkan Ruby dari rasa gelisahnya. Pintu lift terbuka, mereka segera keluar dan mencari nomor kamar Gemma dirawat. Ruby melihat Safir duduk di salah satu bangku ruang tunggu. "Kak, Safir?" panggil Ruby. Safir menoleh ke sumber suara dan melihat Ruby serta Topaz menghampirinya. "Dimana Papa?" tanya Ruby dengan raut cemas. "Masih diperiksa," Ruby menunjuk ruangan di depannya dengan dagu. Ruby melihat ke arah ruangan itu, "Sakit apaan, kak?" tanya Ruby penasaran, ia duduk di samping Safir dan menggenggam lengan Safir. "Kakak nggak tau, tadi Ibu nelpon katanya Papa pingsan, jadi minta di jemput untuk dibawa ke rumah sakit."ujar Safir tenang. "Jam berapa?" "Jam sepuluh, kamu dari mana?" tanya Safir. Ruby menghela nafas panjang, melepas lengan Safir. Ia menoleh pada Topaz yang tengah berdiri tidak jauh darinya. Ruby berdiri kemudian melangkah menghampiri Topaz dan menarik tangan pria itu menuju Safir. "Kakak, kenalin. Ini Topaz, pacar Ruby." ucapnya mengenalkan Topaz pada Safir. Safir mengusap belakang lehernya. Berdiri menerima uluran tangan Topaz. "Topaz," "Safir," Safir kembali duduk di bangkunya sementara Topaz berdiri di samping Ruby. "Darimana sih, By? Ibu cemas loh." Safir memperhatikan Topaz menggenggam tangan Ruby, tampak posesif. Seolah menunjukkan kalau Ruby miliknya. "Dari Bandara Bang, antar saudara pulang ke singapore." jawab Topaz mewakili. "Lain kali, kalau ajak Ruby jalan. Ijin dulu sama orang tuanya. Jangan antar jemput di depan gang." tegur Safir, menarik tangan Ruby yang bebas dari genggaman Topaz. "Duduk sini." Ketus Safir pada Ruby. Ruby mengerucutkan bibir dengan mata menyipit, patuh duduk disamping Safir. Jengkel melihat sikap Safir. "Di depan rumah kak, bukan gang." Ralat Ruby. "Sama aja." Safir mendelik. Ruby berdecak memalingkan wajah kemudian tersenyum manis pada Topaz. 'Astaga, senyumnya.' Cemooh Safir dalam hati, melihat senyum Ruby pada Topaz. "Kak Topaz duduk disini," Ruby menepuk bangku disampingnya. Topaz mengangguk dan duduk di samping Ruby. Ruby melihat dua pria yang duduk di antaranya, yang satu kekasih dan satu …Bunglon Perhatian Ruby tertarik ketika Kalimaya keluar dari ruangan bersama perawat mendorong Gemma di kursi roda. "Papa," Ruby beranjak dari duduknya, begitupun Safir dan Topaz. "Papa sakit apa, Mah?" tanya Ruby cemas. Kalimaya mengabaikan Ruby. "Kita langsung ke ruang inap, ya." ujar perawat. "Safir, dorong ayah ke ruangannya," Pinta Kalimaya pada Safir. "Biar Ruby aja," sahut Ruby, mengambil alih kursi roda dari tangan perawat. "Nggak usah! Kamu pergi aja keluyuran sana." Sembur Kalimaya. Menepis tangan Ruby dari pegangan kursi roda. "Mama," lirih Ruby sedih. Ia menoleh pada Topaz dengan raut wajah sedih. Safir mendorong Gemma di atas kursi roda. Sementara Kalimaya memegang botol infus. Ruby menghapus air mata yang luruh, melihat Kalimaya dan Safir berjalan bersama mendorong kursi roda Gemma menuju ruang inap. "Aku minta maaf, By. Aku akan bicara sama Bibi dan menjelaskan kemana kamu hari ini." Topaz, merasa bersalah. "Nggak usah, kak. Nanti Mama makin marah kalau tahu aku jalan sama kak Topaz. Aku baru buat mereka sakit hati." "By, nggak apa-apa sekarang mereka marah sama kamu, yang penting mereka tahu hubungan kita." "Kasih aku waktu kak, nanti setelah semua membaik aku akan bujuk Papa dan mengenalkan kak Topaz," "Jadi?" "Kakak Topaz, pulang aja, ya. Aku masuk dulu. Tar Mama makin marah," ujar Ruby. "Kau yakin?" Ruby mengangguk. Topaz menarik Ruby ke pelukannya, dan mengusap lembut lembaran rambut Ruby. "Jangan dekat-dekat dengan Iparmu itu, aku nggak suka melihatnya." ucap Topaz mengingatkan Ruby. "Mmm, pergilah." ujar Ruby. "Aku pulang, ya. Semoga paman lekas sembuh." pamit Topaz. Ruby mengangguk. Ruby berjalan menuju ruangan Gemma sementara Topaz mengikuti keinginan Ruby, pulang. Ruby masuk ke dalam ruangan Gemma, berjalan menghampiri Gemma yang sedang berbaring di Bed. Tangannya terpasang infus. "Papah," lirih Ruby, memeluk Gemma. "Papa sakit apa sih?" Ruby menangis di atas dαda Gemma. "Papa nggak apa-apa, By. Cuma pusing aja tadi." lirih Gemma. "Kamu dari mana sih? Semakin bebas aja," Sungut Gemma. Ruby mengangkat wajahnya dari dαda Gemma, melihat ke arah Safir dan kalimaya yang tengah duduk di ruangan itu. Safir tampak memainkan ponselnya, sementara Kalimaya memalingkan wajah saat mereka bersitatap. "Mama …"suaranya memelas. "Safir kamu balik aja, Nak. Habiskan waktu kamu bersama Kristal." ujar Kalimaya mengabaikan putrinya. "Oh, nggak apa-apa, Ma. Ada neneknya di rumah." "Saat ini kau ibu dan ayahnya. Harus meluangkan banyak waktu untuknya." ujar Kalimaya, sengaja melirik Ruby dengan tatapan sinis. Safir melihat Ruby yang seperti orang bodoh karena diacuhkan Ibunya. Ia ingin menghibur tapi, takut kedua mertuanya salah paham. "Baiklah, Bu." ujar Safir, ia menghampiri Kalimaya dan menyalami tangan kedua mertuanya. "Aku tinggal, By." ucap Safir pada Ruby. Gadis itu menganggukkan kepalanya. Ruangan itu menjadi hening setelah Safir pergi, Kalimaya dan Ruby duduk berjauhan. Sementara Gemma memilih tidur. **** [Fir, aku mau bawa adikku ke klinik kamu. Dia mau periksakan giginya. Kayaknya berlobang. Klinik kamu buka, kan?] Safir menerima pesan dari Berlian. Setelah pertemuan mereka di Mall komunikasi mereka terjalin kembali. Berlian sering menyapa Safir lewat pesan. Terkadang menghubungi lewat telepon terutama saat mengetahui Safir seorang duda. Berlian juga mengikuti Safir di media sosial, memberi hati di setiap unggahan Safir pada salah satu aplikasi yang digunakan Safir. [Sorry Erli, aku libur sabtu minggu.] balas Safir. Berlian mengulum senyum, membaca balasan Safir. Nama Erli adalah panggilan sayang Safir saat mereka pacaran. Hatinya berada di taman saat Safir masih memanggilnya dengan sebutan itu. Berlian mengetik pesan, sembari menikmati kopi coklat buatannya di mini bar dalam apartemennya. [Oh gitu, sayang sekali. Baiklah, senin aku bawa kesana. By the way, putrimu sangat manis. Aku pengen cubit pipinya.] Berlian menimbang akan mengirim pesan itu. Tidak ingin terlihat seperti memaksakan diri untuk akrab dengan Safir. "Mbak," Sean adiknya, menepuk punggung Berlian hingga ibu jari Berlian tidak sengaja menekan tanda kirim. "Sean, kamu bisa nggak sih, nggak ngagetin aku kayak gitu. Bisa-bisa aku bisa mati konyol, tau nggak?!" ketus Berlian mengomeli adik laki-lakinya. "Cieee, pasti lagi melamun makanya jantungnya copot separuh." Sean mengambil gelas kopi Mbaknya dan meneguk isinya. Berlian kesal melihatnya adiknya. "Bikin kopi sendiri Sean." Berlian menarik kesal gelas kopi coklatnya dari depan Sean. "Pelit bener sih, kak." "Ah, bodoh." Berlian beranjak dari tempat duduknya dan berjalan membawakan gelas coklat panas yang masih tersisa setengah gelas. Ia berhenti dan berbalik melihat Sean duduk santai di mini bar apartemennya. "Sean," "Mmm?" "Apa gigimu berlubang?" tanya Berlian. Kening Sean berkerut tebal bahkan kedua alisnya bertautan. Pertanyaan macam apa itu?pikir Sean. "Aku menggosok gigi tujuh kali dalam sehari, jadi nggak bakalan ada lubang disana." Sean memamerkan gigi-giginya yang putih bersih. Berlian menelan kuat saliva, dan tanpa mengatakan apapun ia kembali berbalik dan meninggalkan Sean sendirian di meja bar. Lantas gigi siapa yang akan aku bawa ke klinik Safir?Huh. Berlian menempatkan dirinya di sofa, mengintip semua unggahan Safir di media sosialnya. Dan tiba-tiba ponselnya bergetar, pesan dari Safir. Cukup lama menunggu dan akhirnya pesannya dibalas. Tanpa menunggu lama, ia segera membuka pesan yang isinya hanya emoticon smile. Berlian menghela nafas pelan. Kecewa dengan respon ini. Harusnya Safir mengatakan sesuatu supaya obrolan mereka lanjut. Safir ... aku merindukan masa-masa dulu. lirih Berlian dengan senyum tipis di bibir. **** Ruby mendekati Kalimaya duduk di salah satu bangku dalam ruangan itu. "Mama, maafin Ruby. Tadi pagi aku sudah coba telepon Papa dan Mama tapi kalian nggak angkat," ucap Ruby, mencoba membela dirinya. "Kalian juga tidak telpon balik Ruby." Sambungnya. Kalimaya berdecak, kemudian ia melihat ke arah suaminya yang sudah tidur, Kalimaya mendekatkan wajahnya ke telinga Ruby. "Papa stres," bisiknya. Ruby menaikkan kedua alisnya, membawa tatapan pada Gemma di Bed. "Dan itu semua karena penolakan kalian menikah. Papa hanya kelihatan baik-baik saja kehilangan Intan. Dia merasa bersalah karena tidak dapat mewujudkan keinginan terakhir Intan." bisiknya di telinga Ruby. "Mama?" Ruby mendengus. Kalimaya berdecak, wajahnya cemas. "Dokter bilang, dia tidak boleh stres tidak baik pada jantung, ginjal, hati dan semua bagian tubuh Papa lagi bermasalah sekarang." ucap Kalimaya. Ruby menoleh lagi ke Bed Papanya. "Intah, maafin Papa, Nak."Gemma bergumam di atas bangsal dengan mata tertutup. Kalimaya segera menghampiri, membangunkan Gemma. "Pah, bangun, bangun, hei ...Papah." ucap Kalimaya, menepuk-nepuk pipi suaminya. Ruby menghampiri, mengambil tangan Gemma dan menggenggamnya. "Papah kenapa? Bangun." ujar Ruby. Gemma bangun dan menoleh pada Ruby. "Ruby …." Panggilnya lirih. "Iya, Papa," Ruby mengusap cairan bening yang keluar dari bola matanya. "Intan selalu datang dalam mimpiku. Dia minta kamu menggantikannya menjadi Ibu Kristal," Ruby menangis. "By ...sayang, tolong pikirkan lagi keinginan kakak kamu." Kalimaya mengusap punggung putrinya. "Tapi Safir suami kak Intan, Mah." "Intan yang minta Ruby," balas Kalimaya. Gemma tiba-tiba menarik napas panjang dan membuangnya pelan-pelan. Matanya perlahan menutup. "Papa, papa, papa kenapa?" tanya Ruby panik. Melihat mulut Gemma mangap-mangap seperti mulut ikan keluar dari air. Kalimaya mengguncang tubuh suaminya,"Pah, bangun. Buka matanya, pah."ucap Kalimaya, ikutan panik. "Jangan, jangan, jangan begini. Papa harus sehat biar bisa lihat Ruby menikah." ucap Ruby menangis. "Kamu mau menikah?" tanya Kalimaya, "Papah Ruby setuju menikah." ucapnya semangat pada suaminya. Ruby mengangguk, "Ruby akan menikah dengan kak Safir. Ruby akan menikah dengannya. Papa jangan sakit, buka matanya. Jangan mangap-mangap, Ruby takut melihatnya." ujar Ruby menangis memeluk Gemma di atas bangsal. Gemma membuka mata, mengusap kepala putrinya. "Ruby, Papa nggak mau jika kamu terpaksa, Nak." "Kan ini memang terpaksa, tapi Ruby coba ikhlas, Pa." ucapnya tersedu-sedu. "Papah …, tidak apa-apa. Memang untuk sekarang Ruby pasti berat nanti setelah menjalani pernikahan dengan Safir dia pasti terbiasa dan bahkan mencintai Safir." ujar Kalimaya. "Maafkan Papa, Nak." ucap Gemma menepuk-nepuk punggung Ruby pelan. Ruby masih terisak di dαda papanya itu. *** "Nikah?" tanya Jasmin kaget. "Sttsss." Ruby menutup mulut temannya itu sembari mengawasi sekitarnya. "Lepas, siah."ucap Jasmin dengan nada tak jelas seraya memukul tangan Ruby yang masih membekapnya. "Serius? Dengan kakak Ipar Loe?" tanya Jasmin setengah berbisik pada Ruby. "Mmm," lirihnya dengan raut malas. Jasmin melongo, menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. "Apa sebutan untuk itu? Mmm, turun ranjang? Hahaha." Jasmin tergelak, mencuri perhatian semua orang di ruangan pada mereka. Jasmin segera menutup mulut rapat-rapat lalu menunduk menyembunyikan wajahnya dengan buku. Sementara Ruby pura-pura tidak tahu apa-apa. "Teman sialan." ucap Ruby begitu suasana tenang. "Lalu hubungan loe dengan Topaz gimana dong?" tanya Jasmin, memasang raut serius. Ruby menghela napas panjang, " entahlah." gumamnya. "Topaz sudah tau?" "Belum, gue juga bingung menghadapi dia seperti apa," Ruby bertopang dagu di atas meja. Untuk sesaat mereka membisu, Jasmin dapat merasakan kesedihan yang dialami Ruby. "Dan kakak Ipar loe juga setuju?" tanya Jasmin. "Setujulah, orang ini keinginan istrinya." ucap Ruby dengan nada malas. "Suntuk kepala gue." lirih Ruby. Menyembunyikan wajahnya di lipatan tangan yang ia tumpu diatas meja. "By, nanti malam ikut nggak?" Jasmin mendecakkan mulutnya sebagai kode, minum alkohol. "Ck, gue nggak bisa. Bisa mati gue di tangan bokap gue." balas Ruby. "Ya sudah," Jasmin mengendikkan kedua bahunya. Kepala Ruby makin pusing, "Ngapain juga gue disini? Takdir gue sudah ditentukan jadi babu untuk laki-laki yang tidak gue cintai." Ruby kesal pada dirinya sendiri, mengumpulkan bukunya dan memasukkan ke dalam tas. "By, By, loe mau kemana?" tanya Jasmin, bingung. "Pulang." Ruby keluar dari bangkunya dan meninggalkan kelas sebelum dosennya datang. * Topaz memasuki sebuah kafe di bilangan Jakarta. Dari pintu masuk ia mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Ruby. Di sudut ruangan itulah kekasihnya duduk sendirian. Ia datang menghampiri dengan hati riang. Sudah tiga hari tidak melihat wajah Ruby dan bahkan mendengar suaranya pun sangat sulit dalam beberapa hari ini. Ruby sibuk mengurus Gemma yang sedang sakit di rumah. "By," Topaz mencubit pipi kenyal kekasihnya kemudian duduk berhadapan dengan Ruby. "Kau sakit?" tanya Topaz melihat wajah pucat Ruby. Ruby menggelengkan kepala, "wajahmu pucat, By." Topaz mengambil tangan kekasihnya yang ada di atas meja, tetapi Ruby menariknya secara perlahan. "Ruby, ada apa? Oh, kau bilang ingin mengatakan sesuatu." ucap Topaz, menyiapkan diri untuk mendengarkan kekasihnya itu. "Kak, " "Iya," Ruby menatap kekasihnya, lama. Menyiapkan diri untuk melepas Topaz darinya. "Aku---" "Papamu sudah sembuh?" Topaz memotong ucapan Ruby. Ruby mengangguk," sudah," ucapnya. "Syukurlah, aku tidak sabar untuk bertemu dengan mereka. By, kau sudah janji akan mengenalkan aku pada Paman dan Bibi." ucap Topaz, senang. Ruby tersenyum pedih kemudian memberanikan diri mematahkan hati pria ini. " Sepertinya itu nggak akan terjadi, kak." ucap Ruby. Topaz menaikkan kedua alis matanya, "kenapa?" "Karena kita akan putus,"Tegas Ruby. Hening. Topaz mencerna ucapan Ruby dalam pikirannya, kemudian terkekeh. "Jangan ngeprank, By. Sudah nggak jaman."ucap Topaz. "Aku serius, Paz. Kita harus putus detik ini juga." Tandas Ruby, mengetuk meja dengan ujung jarinya. "Kamu kenapa sih? Selama tiga hari ini kita nggak ketemu, seharusnya kita bicarakan yang baik-baik tentang hubungan kita. Bukan malah yang aneh-aneh begini, By." Topaz menatap Ruby kesal. "Aku akan menikah dengan kak Safir." Sahut Ruby. "Apa?" . . See you tomorrow.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD