1. Keluarga

1387 Words
Ayu menguap lebar, matanya berair, kelopak matanya terasa berat seperti ada yang bergelayut. Udara dingin setelah hujan tadi sore membuat kantuk semakin menjadi. Ayu masih terjaga, berkutat dengan buku-buku kuliahnya. Buku Akuntansi Manajemen setebal 8 cm masih berada digenggamannya, sambil duduk bersila di atas tempat tidurnya dia membaca kata per kata. Hampir setiap malam Ayu berjuang melawan rasa kantuknya demi menyempatkan waktu untuk belajar. Ayu punya cita-cita yang besar, dia ingin bisa menjadi lulusan terbaik di kampusnya. Dengan begitu dia berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang layak agar bisa memperbaiki ekonomi keluarganya. Keluarga yang begitu amat sangat dicintainya. Seperti biasa Ibu Ayu selalu mengecek keadaan putrinya. Beliau tau kalau jam segini pasti Ayu masih fokus belajar. Tok! Tok! "Ya bu, masuk aja." Sahut Ayu dari dalam kamar. "Betul kan tebakan Ibu, kamu masih belajar." Kata Ibu merasa tebakannya jitu. "Kan emang tiap hari Ayu begini bu." Jawab Ayu tak mau kalah. "Sudah malem Ayu, ayo gih tidur dulu..tuh matanya udah kaya mata panda." Ibu Ayu mulai khawatir. Anak gadisnya ini memang harus selalu diingatkan untuk istirahat. Ayu seringkali lupa waktu, semangatnya untuk belajar memang perlu diacungi jempol. "Ya ni bu, seharian capek banget. Pagi kuliah, siang rapat anggota BEM, sore ada kegiatan pecinta alam... trus malem lanjut kerja." Ayu menjatuhkan kepalanya di atas kasur sambil menghela nafas. "Oya Rizal mana bu? Rizal udah tidur belum bu?" Belum juga Ibunya menjawab, Ayu sudah membombardir dengan pertanyaan lain. "Rizal ada tuh masih main game di ruang tamu. Ayu, kalau ngerasa cape, dikurangin dong aktifitasnya, kasian kan badannya terlalu diforsir." Ibu Ayu mengingatkan. "Ya gimana bu, Ayu suka ikut kegiatan, kan sama aja refresing, daripada ke mall kan ngabisin duit." Kata Ayu sambil tertawa. Ibu mendekati Ayu, duduk di sisi tempat tidurnya. Tangannya mengusap kepala Ayu. Di raut wajah beliau menampakkan kecemasan, kesedihan, kegalauan yang mungkin tidak akan pernah beliau curahkan kepada anak-anaknya. Beliau tidak mau anak-anaknya ikut merasakan beban yang beliau pikul sendiri. "Maafin Ibu ya Ayu... Ayu jadi harus bekerja untuk kuliah Ayu sendiri, untuk Rizal juga. Ayu betul-betul bisa manggantikan peran Ayah, untuk jagain Ibu, jagain Rizal..." Tak terasa air mata Ibu mulai membasahi pipi. Ayu segera memeluk Ibunya dengan posisi setengah duduk. Ayu tau betul perjuangan Ibunya selama ini. "Iya bu, Ayu ngga papa kok bu... Ayu justru seneng... di tempat kerja kan Ayu jadi nambah temen, nambah sodara..." Jawab Ayu sambil tersenyum dan sesekali mengusap air mata Ibunya. "Ayu janji bakal terus jagain Ibu sama Rizal sekuat tenaga Ayu." Tambah Ayu. "Iya sayang... tapi inget ya tetap jaga kesehatan, jangan terlalu dipaksa kalau memang cape, ibu sayanggg sekali sama Ayu, sama Rizal...Ya udah Ayu tidur aja ya, besok kan bisa dilanjutin lagi, takut besok kesiangan." Ibu bangkit dari duduknya, sekali lagi mengelus rambut Ayu dan mencium keningnya. "Ibu keluar dulu ya..." kata Ibu sambil meninggalkan Ayu. "Iya bu. Ayu juga sayang sekali sama Ibu." Jawab Ayu. Ayu kembali berbaring di tempat tidurnya, melihat langit-langit kamarnya, matanya menerawang jauh, seketika kantuknya hilang. Terbayang wajah Ayahnya yang dia kenali lewat bingkai foto di ruang keluarga rumahnya. Foto yang diambil satu minggu sebelum Ayahnya meninggal. Foto keluarga yang sengaja dibuat seperti mengisyaratkan akan kepergian Ayahnya yang tidak akan lama lagi. Ayu tidak bisa mengingat betul bagaimana rupa ayahnya tanpa melihat foto karena ayahnya telah meninggal dunia ketika Ayu masih berusia 4 tahun. Masih terlalu kecil untuk mengingat rupa Ayahnya, apalagi memori indah bersama beliau. "Ah, andai ayah masih ada..." gumamnya dalam hati. Tak terasa matanya mulai berkaca-kaca. Perlahan air matanya mulai menetes. Kerinduan kepada ayahnya seringkali muncul. Ayu begitu mendambakan kasih sayang dari sosok ayah. Mungkin jika ayahnya masih ada, Ayu tidak harus bekerja part time di cafe milik teman ibunya untuk membiayai kuliahnya sendiri. Ibu Ayu hanya penjual toko kelontong sederhana di depan rumah, terkadang membuat kue pesanan untuk arisan, hajatan, atau semacamnya. Tak jarang Ayu membantu Ibunya membuat kue lebih banyak dari pesanan untuk sisanya dibawa Ayu ke kampus untuk dijual kepada teman-temannya. Ayu tidak pernah malu, Ayu adalah gadis yang periang, pekerja keras, ulet, dan ramah kepada siapa pun. Dia menyadari dari keluarga mana dia berasal, dia tidak pernah iri pada teman-temannya yang dengan mudah mendapatkan sesuatu dari kedua orangtuanya. Justru Ayu merasa sangat beruntung karena memiliki Ibu dan Adik yang begitu saling menyayangi satu sama lain. Malam kian larut, Ayu mengambil ponselnya, menyalakan musik favoritnya sambil memejamkan mata sembari menunggu kantuk yang kembali datang. Hingga tanpa sadar Ayu mulai tertidur dengan suara musik yang masih terderngar. Tok! Tok! "Mba Ayuuuu… bangunnn…" teriak suara dari luar kamar. Suara anak laki-laki yang tak asing lagi di telinga Ayu. Sontak membuat Ayu kaget. Ayu segera mematikan musik di ponselnya yang ternyata masih menyala semalaman. "Iyaaaa… tumben lu udah bangun aja jam segini." Sahut Ayu tak kalah keras. Adik Ayu ini memang kalo bangunin ngga bisa pake cara halus. Padahal Ayu membangunkan adiknya dengan lembut sambil membelai kepalanya. "Ah, memang tu anak." Gerutu Ayu. Ayu sangat dekat dengan adiknya, Rizal. Setiap pagi sebelum berangkat ke kampus, Ayu selalu mengantarkan adiknya dulu ke sekolah menggunakan Mio lama yang dibeli Ibunya dari hasil menjual kalung, satu-satunya perhiasan yang Ibunya miliki. Anak kelas sepuluh ini emang masih manja dengan kakaknya. Dibesarkan tanpa sosok Ayah dari Rizal bayi, membuat Ayu begitu memanjakan Adiknya. Rizal tak seberuntung dirinya yang masih bisa merasakan sosok Ayah biarpun hanya sampai usia empat tahun. Rizal hanya punya satu kenangan foto bersama Ayahnya. Ayu bangkit dari tempat tidurnya, bergegas ke kamar mandi. Setelah cuci muka, sholat, Ayu langsung berlari menuju dapur. Ayu sudah paham betul sepagi ini pasti ibunya sudah siap dengan alat masaknya. Ibu memang luar biasa, ibulah yang tidur paling akhir tetapi selalu bangun paling awal untuk mempersiapkan kebutuhan kami anak-anaknya. Menjadi single parent memang membutuhkan perjuangan, tapi Ibu tidak pernah mengeluh. Itulah yang selalu kami banggakan dari Ibu. "Masak apa bu hari ini? Tanya Ayu dengan perut keroncongan. Sepertinya udara dingin semalam membuat perut Ayu menjadi sangat lapar. "Tuh ikan asin sama sayur kangkung..." sahut Ibu Ayu sembari membalik ikan asin di penggorengan. "Hmm... pasti nikmat banget. Masakan Ibu emang paling enak sedunia." Ayu mulai memuji Ibunya "Ah kamu bisa aja... pasti ada maunya nih." Timpal Ibu Ayu "Maunya ikan asin aja deh bu..biar bisa meooongg… meoooggg…" Goda Ayu sambil tertawa geli. Ibunya hanya geleng-geleng kepala melihat putrinya ini. "Ibu ngga ada pesanan kue hari ini bu?" Tanya Ayu "Ada tu di atas meja kecil udah Ibu siapin. Kemarin Bu Gatot pesen kue lumpur sama arem-arem. Katanya mau buat dibawa kerumah anaknya di Solo pagi-pagi sekali, makanya dari semalem Ibu bikinnya deh" Ibu menunjuk meja kecil di samping dispenser. "HAH?? Jadi semalem Ibu sampe begadang buat bikin kue?? Kenapa Ibu ngga bilang Ayu aja sih... kan bisa Ayu bantuin. Sebanyak itu lagi" Ayu keliatan kecewa sekali. Ayu takut Ibu nya kelelahan. Ayu takut Ibunya sakit karena sekarang hanya tinggal Ibu nya lah satu-satunya orang tua Ayu. "Ngga papa Ayu. Semalam kan Ibu liat kamu juga lelah sekali... Lagian nanti kalau kalian berangkat kan Ibu bisa istirahat, Ibu bisa tidur." Jawab Ibu sambil tersenyum. "Ibu minta tolong aja ya nanti Ayu sama Rizal anterin kuenya aja ke rumah Bu Gatot." Tambah Ibu. " Oke buu…" Jawab Ayu sambil mengangkat kedua Ibu jarinya. "Ayu bantu buka warung aja ya bu...? Pagi-pagi gini kan biasanya udah suka ada yang beli" Imbuh Ayu. "Iya... habis itu mandi, sarapan ya... takut kesiangan, kasian adikmu terlambat" Kata Ibu sambil melihat Ayu berlalu. Ayu mulai membuka warung kelontong ibunya, sambil sedikit beberes. Disusunnya kembali snack-snack yang sedikit berantakan di rak. Warung kelontong milik Ibunya memang tidak besar, tapi cukup lengkap untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para pembeli. Warung kelontong yang dibuka bersama Almarhum Ayahnya dulu. Warung kelontong yang dibangun dengan kerja keras bersama. Jam 06.15 Ayu dan Rizal sudah siap untuk berangkat, sudah mandi dan sudah selesai sarapan. Ayu dan Rizal sengaja berangkat lebih pagi karena mereka akan mengantarkan kue pesanan dulu kerumah Bu Gatot. "Ya udah bu, Ayu berangkat dulu ya bu. Ibu jangan lupa habis ini istirahat ya bu." Ayu kembali mengingatkan. Lalu mendekat dan mencium tangan Ibunya. "Rizal juga berangkat ya bu." Kata Rizal juga sambil mencium tangan Ibunya. Ayu duduk di depan mengendarai motor lengkap dengan helm birunya sedangkan Rizal duduk di belakang Ayu dengan helm merahnya sambil membawa dua duz kue pesanan. "Ati-ati ya nak..." kata Ibu sambil melambaikan tangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD