8. Takdir

1760 Words
Pernikahan poligami Hari semakin hari semakin tertata. Pelan-pelan Diana sudah bisa menerima pernikahan poligami suaminya Itu. Ia sudah ikhlas dengan apa yang menjadi takdirnya. Selama ini perhatian dan kasih sayang Hari pun tak pernah berubah sedikitpun, Ia tetap merasa seperti wanita satu-satunya dalam hati Hari. Perbedaannya hanya suaminya harus membagai jatah berkunjung dengan madunya, dan Diana pun tidak keberatan dengan hal itu. Sejak Hari mengetahui kehamilan Diana, Ia lebih giat bekerja, apapaun Ia kerjakan demi menghasilkan uang yang lebih banyak. Ia pun sudah bisa mengatur waktunya dan jatah menginap dengan kedua istrinya. Semua berjalan lancar sesuai dengan apa yang diharapkannya, terutama yang diharapkan Siska. Ia berusaha bersikap adil dengan kedua istrinya. Diana pun sudah menerima istri siri suaminya itu walaupun Ia belum pernah dipertemukannya dengannya, Siska pun menolak kerap kali Hari mengajaknya berkunjung ke rumah Diana. Aktifitas Diana di rumah tetap sama walaupun ia sudah memiliki dua orang anak, Ia tetap membuat kue dan menitipkannya ke warung-warung, hanya saja tidak sebanyak biasanya. Saat ini Ia harus benar-benar bisa membagi waktunya, apalagi untuk Rizal yang masih bayi, yang masih membutuhkan banyak perhatiannya. Hingga suatu hari timbul keinginan Diana untuk membuka usaha warung kelontong kecil-kecilan di depan rumahnya. Kebetulan ia masih memilihi halaman kosong di depan rumah, tidak terlalu luas, namun lebih dari cukup untuk dibangun sebuah warung sederhana. Diana sudah menghitung-hitung biaya yang dibutuhkan untuk mendirikan warung kecil beserta modal yang dibutuhkan untuk mengisi warung. Diana rasa tabungan yang Ia kumpulkan dari uang sisa belanja yang diberikan suaminya dan hasil berjualan kue cukup untuk mewujudkan keinginannya itu. Dengan ia memiliki usaha warung kelontong, paling tidak ada pendapatan tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin meningkat dengan bertambah besarnya buah hati mereka. Diana pun mengutarakan keinginannya tersebut kepada Hari. Hari pun mendukung keinginan istrinya itu. Hingga akhirnya terwujudlah apa yang diimpikan Diana, sebuah warung kelontong kecil sederhana yang menyatu dengan bangunan rumah, dengan sebuah pintu yang menghubungkan keduanya. Hal itu akan memudahkan Diana jika ada pembeli. Sebuah bangunan warung sederhana yang terbuat dari papan kayu dan atap dari senk. “Makasih ya mas…” kata Diana pada Hari yang baru saja selesai mengecat warung dengan warna hijau kesukaan Diana. Ia pun memindahkan beberapa pot bunga yang berada di dekat pagar tembok ke depan warung untuk menambah keasrian. Ia merasa puas dengan hasilnya. “Iya bu, semoga warung ini berkah ya. Semoga usaha warung kelontong ini lancar.” Kata Hari sambil memandangi warung kelontong yang sudah cukup layak untuk digunakan. “Tapi maaf ya Bu hanya bangunan papan kayu yang mampu aku buatkan. InsyaAllah nanti kalau udah ada rejeki lebih kita ganti dengan bangunan tembok ya.” Kata Hari sambil memandangi Diana. Terlihat Hari begitu perhatian dan merasa bahagia sudah memenuhi keinginan ibu dari anak-anaknya itu. “Iya mas… ini juga sudah lebih dari cukup. Yang penting kan hasilnya, bukan tempatnya. Iya kan Mas?” Hari hanya mengangguk sambil tersenyum. *** Hari kelahiran Diana pun tiba, Ia dikaruniai seorang putra yang mereka beri nama Rizal. Kehidupan keluarga mereka pun terasa lebih lengkap, terlebih dengan Ayu. Ia merasa begitu senang dengan kehadiran adik laki-lakinya itu. Ayu seperti punya teman bermain. Ia begitu menyayangi adik laki-lakinya. Sedangkan Siska yang telah melahirkan lebih dulu satu bulan sebelumnya, dianugerahi seorang bayi perempuan. Namun kebahagiaan yang mereka rasakan tidak berlangsung lama. Siang itu Hari pulang tak seperti biasanya, Diana melihat Hari yang terlihat begitu kelelahan, wajahnya pucat dan berkeringat dingin. Hari masuk ke dalam rumah dan langsung merebahkan dirinya di atas sofa panjang di ruang tamu. “Ya Allah mas… kamu kenapa? Kamu sakit?” Diana yang tengah menyapu lantai langsung setengah berlari menghampiri Hari. Di pegangnya keningnya, tidak deman, tapi begitu dingin. Diana semakin khawatir karena Hari tak menjawab pertanyaannya. Hari merintih dan memejamkan mata seolah ada rasa sakit yang dirasakannya. “Kita ke dokter ya Mas, biar nanti aku minta tolong mang ujang antar ke Rumah Sakit.” Mang Ujang adalah tetangga mereka yang memiliki usaha taksi barang. Paling tidak Hari dibawa ke Rumah Sakit tidak mengendarai motor. “Ngga usah Bu, anter aku ke kamar aja, tiduran sebentar juga baikan lagi.” Kata Hari sambil berusaha bangun. Diana dengan cekatan memegangi suaminya itu dan memapahnya menuju kamar tidur. Sebuah kamar dengan satu ranjang besar dan satu ranjang kecil yang mereka tambahkan sejak kelahiran Rizal. Disana ada Ayu dan Rizal yang tengah tidur siang. Hari berbaring di ranjang besar disamping Rizal, sedangkan Ayu tidur di ranjang kecil. Hari memejamkan mata berusaha untuk tidur. Ia berharap bisa segera pulih setelah bangun dari tidur. Diana pun melanjutkan pekerjaannya setelah Hari sudah terlelap. *** Diana sedang memasak di dapur untuk makan malam mereka ketika terdengar suara tangis Rizal. Diana mematikan kompor dan segera berlari menuju kamarnya, ia angkat dan ia susui sambil duduk di pinggir ranjang. Dilihatnya suaminya, masih lelap tertidur. Ia pegang tangannya, masih terasa dingin, tapi rasanya tidak seperti tadi siang saat ia baru pulang. Diana mulai panik takut terjadi sesuatu pada suaminya. “Mas…” panggil Diana pelan. Ia membelai lembut tangan Hari berharap Hari bangun sehingga membuatnya sedikit lebih tenang. Namun, Hari tetap tak bergerak. “Maaasss…” panggil Diana lebih keras sambil menggoyangkan tangannya. Tetap Hari tak bergeming. Diana mulai panik, ia segera melepaskan mulut Rizal yang sedang menyusu, diikuti suara tangis Rizal. Diana berlari keluar rumah dan meminta tolong pada tetangganya. Kebetulan mbak Ranti tetangga samping rumah mereka sedang menyapu di halaman depan rumahnya. “Mbaaak… tolongin Mas Hari mbakk…” kata Diana dengan nada panik. “Mas Hari kenapa mbak?” tanya Ranti ikut panik sambil mendekat ke arah Diana. “Mas Hari sakit tadi Mbak… barusan aku bangunin dia ngga bergerak Mbaakk…” jawab Diana sambil berurai air mata. “Ya udah tenang ya Mbak… Mbak tunggu di rumah dulu aja. Nanti aku yang minta tolong ke rumah Mang Ujang biar antar Mas Hari ke Rumah Sakit ya mbak.” Ranti buru-buru menaruh sapu lidinya dan berlari ke rumah Mang Ujang. Sedangkan Diana kembali ke rumahnya dan menggendong Rizal yang masih menangis. Tidak berapa lama beberapa tetangga mulai datang ke rumah, termasuk Mang Ujang. Kemudian Mang Ujang dibantu dengan tetangga yang lain mengangkat tubuh Hari untuk di bawa ke Rumah Sakit dengan mobil taksi barangnya. “Sini mbak biar Rizal ak yang gendong. Mbak ikut aja ke Rumah Sakit, anak-anak aku yang jagain.” Kata Ranti sambil mengambil Rizal dari gendongan Diana. Beruntung Diana memiliki tetangga dan dikelilingi orang-orang baik. Ia bisa tenang menitipkan Ayu dan Rizal kepada Ranti. Sesampainya di Rumah Sakit, Hari langsung dibawa ke ruang IGD dan diperiksa oleh dokter jaga. Diana begitu cemas menanti di luar, ia tidak bisa menahan air matanya. Ia benar-benar takut kehilangan suaminya. Apalagi jika mengingat anak-anaknya masih begitu kecil. Di tengah kekhawatirannya, dokter pun keluar dari ruangan. “Gimana dok keadaan suami saya?” tanya Diana dengan cepat tanpa memberi waktu kepada dokter jaga untuk menjelaskan terlebih dulu. “Mohon maaf Bu, suami Ibu sudah tidak bernyawa saat dibawa kesini.” Diana terdiam karena pikirannya benar-benar kosong. Ia tak bisa berpikir jernih. Diana merasa ini hanya mimipi dan berharap Ia segera terbangun. “Saya mewakili pihak Rumah Sakit turut berduka cita ya bu atas meninggalnya suami ibu. Semoga Almarhum mendapat tempat terbaik di sisiNya.” “Sabar ya mbak… nanti kita bantu mengurus jenazah Mas Hari.” Kata Mang Ujang yang sedari tadi tetap menemani Diana di sampingnya. Seketika tangis Diana pecah. Ia tidak menyangka suaminya akan pergi secepat ini. Bagaimana nasib anak-anaknya nanti tanpa kehadiran seorang ayah. Diana benar-benar tepukul, seolah sebuah pisau besar telah berhasil menghujam jantungnya. Matanya memerah menahan dorongan air mata yang benar-benar sudah tak bisa dibendung lagi. Suster keluar dari ruangan dan Diana langsung menghambur ke dalam untuk melihat suaminya. Dilihatnya Hari sudah terbaring kaku di sebuah ranjang besi dengan sprei warna putih. Diana berlari mendekat. “Maaassss…bangun Massss…” teriak Diana di tengah isak tangisnya. “Maaassss…!!!” Diana sedikit memekik sambil terus menggoyangkan tubuh suaminya. Mang Ujang dan kedua tetangganya yang melihat suasana yang pilu itu mencoba menguatkan Diana. “Sudah mbak… ikhlaskan Mas Hari biar beliau tenang disana. Umur kan rahasia Allah. Mungkin itu yang terbaik buat Mas Hari.” Kata mang Ujang pelan. “Kita tunggu di luar yu Mba. Mba tenangin diri dulu.” Diana pun mengangguk dan menuruti perkataan Mang Ujang. Ia menghapus air mata di pipinya dan duduk di ruang tunggu di depan IGD. Pandangannya kosong, entah apa yang sedang dipikirkan Diana, Ia benar-benar kehilangan tumpuannya. “Ini Mbak minum dulu.” Tiba-tiba Pak Hasan mendekat membuyarkan lamunan Diana. Pak Hasan memberikan satu botol air mineral kepada Diana untuk menenangkannya. “Mbak tenang aja, saya sudah urus administrasinya. Saya juga sudah minta pihak Rumah Sakit untuk sekalian memandikan jenasah. Yang ada di rumah juga sudah saya hubungi dan sudah diurus semuanya.” Lanjut Pak Hasan, selaku pak RT dilingkungannya yang ikut mengantar ke Rumah Sakit. “Terima kasih banyak ya Pak.” Kata Diana masih dengan tatapan kosong. *** Keadaan rumah duka sudah ramai didatangi tetangga dan sanak saudara ketika mobil ambulan tiba di kediaman rumah Diana. Jenazah langsung dibawa masuk untuk di sholatkan. Diana terlihat sudah semakin menerima atas kepergian Hari. Diana masuk ke dalam rumah dan menemui beberapa tamu. Hingga tiba-tiba seorang wanita yang baru saja datang menjerit dan menghabur ke arah jenazah, dialah Siska, istri muda suaminya. Akhirnya untuk pertama kalinya Ia dipertemukan dengan Siska, wanita yang telah membuat suaminya membagi cinta dan kasih sayangnya. Seorang wanita yang lebih muda, lebih sintal, dan terlihat lebih menarik. Diana membiarkannya, Ia mengerti saat ini bukan hanya Ia yang terluka, tapi juga Siska. Mereka sama-sama kehilangan sosok suami dan Ayah sepeninggal Hari. Mereka berdua tak berbicara sepatah katapun hingga pemakaman selesai. Mereka hanyut dalam duka masing-masing. Hari sudah hampir gelap, Diana masih berada di depan gundukan tanah dengan sebuah nisan di hadapannya ditemani beberapa sanak saudara, para peziarah pun sudah mulai meninggalkan pemakaman. Diana bangkit dari duduknya di atas sebuah bangku kecil dan berniat untuk menemui Siska, Ia ingin mereka bisa berbicara dari hati ke hati. Ia mencari dimana keberadaannya, ia putar pandangannya ke seluruh area pemakaman, namun sosoknya sudah tak terlihat di sana. Diana pun memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Sejak saat itu Diana bertekad untuk menjadi wanita yang lebih kuat, demi kedua buah hatinya. Ia harus bisa menjadi Ibu sekaligus Ayah bagi Ayu dan Rizal. Ia ingin anak-anaknya tumbuh dengan baik, mendapatkan pendidikan dan akhlak yang baik. Ia akan berjuang sekuat tenaga demi mewujudkannya. Ia pun akan berusaha melupakan masa lalu pahit yang pernah dialaminya, walaupun mungkin sangat mustahil untuk melupakannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD