Part 3. Kepribadian ganda

1304 Words
"Ayok masuk!" Luke terus menjambak rambut istrinya sampai di dalam rumah. Membuat kulit kepala Delia begitu perih namun sialnya dia tidak bisa melerai pegangan Luke. Tangan besarnya terlalu kuat untuk disingkirkan dari helaian rambutnya. Delia sampai merunduk mengikuti tarikkan tangan Luke. Posisi ini jelas bukanlah posisi yang nyaman, tengkuk kepalanya sakit menjalar hingga punggung juga kakinya yang menyeret paksa. Dengan beringas Luke melempar tubuh Delia ke sofa. Menjadikan tubuh Sang istri sebagai alat pelampiasan rasa kesalnya. "Aku sudah bilang, jangan bicarakan rumah tangga kita pada orang lain, Delia. Ahkk... Kau telah mencoreng namaku," geram Luke. Lelaki itu mendapatkan serangan paniknya. Yah, selama ini Luke mengalami gangguan mental. Dia sangat berusaha terlihat sempurna seolah tanpa celah di mata orang luar. Sikapnya yang perfeksionis ditambah doktrin yang selama ini dia emban. Jika dirinya tidak boleh terlihat memalukan, tidak berdaya serta gagal yang menjadikan Luke memiliki kepribadian ganda. Kadang kala dia bisa jadi sangat baik bagai malaikat tanpa dosa. Tapi tak jarang dia berubah menjadi iblis pencabut nyawa. Delia menangis sesenggukkan, tapi dia mencoba menahan. Karena Delia tidak mau membuat Luke semakin kalap. Dia berusaha duduk tegak di sofa, seraya menghapus air matanya Delia mencoba memanggil Luke. Luke yang sebenarnya, yang terperangkap dalam jiwa iblis itu. "Luke.., Luke, apa ini Luke?" Dia bertanya dengan hati -hati. Kepribadian Luke satunya lagi bernama Lucifer, ialah kepribadian jahat Luke. Lucifer begitu beringas dan keji. Sedang Luke amat penyayang. Dan seingat Delia, dia menikahi Luke bukan Lucifer. "Luke, Sayang... Ini kamu?" Delia mencari arah pandang Luke yang gelisah. Bohong jika Delia tidak merasa begitu cemas, bagaimana jika yang hadir malah kepribadian Lucifer-nya. Dan itu terjadi, Luke menatap Delia tajam. Tangannya kembali menjambak Delia dengan kekehan dan pelototan mata seakan mau keluar. "Aku Lucifer, Si pencabut nyawa... Hahaha." Tawanya menggema. Tidak, Delia merasa sudah tidak kuat dengan pria berkepribadian ganda itu. Cukup hatinya terus merana memikirkan nasib Luke. Kini saatnya dia memikirkan dirinya sendiri juga buah hatinya, Zero. Dia juga ingin bahagia, Delia cuma ingin merawat anak mereka, Zero. Dalam lingkungan yang sehat. Dan jika berpisah adalah jawabannya. Maka Delia mau melakukan itu semua. "Pergi kau lelaki sialan. Kau bukan suamiku," ucap Delia marah di tengah rambutnya terus di jambak. Luke semakin mencengkram rambut Delia, membuat Sang istri mendongak, buliran keringat jatuh menetes ke tenggorokannya. Delia mencoba menjereba kesembarangan arah, mencari alat yang bisa dia gunakan untuk melumpuhkan manusia biadab itu. Sungguh, Delia masih begitu ingat ketika mereka merajut kasih. Awalnya Luke memang menunjukkan sikap-sikap aneh, contohnya dengan begitu curiga, posesif juga tanpa segan memukuli Delia hanya karena masalah sepele. Tapi Delia tetap kekeh untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan, dia fikir semua itu terjadi karena Luke yang terlalu pencemburu. Dan jika mereka menikah, maka Luke tidak perlu lagi berlaku kasar padanya. Nyatanya semua itu hanya khayalan. Luke kejam karena didasari dari dirinya sendiri. Luke sulit mempercayai dirinya, apalagi percaya dengan orang lain. Obsessive complusive disorder-nya terlalu menguasai dirinya. Luke tidak suka apa yang telah dia atur sedemikian rupa malah jadi berantakkan sekecil apapun itu. Baik Delia dan Zero cuma boleh mengikuti titahnya tanpa membantah sedikitpun. Dan sekitar satu jam sebelum mereka ke kantor Sachi. Luke dan Delia terlibat cekcok. Awalnya semua cuma hal remeh. Karena Delia lupa memberikan kecap pada mie yamin Luke. Dan keteledoran itu berakhir menjadi murka dan amarah. Kedua tangan Delia diikat juga pecut menghiasi tubuh. Oh, bukan hanya dirinya. Tapi juga Zero, putra mereka. Setengah jam setelah penyiksaan itu. Luke kembali normal, dia bersimpuh dan meminta maaf pada Delia. Kebenciaan yang tadi mengakar kala itu kembali luluh. Walau begitu, Delia tidak bisa melupakannya begitu saja. Dia hancur, trauma itu ada. Delia bahkan tidak ingin melihat Luke sama sekali. Rasa bersalahnya kepada Zero juga teramat besar. Meski anak itu sudah berhenti menangis juga sudah terlelap setelah meminum susunya. Tetap saja, bayang-bayang ketakutan masih terlihat dari tangan mungilnya yang gemetar. Dan demi membuat Delia tidak marah. Luke menyarankan Delia pergi ke psikolog. Ingat, ialah yang mengidekan hal itu. "Sayang, kau sepertinya sakit. Kau harus disembuhkan. Ayok kita ke rumah sakit!" Sungguh Delia tidak sudi untuk itu. Siapa yang bisa menjamin sampai di jalan Luke tidak lagi berulah. Tetapi Luke terus memaksa. Dia bilang, Delia lah yang membutuhkan bantuan psikiater. Padahal jelas-jelas dirinya lah yang sakit jiwa! Demi membuat Zero jauh dari lelaki b***t bergelar ayah itu. Delia akhirnya setuju pergi ke psikiater terdekat. Dia berharap, seorang psikiater bisa membaca gelagat yang dia torehkan sehingga bisa membantunya terjerat dari lingkaran setàn itu. Harapan Delia tinggallah harapan. Sachi sama sekali tidak membantunya. Malah terkesan membela Luke. Delia tidak menyalahkan Sachi. Luke terlalu pandai menyembunyikan kelainannya. Bahkan dia saja sampai tertipu dengan kata-kata manis pria itu. Delia sadar, kebahagiaannya telah berakhir semenjak dia bertemu Luke. Tapi apakah Zero harus terbawa-bawa dalam masalah ini? Setidaknya, biarkanlah anak itu bisa mencecap kebahagiaan dalam hidupnya. Itulah harapan Delia. Delia yang murka langsung mengambil lampu nakas dan segera memukul punggung Luke dengan benda tersebut. Bunyi berisik akibat pecahan lampu membuat Luke dan Delia melotot tajam. "Aaaaa.., Mama," teriak Zero ketakutan. Anak itu sejak tadi belum keluar kamarnya. Dia diberitahu Delia untuk tidak membuka pintu sebelum suasana berubah kondusif. Perhatian Delia jadi terpecah. Alisnya menyerit cemas. Meski Luke adalah ayah kandung Zero. Tapi dia juga tidak segan melukai Zero secara membabi buta. Figure ayah yang seharusnya bisa melindungi sekarang berubah menjadi petaka bagi anak itu. "Sa.., sayang, jangan nangis! Mama gakpapa kok," balas Delia dengan suara setenang mungkin meski Luke terus menjambaknya. Luke menatap Delia dengan tatapan menjijikkan. Rasanya dia ingin mencolok kedua mata itu. Terlalu kesal, membuat Delia jadi menendang milik Luke dengan lututnya. Berhasil. Luke mengendurkan cengkramannya pada surai Delia. Kini Delia merangkak segera menjauhi Luke. Tetapi sebelum semua berakhir, seseorang datang dengan pakaian seksinya. Delia melotot tajam saat gadis itu dengan kurang ajarnya menciumi pipi Luke di depan mata kepalanya sendiri. Sungguh, dia tidak bisa lagi mentolerir sikap Luke. Selama ini Delia bertahan karena dia merasa Luke sebenarnya mencintainya. Hanya dirinya dan tak ada wanita yang lain. Lelaki itu hanya sedang salah jalan. Dan mungkin akan ada hari dimana dirinya, Luke dan Zero bisa kembali menjadi keluarga yang bahagia. Tetapi pemandangan di depannya seolah menghancurkan seluruh keyakinan yang dia bentuk. Seraya tersenyum miring. Delia berusaha mentertawai dirinya sendiri. Sungguh pikirannya sudah menjerumuskannya begitu jauh. Luke benar, mungkin dia memang sudah gila. Bisa-bisanya terus memberi maaf pada Luke. Cinta yang tulus kini dibalas penghianatan. Segera dia pergi ke dapur berniat mengambil pisau belati untuk dia tancapkan ke perut Luke atau ke wanita perebut suami orang itu. Masuk penjara karena tuduhan membunuh keduanya bukanlah satu aib bagi Delia. Ini malah akan menjadi catatan sejarah dalam hidupnya jika dia pernah berjuang membela harga dirinya mati-matian. *** Ke esokkan harinya, Seperti biasa. Sachi tengah menyeruput teh hijau ditambah sedikit gula rendah kalori. Dia merasa hidupnya begitu damai. Apa yang dia harapkan dan dia kerjakan semua memberi dampak positif pada kejiwaannya. Bukan cuma gaji yang Sachi cari. Tapi rasa puas karena bisa memberikan yang terbaik untuk pasien-pasiennya. Kini dia tengah memandangi berkas-berkas pasien yang masuk. Pada urutan atas ada nama Delia sebagai pasien terakhirnya. "Ah,ya.., gimana kabar mbak Delia juga anaknya, Zero. Kayaknya aku janji mau menemui Zero. Hm... Apa aku pergi hari ini saja. Kebetulan jam sembilan aku belum ada jadwal apapun." Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Lagian waktu itu, kan aku selalu saja membantah alibi mbak Delia. Aku gak enak sih," Sachi tersenyum. Saat itu Sachi sadar, dirinya terlalu menggebu. Dengan tekad itu, Sachi memutuskan bertandang ke rumah Delia. Dia masih ingat, rumah lantai tiga dengan cat hitamnya. Tak lupa membelikan buah tangan untuk Zero. Berupa mainan robot-robotan yang biasa disukai anak seusia Zero. Setelahnya Sachi langsung menancap gas mobil ke rumah Delia. Bagi seorang psikolog, kesehatan mental pasien adalah yang utama. Dan salah satunya dengan bertemu pasien secara berkala. Merupakan cara lain untuk mengetahui apa pasien sudah bebas dari sakit mentalnya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD