BAB 9. Kantin Kampus

1227 Words
Mendengar pertanyaan yang begitu menohok dari Devara membuat lidah Jefry menjadi keluh, apalagi ekspresi wajah Devara juga tidak kalah terpukul dan terlihat begitu cemas dengan jawaban yang akan disampaikan oleh Jefry. “Dijawab Jef, jangan bikin gw deg deg an kayak gini,” tuntut Devara, kini berhenti dihadapanan Jefry. Keduanya saling pandang dengan keresahannya masing-masing. "Please Jef, jawab Jef..." Lagi-lagi Devara menuntut Jefry untuk segera membuka mulutnya. “Iyah Kak... Kak Arumi positif kena parkinson. Tadi Om Soni dan Tante Vina kerumah, uda ngejelasin semua. Tapi kita nggak boleh keliatan murung Kak, kita harus jaga perasaan Kak Arumi, harus buat dia tetap semangat, itu kata Om Soni tadi sih...pas nyokap gw sempat histeris Kak Dev.” Terduduk sudah Devara di lantai lorong Rumah Sakit dengan wajah begitu terpukul. Semua suara yang terdengar jelas sejak tadi, kini hanya bagaikan sebuah dengungan yang menulikan telinganya. Bagaimana dia harus memikirkan keadaan Arumi kedepannya membuatnya tidak bisa tenang. Apalagi Jefry juga menjelaskan bagaimana progress penurunan kesehatan yang akan dialami oleh Arumi kedepannya. “Dia harus selalu bahagia Kak,” ucap Jefry mengakhiri penjelasannya kepada Devara. Hanya satu kaliamat terakhir itu yang direkamnya dengan baik. Yaitu Arumi harus selalu bahagia, jangan ada kesedihan apapun untuk kedepannya. Biarlah Devara mengorbankan hatinya yang merana asal Arumi bisa bahagia dan hidup lebih lama lagi. Kini Devara dan Jefry bergegas untuk belanja dan kembali ke kamar perawatan Arumi. “Devara, Loe bisa tolong ambilin ponsel gw di rumah nggak?” tanya Arumi harap-harap cemas. Mengingat Demas sudah menyimpan nomornya, pasti sebentar lagi Demas akan menghubunginya. “Ini Kak, tadi uda gw bawa, soalnya ada nomor asing yang miscall melulu dari tadi. Takutnya penting banget, atau dari teman kampus Loe gitu kan? Siapa tau.” Jefry lantas mengeluarkan ponsel tersebut dari dalam tas selempangnya. “Yah ampun, Loe kenapa sih kok tumben baik banget sama gw?” kekeh Arumi sambil memicingkan mata memandang adiknya penuh curiga. “Halah! Jangan G’R Loe Kak, Loe kira ini semua gratisan gitu? Habis sembuh dari sini, Loe kudu bantuin gw untuk buatin tugas gambar bercerita. Sekolahan gw makin aneh aja nih! Kita disuruh buat poster, Loe tau kan gw sebel banget disuruh gambar, jadi Loe harus bantuin gw. Ingat! Ini nggak gratis, okay?” Kini giliran Jefry yang memicing menunggu jawaban dari Arumi. “Gampanglah itu, nanti gw bantuin. Siniin hp gw cepetan!” Arumi sudah tidak sabar melihat adiknya terus saja memegang ponselnya tanpa berniat memberikan kepadanya. “Okay! Tapi satu lagi.” Jefry langsung mengurungkan niatnya untuk memberikan ponsel tersebut kepada Arumi. “Apalagi anjir! Loe bikin gw gedek banget yah.” Kini Arumi sudah melotot maksimal, hingga membuat Jefry menahan tawanya. “Ini yang telepon dari tadi pacar Loe yah?” goda Jefry, merah sudah wajah Arumi mendengar kata pacar. “Siniin cepat! Loe mulai melanggar privasi gw yah! Dev... tolongin gw dong... kok Loe dari tadi diem aja liat Gw dianiaya adik gw.” Rengek Arumi memasang wajah paling melas, kini giliran Devara yang terbahak melihat kelakuan Arumi. Devara hanya mengangguk lalu merebut ponsel Arumi dari tangan Jefry. Berusaha keras Jefry hendak merebut kembali ponsel tersebut dari tangan Devara. “Kalau masih pendek nggak udah ngelunjak deh,” ejek Devara, hingga membuat Arumi terbahak bukan main. “Anjir, Loe body shaming yah sama gw Kak Dev!” Jefry tidak terima sambil menahan tawa yang mulai meledak. Melihat kelakuan sahabat dan adiknya seketika Arumi semakin terpingkal apalagi, mendengar Jefry yang merasa dihina bukan main oleh Devara. Kedua saling pandang dalam diam, tapi tau isi hati masing-masing, yah kurang lebih maksudnya ‘Tuh lihat akhirnya Arumi tertawa juga, syukurlah...’. Tanpa terasa tiga hari sudah Arumi dirawat dan kini sudah boleh pulang dari Rumah sakit. Selama tiga hari itu pula, Arumi setiap hari selalu saja bertukar pesan dengan Demas. Ia mengatakan kepada Demas untuk tidak perlu ke Rumah Sakit lagi, karena sebentar lagi dirinya akan pulang. Walau Demas terus memaksa tapi Arumi tetap menolak. Arumi takut, jika ada rahasia keluarga atau apapun itu terdengar oleh Demas. Sesampai dirumah Arumi diminta untuk istirahat total selama tiga hari lagi kedepan, tapi Arumi sudah tidak tahan hanya dirumah saja, hari kedua Arumi begitu ngotot untuk segera kembali kekampus. “Ma... Arumi uda bosen disini terus Ma,... Arumi pengen ke kuliah, apalagi sebentar lagi ujian akhir semester, nanti Arumi ketinggalan pelajaran gimana?” rengak Arumi, dia benar-benar sudah tidak kuat selalau dirumah saja. Apalagi Arumi juga masih dilarang untuk membantu di toko. Hari pertama gips ditangannya dibuka, Arumi sudah membantu Jefry dengan membuat gambar bercerita untuk dijadikan poster tugas Sekolah sang adik. Tapi menggambar itu adalah hal yang sangat kecil bagi Arumi. Sehari saja sudah selesai. Kini apalagi yang akan arumi lakukan, apalagi Devara sudah mulai masuk kuliah dan akan pulang di sore hari, jika pulang saat siang pun dia akan kembali lagi kekampus dan pulang disaat menjelang petang. “Ayolah Ma...” kembali Arumi merengek karena tidak mendengar jawaban apapun dari mamanya. “Yah udah! Besok kamu boleh masuk kuliah tapi, harus Papa antar jemput yah.” tegas Citra berharap tidak ada bantahan lagi. “Loh! Kok Arumi jadi kayak anak SMP lagi mah? Nggak mau ah kalau kayak gitu Arumi Ma! Kan nanti Arumi perginya sama Devara... pulang juga sama Devara. Ayolah Ma...” lagi-lagi suara Arumi membuat telinga Citra sangat terganggu di tambah lagi Arumi kini bergelanyut manja terus menerus ditangan Citra. “Tapi kan Devara beda fakultas sama kamu Rum,” tegas Citra, "Tetap saja pasti ada jadwal kuliah yang berbeda kan, dalam satu minggu ini?" Memang benar mereka memiliki jurusan yang berbeda dan benar juga jika mereka memiliki jadwal yang begitu berbeda. “Iyah udah gini aja Ma... kalo Devara nggak bisa pulang sama Arumi,, nanti Rumi hubungi Papa untuk dijemput, tapi kalau pergi Rumi nggak mau diantar Ma...” Citra akhirnya menghela nafas panjang, rasanya keduanya sudah menemukan titik tengah. “Yah sudah kalau begitu... janji yah Rum.” Kembali Citra memicingkan matanya dan menatap tajam kepada anaknya. “Janji Ma!” pekik Arumi dengan bahagia, kemudian Arumi kembali naik kelantai dua rumahnya dan segera menghempaskan tubuhnya diatas ranjang sederhana, lalu mengirimkan pesan singkat tersebut kepada Demas. “Dem! Besok gw masuk. Kita jadi makan bakso kan?” ketiknya, lalu Arumi menyentuh tulisan send pada ponselnya, sekitar lima menit akhirnya ada suara notifikasi masuk di ponselnya. Cengkling! Cengkling! Begitulah kurang lebih suara pesan masuk tersebut. Aruma bergegas membuka pesan singkat tersebut. Sambil senyum-senyum sendiri. “Okay besok gw jemput di kelas yah..., atau kita ketemuan aja di kantin? Eh kita ketemuan aja di kantin yah.. jam dua belas siang. Okay?” Arumi membaca pesan tersebut dengan berdebar dan bahagia luar biasa. Kini bersiaplah Arumi menuju ke kampus, dan mengikuti pelajaran dengan baik. Hingga pukul setengah dua belas bell mata kuliah pengantar ekonomi makro akhirnya berakhir juga. Sambil memeluk binder di tangannya, Arumi berjalan dengan riang sekaligus menahan rasa gugup untuk menunggu kedatangan Demas. Ia tidak memesan apapun untuk sementara, lalu Arumi juga masih sempat mengirim kembali pesan kepada Demas, “Dem, gw uda di kantin yah.” Terlihat laporannya sudah terkirim tapi belum dibaca oleh Demas. Sambil menunggu Arumi membuka kembali ponsenya dan membaca beberapa pesan Demas sambil senyum-senyum sendiri. “Eh! Ada si bakul tahu disini! Ngapain Loe senyum-senyum sendiri kayak orang gila disini?!” Suara kasar itu seketika membuat Arumi mendongakkan wajahnya, ternyata dihadapannya ada Bunga yang sudah berkacak pinggang dihadapan Arumi sambil menatap sinis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD