KEPUTUSAN YANG TEPAT
Aku menjalani hari-hari ku lebih berwarna setelah bekerja. Walaupun terkadang aku kelelahan karena itu. Tapi selama aku punya kegiatan aku merasa lebih baik .
Aku dan Mas Fandi pun memutuskan untuk ngontrak rumah, dengan alasan agar lebih dekat dengan tempat aku bekerja.
Perasaanku jauh lebih tenang saat tinggal berdua saja dengan Mas Fandi, walaupun rumah yang kami kontrak tidak terlalu bagus dan hanya satu kamar.
Tak terasa perutku pun semakin buncit sampai pada usia kehamilanku 7 bulan . Aku merasa sudah gak sanggup pulang pergi kerja mengendarai motor dengan perutku yang sudah besar .
Setelah semalaman bermusyawarah dengan Mas Fandi akhirnya aku memutuskan untuk resign dari pekerjaanku.
Awalnya semua berjalan baik-baik saja kami juga masih punya sisa uang tabungan yang rencananya kami gunakan untuk persiapan melahirkan.
Tapi ternyata selang satu bulan dari aku mengundurkan diri, ternyata Mas Fandi juga kehilangan pekerjaannya.
Bosnya harus pindah keluar kota dan tidak mungkin Mas Fandi ikut kesana dengan meninggalkan aku disini dalam keadaan yang sedang hamil tua.
Itu artinya kami sama-sama tidak punya penghasilan, sedangkan kebutuhan kami terus berjalan. Akhirnya uang tabungan yang tadinya cukup untuk persiapan melahirkan harus terpakai untuk bayar kontrakan dan kontrol ke dokter kandungan, belum lagi makan sehari-hari.
Sore itu aku sedang duduk di depan rumah, Mas Fandi mencabuti rumput di antara beberapa bibit pohon pepaya yang tidak sengaja tumbuh di halaman depan pekarangan kontrakan ku. Bibit itu tumbuh dari biji yang tidak sengaja aku tabur .
Dari kejauhan tampak ada motor melaju ke arah rumah kami, semakin mendekat semakin jelas. Ternyata itu Mbak Lia dan Ibu mertuaku.
"Assalamualaikum" ibu turun dari motor sambil menenteng beberapa bawaan.
Aku menyalaminya dan membantu membawakan barang-barangnya, sedangkan Mbak Lia masih memarkirkan motornya.
"Dari mana mah? tanyaku sembari menaruh dua gelas teh .
"Dari toko, tadi pagi aku sudah bilang sama Lia kalau sore ini Ibu mau kerumah Fandi". jawabnya sambil melepas jaket.
Perasaanku campur aduk, tidak mengerti haruskah aku senang di kunjungi ibu mertua ku atau sedih karena tidak tau omongan pedih apa lagi yang ibu bawa untuk ku selain beberapa kantong plastik berisi sembako tadi.
"Aku tinggal mandi dulu ya mah" Mas Fandi berjalan meninggalkanku di ruang depan bersama Ibu dan Mbak Lia.
"Ra, lihat itu kasihan Fandi jadi nganggur gini tapi tetap harus membayar kontrakan, coba kamu ga ngajak Fandi keluar dari rumah mama saat itu, pasti dia gak akan sepusing ini. Mama gak tega melihat Fandi jadi kurus dan seperti tidak terurus begitu" ? Ibu menyeruput teh buatanku .
Benar saja dugaanku, kedatangan Ibu kesini hanya akan membuat aku seakan-akan bersalah dengan keadaan yang sedang kami jalani. Tidak sedikitpun Ibu menyanyakan kabarku yang sudah satu bulan tidak menerima nafkah dan makan seadanya ini.
" Lintang mana mba? kok ga ikut?" aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan bertanya kepada Mbak Lia.
"Iya Ra, tadi langit agak mendung aku takut hujan kalo bawa lintang, lagi juga habis imunisasi DPT kemarin " jawab Mbak Lia menjelaskan keadaan anaknya.
Tidak lama setelah itu Mas Fandi keluar kamar mandi, belum semenit Mas Fandi duduk ibu sudah meneruskan ucapannya yang terus-menerus memojokkan aku.
"Kemarin, Lia enak di tanggung sama rumah sakit tempatnya bekerja pas melahirkan, jadi ga terlalu berat mas mu Dawud. Kalau kamu siapa yang akan menjamin?" tanya ibu dengan nada sinis sembari menatapku penuh kebencian.
" Alloh mah" sahutku sebelum mas Fandi sempat menjawab .
Bahkan jauh hari sebelum ini, ketika aku menerima lamaran dari Mas Fandi aku hanya percaya bahwa Alloh punya cerita terbaik untuk setiap Hamba-Nya.
Seketika ibu terdiam mendengar jawaban singkatku. Dan berpamitan untuk pulang karena Mas Dawud sudah menelpon Mbak Lia karena Lintang rewel.
Terus terang kepalaku saat itu seperti mau pecah, aku terus mengelus-elus perutku yang sedari tadi mendapat tendangan dari dalam, seolah jabang bayiku mengerti perasaanku.
Keadaan ekonomi rumah tanggaku sedang tidak baik, dan aku berusaha menerima itu tapi entah kenapa kata-kata Ibu sama sekali tidak ada yang menenangkan ku, dan justru membuat perasaanku semakin campur aduk.
Aku melihat uang di dompetku sisa sepuluh ribu. s**u hamil ku pun sudah hampir habis. Aku tau ini semua tanggung jawab suamiku, tapi aku tidak tega menyampaikannya karena aku pun mengerti dia tidak kalah pusing dariku.
Pagi-pagi sekali Mas Fandi sudah bangun, ku lihat dari jendela depan Ia memotong2 sendal bekas menjadi beberapa bagian, dan mengikatkan senar pancing yang sudah di beri kail.
"Mau kemana mas?" tanyaku sambil membuka jendela .
"Mau ke rawa belakang, siapa tau dapat ikan, lumayan utk kita makan" katanya .
Entah haru atau karena sedih meratapi keadaan, tidak terasa air mataku jatuh begitu saja.
Belum selesai aku menyapu halaman, Mas Fandi pulang membawa satu ikat daun singkong.
"kamu bisa gak masak ini?" sembari menyerahkannya kepadaku.
sejak aku tinggal berdua di kontrakan ini, ada banyak hal yang aku bisa lakukan demi bertahan hidup, terlebih setelah kami berdua tidak bekerja. Walaupun aku belum sehebat menantu idaman Ibu mertuaku.
Hari itu kami makan sayur daun singkong dan tempe goreng, terasa nikmat sekali walau di antara seruan kesusahan, Alhamdulillah kita tidak kelaparan.
Aku juga bersyukur sementakitkan apapun ucapan Ibu kemarin sore, tapi Ibu juga datang membawakan kami beras yang bisa kita makan kurang lebih satu Minggu kedepan.
"Aku mau ngecek umpanku dulu ya" Mas Fandi berjalan kebelakang rumah .
Umpan itu memang di tinggalkan setelah di pasang di beberapa titik, Dan baru sore ini dilihat lagi apakah dapat atau tidak.
"Sayang" Mas Fandi teriak dari pintu belakang.
"Malam ini kita makan ikan" Mas Fandi mengelus-elus perutku yang sudah semakin turun sembari menunjukan 3 ekor ikan gabus di tangannya.
Ternyata benar pilihan ayak ku, dia begitu bertanggung jawab atas aku dan hidup kami, bahkan disaat seperti ini, dia.masih bisa mencari jalan keluar agar istri dan calon anaknya mendapatkan nutrisi yang cukup.
kring-kring-kring (nada dering ponsel)
"Halo? oh iya mas, bisa nanti saya kesana" Mas Fandi menutup telpon sembari turun dari ranjang.
"Ada apa sayang? tanyaku yang masih berbaring di sebelah Mas Fandi duduk.
"Insya Alloh besok malam kamu bisa periksa dan beli s**u sayang" Mas Fandi mencium ku sebelum ke kamar mandi.
Alloh selalu punya cara untuk hamba-hamba-Nya yang mau berusaha dan bekerja keras.
Selesai sarapan, Mas Fandi berpamitan, sebelum pergi ia mencium ku dan calon bayi didalam perut ku.
Tadi pagi Mas Candra telpon, minta di supirin luar kota, tapi masih satu provinsi. Mas Candra adalah teman lama suamiku, yang saat ini sudah cukup mapan usahanya di bidang alat berat.
Aku merasa rumah menjadi sepi dan waktu berjalan seakan melambat, apa lagi saat aku menunggu Mas Fandi pulang. Karena memang sejak kami tidak bekerja, kami selalu menghabiskan waktu seharian bersama.
"Assalamu'alaikum, sayang ini aku" Aku terbangun karena mendengar ketukan pintu.
Aku melihat ke arah jam dinding, waktu menunjukan pukul 01.24.
Aku berjalan menuju pintu, sebelum membuka pintu aku mengintip dari jendela, memastikan kalau itu benar-benar Mas Fandi, karena jarak rumah kami dengan rumah lain tidak terlalu dekat. Jadi Mas Fandi selalu memesan aku untuk melakukan itu setiap dia mau berangkat kerja.
"Alhamdulillah sayang" mas Fandi memberikan lima lembar uang seratus ribu an kepadaku.
"Ini cukup untuk kamu periksa, beli s**u dan makan bbrpa hari kedepan" belum sempat aku berkata-kata Mas Fandi melanjutkan ucapannya
Aku senang bukan main karena pada hari itu uang di dompetku sisa 1000 rupiah, dan aku hanya makan sisa sayur kemarin yang aku panasi seharian tadi.
Entah dari mana yang jelas Alloh pasti tau apa yang Hamba-Nya butuhkan, karena rezeki selalu datang tepat waktu dan tidak akan pernah tertukar.
Sampai usia kandunganku 9 bulan, Alhamdulillah Mas Fandi sering dapat panggilan untuk sekedar mengantar belanja sparepart atau keluar kota dalam provinsi.
mungkin itu cara Alloh memberi rezeki kepada kami.